Menulis itu media katarsisku ...

Blog Pribadi Puji Nurani :

Sketsa sederhana tentang hidup yang sederhana ...

Menulis itu Media Katarsisku ....

Aku sangat suka .. sangat suka menulis .....
Aku tak memerlukan waktu khusus untuk menulis ..
Tak perlu menyepi untuk mendapatkan ilham ........
Atau menunggu dengan harap cemas pujian dari orang lain
agar tak jera menulis ......

Ketika aku ingin menulis, aku akan menulis tanpa henti...
tanpa merasa lelah ...
tanpa merasa lapar ...
Namun jika aku tidak menulis,
maka itu artinya aku memang sedang tidak mau menulis...

Kala kumenulis,
Aku alirkan pikiranku melalui ketukan keyboard
ke dalam layar dunia virtual aku berkontemplasi ....
Aku tumpahkan perasaanku ke dalamnya ....
yang sebagiannya adalah jiwaku sendiri ....

Lalu ... aku menemukan duniaku yang indah ...
duniaku yang lugu dan apa adanya ......
duniaku yang sederhana .........
yang aku tak perlu malu berada di dalamnya .....
Karena aku adalah kesederhanaan itu sendiri .....

Aku suka dengan cara Allah menciptakanku ...
alhamdulillah .......

Tuesday, December 22, 2009

KALO NANYA YANG BENER ....

Pernah merasa kesal gara – gara nonton TV nggak ? bukan kesal karena materi acaranya yang tidak menarik, tapi karena gaya Presenter nya yang ngeselin ? aku pernah, sering malah.

Belakangan ini seluruh TV menayangkan program yang hampir sama dan sebangun, yakni program menelanjangi aib orang – orang penting yang sama sekali ( kemungkinan besar ) tidak kita kenal dalam kehidupan kita sehari – hari. Namun meski kita tidak kenal secara pribadi, bagiku mereka tetap orang penting di negeri kita. Bukankah –meski secuil – aku juga turut andil dalam mendudukkan mereka di meja birokrasi, misalnya dengan memberikan suaraku di hajatan PEMILU, yang menyebabkan tangan kekuasaan menempatkan mereka menjadi tokoh penting di Republik ini ?

Banyak sekali nama – nama berseliweran yang terkenal dan tidak terkenal, yang terpaksa kita simak sepak terjangnya itu dalam rekaman percakapan memalukan via telfon, yang ditayangkan oleh Mahkamah Konstitusi sebagai hasil sadapan tangan – tangan canggih nan iseng, entah legal atau illegal..

Lantas sontak, seluruh negeri menggunjingkan skandal tak bermoral itu, yang difasilitasi oleh beragam media massa, terutama oleh media layar kaca yang bernama televisi. Beberapa televisi swasta berlomba menayangkan issu itu sebagai program andalannya, yang ditayangkan di primetime, dengan harapan apalagi jika bukan mendongkrak rating pemirsa.

Sebetulnya kalau kita mengkaji dari sisi jurnalistik, hal tersebut boleh – boleh saja dilakukan, karena bagaimanapun salah satu fungsi media massa adalah mendapatkan, mengolah dan menyajikan informasi yang dapat mengobati dahaga masyarakat tentang perkembangan terkini. Seandainya saja semua berita memuakkan itu disajikan dengan cara yang proporsional dan santun, dengan mengedepankan etika jurnalistik, aku rasa tentu takkan ada penonton yang dibuat kesal dan menggerutu.

Sejak terkuaknya skandal itu, hampir setiap hari aku mendengar gerutuan dan komentar marah dari teman – teman ku, seusai menonton TV. Menanggapi kekesalan mereka, aku cuma tertawa saja, dan menjawab santai, ya sudah … jangan ditonton, gitu aja kok repot ! lha wong aku sendiri juga kesal, kok….

Namun dibalik itu aku tahu penyebab kekesalan mereka. Bukan skandal itu benar yang memarahkan mereka, namun lebih pada provokasi yang dilakukan para Presenter yang membawakan acara tersebut. Coba perhatikan gaya kebanyakan Presenter televisi kita. Ada presenter wanita yang kerjanya nanya melulu tanpa mendengarkan jawaban sang nara sumber. Belum selesai nara sumber menjawab, sang presenter yang berdandan menor bak artis sinetron itu sudah memotong jawaban yang dia pikir tidak penting, dan langsung memberondong dengan pertanyaan lain. Ketika sang nara sumber baru menjawab satu kalimat, eh itu presenter malah menyambung kalimat jawaban si nara sumber, dengan kalimatnya sendiri. Belum puas dia bertanya dan menjawab sendiri, dia muntahkan lagi peluru pertanyaan yang terkadang dilontarkan dengan nada tidak sopan. Begitu dan begitu terus sepanjang acara, siapa yang nggak kesal coba, menonton wawancara seperti itu ?

Kadang aku dibuat bingung, sebetulnya acara wawancara itu didesain seperti apa sih ? mengapa justru malah si Presenter yang mendominasi acaranya ? kita kan nggak butuh statement dari presenter yang nggak ada urusannya dengan kasus ini. Yang kita tunggu kan pernyataan, keterangan atau sanggahan dari nara sumber yang sebagian besar adalah orang – orang yang terlibat langsung dalam kasus yang sedang hangat tersebut. Akhirnya, kita seperti sedang menonton penghakiman Nara Sumber oleh presenter yang ingin menunjukkan tingkat intelektualitasnya, kecanggihannya dalam berkomunikasi, dan penguasaannya dalam public speaking. Namun alih - alih memukau, penampilan Presenter yang seperti ini malah jadi terkesan songong dan sok tahu, tanpa kita mendapatkan kata – kata kunci yang sangat kita tunggu dari nara sumber.
Sebagai pengecualian, akan berbeda kasusnya jika memang justru Presenternya diambil dari kalangan Pakar, yang karena kompetensinya, dia sangat pantas memberi warna dominan pada acara yang dibawakan.

Aku tidak tahu, apakah ini memang trend televisi kita sekarang ? yang penting ratingnya tinggi, namun kurang mengindahkan dampak psikologis bagi para pemirsanya dalam acara – acara yang ditayangkan. Apakah pihak perusahaan memang merestui gaya para presenter yang arogan, merasa pinter sendiri, bebas memprovokasi nara sumber dengan pertanyaan – pertanyaan yang tidak tuntas dijawab lantas dia simpulkan sendiri semaunya ? sikap mereka para presenter ini kadang sangat dingin dan tak berperasaan terhadap para nara sumber, terlepas dari status para nara sumber itu, apakah dia adalah seorang pakar, pengamat, korban atau si pendosa. Padahal para nara sumber itu adalah pihak yang mereka undang ke studio dan harus diperlakukan sebagai tamu yang terhormat, bukan ?

Kalau memang masalahnya terletak di durasi waktu yang sangat terbatas, semestinya dilakukan pembatasan dalam jumlah pertanyaan. Hanya yang esensial saja yang diajukan, hal – hal yang di luar itu seharusnya tidak perlu ditanyakan. Gak penting .
Itu kalau kita hanya fokus pada acara buka – bukaan rekaman itu. Di acara – acara lainnya pun aku sering merasa kesal karena ulah para presenter atau reporternya. Dari mulai yang ngomongnya belepotan nggak jelas artikulasinya, intonasinya yang monoton atau sangat gaul dan terkesan manja, terlalu banyak jeda karena kurang tangkas berfikir, dll.Tapi itu masih bisa dimaklumi, terutama bagi para reporter pemula. Namun biar pemula aku yakin mereka tentu sudah mendapatkan pelatihan jurnalistik atau mungkin justru mereka adalah lulusan FIKOM jurusan Jurnalistik. Jadi seharusnya mereka ini sudah tahu teknik wawancara dong ? bagaimana menggali jawaban dari orang yang kita wawancarai, trik menggiring ke jawaban yang esensial, dsb.

Sering aku jadi sebal sendiri karena ”kebodohan” sang wartawan dalam melontarkan pertanyaan. Supaya jelas, aku kasih ilustrasi ya. Dalam suatu kesempatan, seorang reporter bertanya kepada seorang ibu yang seluruh keluarganya tewas dan seluruh hartanya amblas dalam musibah gempa di Padang, dengan pertanyaan begini, ” Bagaimana perasaan ibu ? ”.
Coba bayangkan, seorang ibu yang berfikir lebih baik mati saja, ditanya soal perasaan. Ya jelas saja si ibu itu menangis menggerung –gerung di depan kamera, tanpa ada jawaban sepatahpun. Nah, reporter yang kurang cerdas, bukan ?

Ada lagi reporter yang sampai speechless gara – gara kurang lihay menggali jawaban dari serombongan anak-anak TK yang sedang mengikuti acara gerakan cuci tangan. Semua pertanyaan yang dilontarkan, dijawab oleh bocah – bocah cilik itu dengan ”YA” dan ”TIDAK”. Bukan karena anak-anak Indonesia tak pandai mengekspresikan pikirannya, anak-anak sekarang pintar – pintar lho. Yang salah reporternya, yang melontarkan pertanyaan yang memang cukup dijawab dengan YA dan TIDAK.
Coba, kalau anda adalah anak yang mengikuti acara cuci tangan itu, dan ditanya sama seorang reporter dengan pertanyaan ” adik sedang cuci tangan ya ? ”
” Adik sama bu guru ya, ke sini nya ? ” ,
” cuci tangan itu sehat ya, Dik ? ”
Nah, untuk pertanyaan yang seperti itu maka apa jawaban anda ? YA atau TIDAK, kan ?

Atau di kali lain, seorang reporter laki – laki yang masih muda , melontarkan pertanyaan super bodoh kepada seorang penduduk yang gardu listrik di kampungnya meledak sehingga menimbulkan kebakaran hebat. Tebak, bagaimana bunyi pertanyaannya ?
begini : ” Pak, bagaimana bunyi ledakkannya ? ”
Ooohh ...ampun Tuhan, jawaban apa yang diharapkan sang reporter dari si bapak yang pucat pasi itu ? dhuaarrr ?! bledaaagg ?! bledhuugg ?! mak klompraangng ?! atau apa ? pertanyaan macam apa itu ?

Dalam proses komunikasi, bertanya dan menjawab sama pentingnya, agar tidak terjadi miss komunikasi. Banyak kesalah pahaman timbul gara – gara salah bertanya atau salah menjawab. Namun, menjawab pertanyaan adalah pilihan dan hak sepenuhnya pihak yang ditanya, apakah dia akan menjawab atau tidak menjawab. Justru yang penting adalah pihak yang bertanya. Karena bagaimanapun, komunikasi bermula dari sebuah pertanyaan.

Bagaimana kita nggak berantem sama anak a be ge kita, kalau kita bertanya pada mereka dengan cara lugas dan menuduh, semisal ” kamu pacaran, ya ?! ” atau ” kamu merokok, ya ?! ”
Ya terang saja, anak – anak remaja memilih kabur dari rumah ketimbang menghadapi pertanyaan ortu yang nggak cerdas seperti ini.

Kembali ke tayangan televisi yang bikin emosi gara – gara presenternya yang serasa ngetop sendiri. Aku punya saran, lebih baik pindahkan saluran, dan cari acara lain yang lebih menyegarkan pikiran, lalu kita browsing saja di internet, atau baca koran, jika ingin mengikuti perkembangan beritanya lebih jauh lagi. Lebih tenang dan privat .

Jadi, jangan marah sahabatku ....
Sudah terlalu banyak kemarahan di negeri ini ....

salam sayang,

anni :)

WASPADAI CELANAMU ..... !!


Saya bukan  ahli fashion, bukan juga seorang fashionista. Saya  bukan pengamat mode apalagi korban mode. Sehari - hari  saya berpakaian sederhana saja. Yang penting bersih, rapi, nyaman, dan enak dipandang. Saya rasa teman-temanpun banyak yang seperti itu. Meskipun begitu, bukan berarti kita tidak menaruh perhatian pada dunia mode, bukan ?

Bukan karena sekarang umat Islam sedang menjalankan ibadah puasa maka saya menulis ini.  Saya hanya ingin menyuarakan kegundahan hati saya, melihat maraknya penggunaan pakaian yang sudah sangat melenceng jauh dari salah satu fungsi sejati sebuah pakaian, yakni melindungi kesehatan.
Bagi kita yang memiliki anak-anak remaja, masalah mode pakaian yang digunakan anak-anak  menjadi masalah yang penting. Mau tidak mau kita harus tahu  trend mode yang berkembang saat ini, karena kebanyakan anak remaja kita senang mengikuti mode, meski dengan level yang berbeda-beda. Mengapa kita harus concern dengan trend mode, karena hal tersebut berkaitan dengan gaya hidup, dengan kepantasan, dengan moral, dan ini yang tak kalah penting : dengan kesehatan anak-anak kita.  .

Hipster Jeans, si celana melorot

Ini tentang celana (panjang) berbahan jeans model Hipster. Sejak beberapa tahun yang lalu celana model ini  sangat booming. Nyaris semua orang memakainya, tak peduli umur, tak peduli pantas ataukah tidak. Bukan hanya orang yang tinggal di kota besar yang memakai celana model melorot ini, anak-anak remaja penghuni  perkampungan di kaki bukitpun, tak mau kalah memakainya. 

Setelah bertahan kurang lebih 10 tahun sejak booming pertama kali di awal - awal tahun 2000 an (cmiiw) , celana jenis ini masih saja bertahan sampai hari ini. Tahun lalu saya sejenak merasa senang karena saat itu sempat muncul model celana jeans dengan garis pinggang yang letaknya memang di pinggang (seperti celana jeans model remaja tahun 80 - 90 an). Namun entah mengapa, model celana sepinggang ini cepat sekali menguap, tiba-tiba sudah out of date tanpa sempat mengalami booming. Dan anak-anak remajapun, tetap saja kembali memakai jeans hipster si celana melorot.

1373750433138493121


Yang menarik dari dari celana hpster adalah garis pinggangnya yang melorot sedemikian rupa sampai  jauh mencapai dasar pinggul,  hanya berjarak tiga jari saja diatas garis kemaluan. Benar-benar melorot dalam arti yang sesungguhnya. Tak hanya melorot, pipa kaki celana inipun sangat ketat dan menyempit ke bawah (model pensil). Ini artinya, anak-anak remaja yang memakai celana hipster ini, selain harus menggunakan trik khusus untuk memakainya (konon katanya, ada anak-anak yang harus membungkus kakinya dengan kantong plastik agar kakinya bisa lolos dengan licin ke dalam kaki celana. ck ck …), juga harus siap setiap saat membetulkan celananya yang sedikit-sedkiti melorot, dan buat anak perempuan sebisa mungkin dilarang kebelet pipis, mengingat sempitnya celana ini.

Celana yang kehilangan fungsinya

Ada banyak fungsi pakaian yang hilang dengan munculnya model Hipster ini. Namun yang ingin saya bicarakan disini hanyalah fungsi kepantasan dan fungsi kesehatan.

1. Fungsi kepantasan

Anak-anak remaja yang mengenakan celana jeans hipster (model pensil), seringkali terlihat berantakan dan canggung dalam bergerak, tidak lepas bebas sebagaimana seharusnya seorang remaja. Dan ini akan diperparah lagi, manakala gadis remaja yang mengenakan hipster ini masih juga memakai sepatu atau sandal bertumit tinggi. Semakin canggung saja geraknnya.

Saking melorotnya, sebentar-sebentar mereka harus menaikkan celananya ke posisi semula. Dan tentu kita semua paham, bahwa dalam etika pergaulan, gerakan menaikkan celana, apalagi  terlampau sering, adalah gerakan yang kurang elok, kurang pantas dilakukan di depan umum, terlebih   jika berulangkali dilakukan.
Masih tentang terlalu melorotnya celana hingga ke batas bawah  garis pinggul, kondisi ini akan menyebabkan (maaf) celana dalam yang seharusnya tersembunyi, menjadi menyembul dan terpapar dengan bebasnya ke luar.

Kerap kali kita melihat anak-anak remaja perempuan  yang menggunakan celana model ini, harus merelakan (entah disengaja atau tidak), celana dalamnya terlihat, manakala dia harus membungkuk, berjongkok, atau duduk diatas boncengan sepeda motor.  Ini jelas pemandangan yang tidak pantas tampak di keramaian.
Bapak-bapak saja, yang biasanya senang dengan pemandangan perempuan yang bening-bening, kalau harus melihat pemandangan seperti ini di tempat umum, kebanyakan akan merasa jengah juga, dan memilih memalingkan wajah pura-pura tidak melihat.

Masih mending kalau celana dalamnya bagus, masih baru, apalagi yang warnanya dibuat serasi dengan warna hipster jeans yang dikenakannya,  masih bisa dimaafkanlah. Meskipun begitu, anak-anak harus tahu, bahwa sesuai dengan namanya, celana dalam harus tetap berada di dalam. Tidak patut ditampakkan begitu saja.  Ini tidak ada hubungan dengan bulan puasa atau bukan, sekali lagi ini tentang kepantasan dan kepatutan.
Tapi nyatanya banyak sekali  remaja perempuan atau remaja laki-laki yang tidak “aware” dengan kepantasan itu, dan tidak peduli dengan area yang seharusnya menjadi privacy nya itu.

Sembarangan saja mereka mengenakan pakaian dalamnya. Celana dalam yang sudah usang dipakai juga. Terlihat bolong di sana-sini, renda yang sudah keriting, jahitan yang dedel, motif dan warna celana dalam  super norak yang warnanya sudah luntur, dsb, yang semuanya, jika nongol begitu saja dari tempat yang seharusnya, sangat menyakitkan mata orang yang memandangnya.
Yang paling parah itu, kalau si gadis merelakan tali G-Stringnya terlihat dengan bebas, saking melorotnya sang hipster. Aihh, bisa batal nih puasanya bapak-bapak.

2. Fungsi kesehatan

Sudah banyak ahli kesehatan yang. mengeluhkan bahaya celana jeans hipster yang terlampau ketat ini.
Dr Lisa Stern, seorang pakar kesehatan dari USA mengungkapkan bahwa sindrom yang ditimbulkan celana ketat model hipster sudah menjadi semacam epidemi. Bagi perempuan yang sering mengenakan celana ini, resiko yang paling sering timbul adalah gangguan kesehatan terhadap alat reproduksi. Bisa berupa perubahan cairan vagina, iritasi kulit, hingga radang rongga panggul. Dalam beberapa kasus, sindrom celana ketat disertai dengan penyakit menular seksual seperti infeksi jamur, kram menstruasi, serta gangguan pencernaan.
Sementara Dr Octaviano Bessa, masih dari USA mengungkapkan, penggunaan celana yang terlalu ketat dapat menimbulkan motilitas usus. Hal ini menyebabkan seseorang merasa tidak nyaman dan sakit pada bagian perutnya dua atau tiga jam setelah makan. Namun jarang ada orang yang menyadari bahwa gangguan tersebut disebabkan pemakaian celana yang sempit . Celana ketat juga menyebabkan gangguan pada syaraf yang disebut gangguan meralgia paresthetica. Jika penggunaannya digabungkan dengan pemakaian sepatu model stiletto, maka akan menyebabkan tekanan pada syaraf fermonalis, yang menyebabkan rasa tertekan dan nyeri seperti terbakar di daerah kaki. (healthdetik.com)

Busana mencerminkan peradaban 

Saya tidak sedang membicarakan fungsi pakaian dari sudut pandang Islam agama saya. Karena dalam agama kami, tata cara berpakaian bagi laki-laki dan perempuan sudah jelas aturannya. Disini saya berbicara sebagai seorang pendidik dan seorang warga negara yang menaruh concern pada mode pakaian yang berkaitan dengan pertumbuhan dan kesehatan anak-anak (remaja) Indonesia. Lebih jauh lagi saya yakin, semua agama mengajarkan agar penganutnya menggunakan pakaian sesuai dengan kepantasan, kesopanan, dan tidak membahayakan kesehatan.

Anak-anak yang tumbuh di lingkungan keluarga yang kondusif, yang mendapatkan kasih sayang dan didikan memadai dari orang tuanya,  tentu sudah terbiasa menggunakan pakaian dengan sewajarnya. Artinya, meskipun mengikuti mode, pemilihan pakaian pun tetap memperhatikan faktor kenyamanan, perlindungan, keindahan, kepantasan, dan kesehatan.

Namun di luar sana, begitu banyak anak-anak remaja yang sangat asal-asalan dalam memilih pakaiannya.  Asal modis, asal menuruti kata hatinya, tanpa mempedulikan apakah busana yang dikenakan cocok dengan dirinya, dan apakah baik bagi kesehatannya ataukah tidak. Mereka tidak menyadari bahaya yang sedang mengancam dirinya, karena tak ada orang dewasa yang memberitahu mereka.

Tentu  kita tidak dapat begitu saja melarang anak-anak memakai jeans hipster yang ketat, karena masalah mode adalah masalah selera. Tak bisa pula kita melarang para penggiat mode dan pebisnis mode untuk terus memproduksi jenis jeans model  ini, karena itu juga hak mereka.
Yang bisa kita lakukan adalah mendidik anak-anak remaja kita dengan sungguh-sungguh, memberi pemahaman yang baik dan benar tentang mode busana yang baik dan tidak baik, yang pantas dan yang tidak pantas bagi perkembangan fisik dan mental mereka.

Mungkin sudah saatnya meningkatkan frekuensi diskusi dan dialog dengan anak-anak remaja di lingkungan kita. Karena bagaimanapun sudah seharusnya setiap orang dewasa berperan sebagai guru dan teladan yang baik bagi anak-anak dan remaja di lingkungannya. Hal ini sangat penting, karena busana yang dikenakan suatu bangsa menunjukkan tingkat kemajuan peradaban dan akhlak suatu bangsa.
Nah teman-teman, selamat mendidik yaa .. :)


Salam sayang,

Anni


http://lifestyle.kompasiana.com/urban/2013/07/13/ayo-dik-naikkan-celanamu--576500.html

Wednesday, September 16, 2009

KUE " PANDANG TAK JEMU "



Suasana menyambut Lebaran sungguh sudah terasa di lingkungan tempatku tinggal. Ketika sore hari aku menyapu daun yang beserakan di halaman depan rumah, harum kue kering yang sedang di panggang di dalam oven berkali – kali menggoda penciumanku, membuat perutku yang sedang berpuasa jadi terasa semakin lapar. Tentu ibu tetangga sebelah rumah sedang sibuk membuat kue – kue kering untuk keluarga besarnya, wah … tetanggaku itu memang rajin sekali.

Di saat lain, jika aku kebetulan melalui jalan- jalan kecil atau gang-gang sempit di sekitar kampung itu, aroma kue – kue yang sedang dipanggang menyeruak di hampir setiap rumah, sampai kadang bingung, rumah mana kira- kira yang nyonya rumahnya sedang memanggang kue nan harum itu, saking meratanya aroma kue ke seantero gang.

Suasana tak berbeda juga aku jumpai ketika beberapa hari lalu aku menyempatkan diri menengok ibu dan ibu mertuaku di Bandung. Dimana-mana aku mencium aroma kue kering yang harumnya sanggup membuat anak kecil yang baru belajar puasa merengek – rengek minta buka. Aroma kue kering itu tak hanya sekedar menggoda selera, namun juga begitu nikmat dibayangkan. Bahkan aroma yang serba manis itu sanggup melambungkan anganku pada suasana khas Lebaran yang membuatku rindu dan tak sabar untuk segara menuju hari Lebaran yang sangat ditunggu –tunggu itu. Aku sungguh kangen pada suasana yang penuh haru bercampur bahagia, suasana meriah dan hiruk pikuk segudang sepupu dan keponakan, suasana mengobrol tak ada habisnya, suasana yang hanya ditemui di saat Lebaran tiba.

Untuk Lebaran tahun ini aku dan 7 orang saudaraku telah melarang Ibu kami untuk membuat kue dan memasak hidangan Lebaran, mengingat sepuhnya usia beliau, 74 tahun !
Alhamdulillah, kali ini Ibu menurut, biasanya mana mau ibu disuruh berpangku tangan saja menyambut hari Raya. Mungkin tahun ini ibuku sudah sadar, bahwa dirinya sudah tua, sehingga harus lebih menghemat tenaga. Biasanya kan beliau ini susah banget dikasih tahu, nggak sadar kalau beliau ini sudah tua, merasa masih 40 tahun aja, kali …

Sebagai gantinya, kami membawakan kue – kue kering untuk ibu. Jika seorang membawa minimal 3 toples, bayangkan berapa banyak kue kering yang terkumpul ? semeja makan penuh !
Mungkin karena banyaknya kue kering yang terkumpul, ibuku tidak banyak membantah ketika dilarang bikin kue. Lucunya, kue – kue itu banyak yang seragam, meski berbeda penampilan. Sama-sama kue Nastar, tapi rasa dan penampilannya berbeda. Maklum tangan yang membuatnya pun berbeda. Dan percakapan yang selanjutnya sangat mudah ditebak : bagaimana perbandingan tepung, gula, telur, dan menteganya. Bahan apa yang ditambahkan, selai nanasnya bikin sendiri atau beli jadi, dll. Sungguh asyik dan bikin kangen menyimak percakapan saudara- saudaraku yang seperti ini.

Bagaimana dengan aku ? hmmm ... dari pada banyak ditanya macam – macam dan aku nggak bisa menjawab, lebih baik aku mengirim kue – kue kaleng saja dan beberapa botol sirup untuk ibu. Dengan demikian, aku akan terbebas dari pertanyaan tentang cara membuatnya. Nah, aman kan ?

Saudara – saudaraku sudah tahu betul, kalau aku tidak begitu suka membuat kue yang sungguh menyita waktu itu. Sebetulnya aku bisa membuat kue kering. Suatu saat pernah kucoba, dan membuat kakak- kakak serta iparku heran, kok bisa ya aku membuat kue seenak itu ? ( yaa ..eya laah ..syapa dulu geto loch ... !! ). Namun aku tidak pernah lagi membuat kue, karena waktunya selalu bentrok dengan tidur siang .. hehee ... enggak deng, karena kesibukan kerja yang nggak ada habis – habisnya aja, beneran deh .. !
Lagian buat apa bikin kue ? siapa yang mau makan ? nggak bikin aja, kiriman kue dari orang tua siswa sudah cukup banyak, belum lagi pemberian dari kenalan, saudara, dan relasi, sungguh bejibun ! alhamdulillah. Jadi kenapa harus bikin lagi ? kalau nggak kemakan, kan mubazir ...

Lain lagi suasana di rumah ibu Mertua di Sarijadi Bandung.
Ketika aku tiba di sana, suasana dapur seperti ada dalam keadaan darurat perang, layaknya habis diacak-acak demonstran, atau seperti suasana pasar bubar kali ya ... wah, betul – betul seru dan sibuk !
Mama dan beberapa adik ipar perempuanku, sedang berkutat dengan adonan kue yang menggunung. Seorang bergulat menguleni, seorang mencetak, seorang membakar, beberapa keponakan yang sebesar – besar Unyil nggak berhenti ngrecokin ... kulit telur berserakan, tepung berhamburan, meja dapur licin oleh ceceran mentega. Baskom , cetakan kue, loyang, spatula, sendok, gelas, bergelimpangan di setiap penjuru dapur, aroma kue yang sedap menyeruak dari dalam oven ....
ahh ... benar – benar suasana yang dahsyat yang hanya aku temui setahun sekali !

Tanpa banyak cakap, aku langsung mengambil bagian dalam kehebohan itu. Aku mengambil inisiatif untuk segera menyusun kue – kue itu ke dalam toples – toples kaca jaman kuno ( yang menurut Mama, sudah beliau miliki sejak 45 tahun! ck ck ck ... ).
Eh, jangan menganggap sepele pekerjaan memasukkan kue ke dalam toples, lho !
Ini pekerjaan yang rumit, lama, dan memerlukan ketekunan serta kesabaran, lho ! Bayangkan saja, kue- kue itu harus disusun dalam keadaan seragam. Semuanya harus berdiri dalam posisi sama, menghadap ke arah yang sama, miring ke arah yang sama, semua sudut toples harus terisi, harus penuh tapi nggak boleh padat ... bagaimana ? ribet kan ? nggak sembarang orang bisa mengerjakannya. Harus dikerjakan oleh orang yang teliti, punya kemampuan orientasi ruang yang baik, dan sabar seperti aku ini contohnya, baru bisa ... ;)

Kesibukan membuat kue kering itu, baru babak pertama dari babak lain yang nantinya akan lebih seru lagi. Masih ada beberapa ritual yang sudah menunggu untuk digarap oleh tangan – tangan perempuan yang terkenal terampil di rumah ibu mertuaku ini.
Ritual sehari menjelang Lebaran, apalagi kalau bukan membuat hidangan makan siang Lebaran. Membuat ketupat, dengan lauk opor ayam, sambal goreng kentang dengan petai, sambal goreng hati, semur daging sapi, tumis cabai hijau, acar mentimun wortel dengan bawang merah dan cabe rawit mentah, lengkap dengan emping atau kerupuk udang, kadang ada juga tambahannya yaitu pepes ikan mas yang ukurannya super besar ... hmmm ...yummiiiii ....

Terbayang bagaimana luar biasanya kesibukan yang akan terjadi di dapur ibu mertuaku yang tak begitu luas itu. Sebetulnya makanan sebanyak itu tak akan memakan waktu terlalu lama dalam proses pembuatannya, karena banyak tangan yang akan mengolahnya. Namun dalam hal masak – memasak, ibu mertuaku sungguh memiliki prinsip yang berbeda, yang tak boleh dilanggar. Prinsip yang sangat beliau yakini kebenarannya dan akan membuatnya tersinggung jika kami mencoba menggugatnya.
Padahal menurutku dan menurut adik – adik iparku, prinsip beliau itu sebetulnya tak begitu penting dan malah bikin ribet. Tapi daripada nanti panjang persoalannya, kami yang muda- muda ini memilih mengalah saja ...

Prinsip apa sih ? ini soal memasak opor ayam yang tersohor itu. Mama nggak mau masak opor kalau ayamnya bukan ayam kampung. Harus ayam kampung dan ayam hidup. Nah, kebayang kan betapa suamiku dan seluruh adik ipar laki-laki yang sehari –hari biasa berkutat dengan laptop, kali ini harus berkutat di halaman belakang dengan 8 ekor ayam kampung hidup yang selalu memberontak, menyembelihnya, merendam dalam air panas, mencabuti bulu-bulunya, membersihkan ususnya, dan memotong-motongnya dengan ukuran yang tidak boleh melenceng dari yang sudah Mama tentukan. Kadang kasihan bercampur geli aku melihat bapak-bapak ganteng ini, belepotan darah, dengan seluruh badan dan rambut penuh dengan bulu ayam, berkali-kali menggaruk tangan dan kaki karena lalat tak henti merubung. Bau mereka sungguh sudah mirip dengan bau ayam yang mereka kerjai, hehe ... lucu melihat tampang mereka yang cemberut ...
Tapi, biar mereka punya jabatan boss di kantor, mana berani mereka membantah titah ibu mertua yang sakti itu ?
Ah melihat itu, aku jadi ingin cepat – cepat jadi mertua ... ;)

Prinsip lain dari beliau yaitu tantang SANTAN. Ya santan, air pati putih kental dari perasan buah kelapa yang berasa manis gurih itu. Untuk memasak segala sesuatu yang membutuhkan santan, ibu mertuaku hanya percaya pada kelezatan santan yang didapat dengan cara kuno yakni dengan memarut buah kelapa dan kemudian memerasnya. Tidak boleh dengan cara lain. Mama tidak sudi memakai kelapa yang dibeli di pasar dalam keadaan sudah diparut, apalagi memakai santan instan kemasan yang banyak dijual di toko-toko dan supermarket. No Way !
Menurut beliau, santan yang didapat dari kelapa yang diparut dengan mesin akan berasa hambar, sementara santan kemasan berasa aneh, seperti rasa obat, katanya. Jadi, kami harus kerja sama memarut 20 an butir kelapa, karena harus begitu caranya ... halaaaah ... capee dee ...
Kalau aku sih, mendingan disuruh ngepel dari pada disuruh marut ...

Prinsip ibu mertuaku yang nggak kalah saktinya adalah tentang cara menghaluskan bumbu. Menurut beliau, bumbu harus dihaluskan dengan cara diulek ! ya, betul diulek, dihaluskan dengan cara manual, semua bumbu diletakkan diatas cobek lalu dihaluskan dengan alat yang bernama mutu, munthu, ulekan, atau apalah namanya, sebuah peralatan rumah tangga yang aku rasa sudah dipakai ibu – ibu di Indonesia sejak jaman Homo Habilis dulu ...
Jangan harap ada bunyi desing blender di dapur Mama. Semuanya harus serba diulek, karena rasa yang dihasilkan akan jauh lebih nikmat, sedap, sedep, lezat, dan mak nyuuus ...
Blender hanya boleh dipakai untuk membuat jus buah.
Hmmpff ... lagi – lagi aku akan mengambil pekerjaan lain semisal menyetrika, daripada harus ngulek bumbu yang segambreng itu, ogah ahh .. mana pegel, mana harus bercucuran air mata karena pedihnya gas bawang merah ...

Yang aku ceritakan tadi itu belum seberapa, lho..
Masih ada beberapa prinsip lain dari ibu mertuaku yang pantang dibantah, seperti keharusan menyangrai terlebih dahulu rempah-rempah yang berbau menyengat, menggarang diatas api beberapa jenis rempah tanah, semisal jahe, kunyit, dan sejenisnya, memetiki ekor toge satu persatu, padahal togenya ada segunung .... wah ... parah banget deh ... kalau kita lakukan pekerjaan ini, bisa mulai dari sahur, dan selesai pas beduk maghrib. Sungguh acara ngabuburit yang menyenangkan, bukan ?

Kadang semua prinsip itu terdengar sangat kaku, kuno dan merepotkan. Namun setelah kami merasakan hasil masakannya, kami hanya bisa diam seribu bahasa, tak sanggup membantah, karena memang masakan ibu mertuaku sungguh nikmat tiada tara. Bikin ketagihan, padahal nggak pakai penyedap rasa, nggak pakai bahan – bahan penembah selera lain, asli hanya bahan kampung biasa, tapi rasanya .... bukan main !! Ibu Mertuaku, biar jadul tapi Te o pe ... TOP !!

Jika hari lebaran telah tiba, yang diserbu ya itu tadi, ketupat dan kawan – kawannya itu. Makan sampai kenyang dan biasanya berakhir dengan perasaan enek, mblenger ...
Kalau sudah begini, tak seorangpun mau menyentuh sederet kue kering yang pada saat shaum sungguh menggoda selera. Tak segigitpun kami mencoba kue nastar yang enak itu, kue kaastengels yang renyah dan gurih, kue kacang, kue putri salju, kue semprit coklat, kue sagu keju, kue kelapa, kue semprit dengan selai strawberry, kue coklat chips, kacang bawang, cheestick, kue bolu marmer, dll ... padahal semua kue itu memiliki rasa yang sangat lezat. Yang kami lakukan hanya duduk – duduk mengobrol menanti sanak saudara yang terus berdatangan, sambil mata kami tak lepas menatap deretan toples kue warna – warni di atas meja tamu di depan kami. Semua kue itu sangat indah dipandang mata, namun tak sedikitpun hati kami tergerak untuk mengambil sepotong dan memakannya. Ini lah mungkin yang disebut ” Kue Pandang Tak Jemu ” itu ya... ?

Aku yakin, pengalamanku ini tak akan jauh berbeda dengan pengalaman teman – teman semua. Suasana Lebaran di negeri kita sungguh khas dan menerbitkan kebahagiaan dan rindu bagi siapapun yang merayakannya. Semua senyuman ramah, semua binar mata, semua baju baru, semua harum bunga sedap malam di vas meja tamu, semua kue kering dan ketupat opor, nyaris aku temui di setiap rumah yang aku kunjungi. Sungguh suasana langka penuh rasa persaudaraan yang semakin jarang aku temui akhir – akhir ini. Alhamdulillah, semua makanan di keluarga besarku, di rumah ibuku dan ibu mertuaku, selalu habis tak bersisa. Orang tua kami sangat mewanti – wanti kami agar tidak pernah memubazirkan makanan, rezeki dari Allah.

Kami selalu membagikan semua makanan itu kepada sanak saudara dan tetangga yang tidak mampu, agar semua dapat merayakan kebahagiaan di hari raya ini. Dan akupun membiasakan tradisi itu di rumahku. Aku bagikan semua kue – kue dan makanan kepada tetangga – tetangga yang tak berpunya di kampung kami. Menurutku, hari Raya Idul Fitri harus dirayakan dengan benar. Benar secara syariat dan benar secara adat. Bukankah kita harus mencari keridhoan Allah dan juga keridhoan manusia ?

Atas nama pribadi dan keluarga, saya mengucapkan kepada teman - teman tersayang,
Selamat Hari Raya Idul Fitri 1 Syawal 1430 H
" Taqobalallahu minna wa minkum "
Mohon Maaf Lahir dan Batin

salam sayang,

anni :)

Saturday, August 15, 2009

Kasus Marshanda : Anak - Anak Kita Bukan Mesin Pencetak Uang !!



Andriani Marshanda. Demikian nama gadis cantik berusia 20 tahun itu.
Siapa yang tidak kenal dengannya. Nama itu begitu berkibar dan kerap menghiasi acara - acara sinetron di semua stasiun TV di Indonesia. Entah berapa sinetron yang sudah dia bintangi.

Sejatinya Marshanda adalah anak Indonesia yang cerdas, aktif, berprestasi dan potensial. Beginilah seharusnya anak-anak Indonesia, mampu menggali semua bakat yang mereka miliki untuk kemajuan dirinya.

Aku bukan penggemar Marshanda,, dan Aku juga tidak menyukai sinetron yang ditayangkan di negeri ini. Aku hanya menyaksikan satu sinetron "Si Doel, Anak Sekolahan ". Namun aku ingat betul, aku pernah sering menyaksikan akting gadis manis ini, ketika semasa kecil dia membintangi sinetron kesayangan anakku, BIDADARI. Selepas itu, yang aku dengar hanya sekilas - sekilas gosip nya saja di acara infotainment yang sering ditonton oleh pembantuku.

Yang aku tahu tentang Marshanda hanyalah, dia anak Indonesia yang terlalu belia untuk mencari uang, sebagaimana ratusan anak-anak muda lainnya di dunia hiburan, yang harus bekerja ekstra keras, melampaui kemampuan tenaga yang tersimpan di tubuh mungil mereka. Aku sering mendengar, anak-anak ini, yang seharusnya belajar dengan asyik di bangku sekolah, aktif di OSIS, menjadi anggota Paskibra, tertawa bercanda bersama teman-temannya, belajar bergaul dan bersosialisasi agar menjadi warga Negara yang baik, harus kehilangan semua kesempatan itu, karena kaki dan tangan mereka terikat dengan erat oleh sesuatu keharusan yang bernama KONTRAK. Demi bergepok uang, tentu saja.

Seorang anak yang baru berusia 3 tahun, 7 tahun, belasan tahun, harus dari pagi buta hingga larut malam berada di lokasi syuting untuk menyelesaikan sebuah acara, entah sinetron atau acara hiburan lain. Bayangkan betapa tidak kondusifnya suasana di tempat syuting itu. Makan tidak teratur, kurang istirahat, kurang bermain, kurang belajar. Belum lagi dengan pemandangan kurang sehat yang tentu harus menjadi konsumsi mereka sehari – hari. Entah adegan nyata atau sekedar acting.

Mereka harus berkumpul dengan orang dewasa yang banyak diantara mereka adalah perokok berat, berkumpul dalam suasan serba permisif, dalam hubungan yang serba longgar. Anak-anak yang masih sangat muda itu, tentu belum dapat membedakan, mana ciuman yang sungguhan, dan mana ciuman yang hanya sekedar acting. Namun mereka toh harus menyaksikannya sebagai sebuah keniscayaan yang tak bisa dielakkan lagi. Aku hanya khawatir, mereka akan tumbuh dengan kesadaran bahwa orang dewasa boleh berciuman dengan siapa saja yang dia inginkan, dan dimana saja tanpa harus merasa malu.

Lebih memprihatinkan lagi, banyak diantara anak-anak itu yang kemudian harus meninggalkan bangku sekolahnya, sebab mengundurkan diri karena tak sanggup mengatur jadwal yang super ketat di tempat kerja, atau memang dikeluarkan oleh pihak sekolah, karena sekolah bersikap tegas terhadap siswanya yang terlalu sering meninggalkan jam pelajaran. Lalu mereka beralih memasuki Home Schooling, dengan alasan pendidikan model ini lebih fleksibel dalam mengatur jadwal belajar. Apa mereka pikir Home Schooling adalah lembaga yang bisa mereka atur seenaknya sendiri hanya karena mereka populer ? perlu diketahui, Home Schooling adalah sebuah institusi pendidikan yang memerlukan komitmen yang sangat kuat dari para guru dan siswa untuk belajar melebihi cara belajar di sekolah-sekolah konvensional.

Siang ini aku mendengar kabar mengejutkan tentang sakitnya Marshanda. Bukan sembarang sakit. Dia mengalami ganguan jiwa, akibat depressi berat. Belum lagi sederet pernyakit yang harus dia tanggungkan di tubuhnya yang cantik itu. Inilah deretan penyakitnya : Tyfus, penyakit lambung, castritis kronis, maag kronis, serta penyempitan tulang leher yang kian menjepit syarafnya !
Menurut manajer nya, dokter yang merawat, dan orang tuanya, gadis itu menderita sakit karena tidak tahan terhadap beratnya tekanan pekerjaan. Selain itu dia merasa stress karena kini dia tak sepopuler dulu, ditambah tekanan dari banyak pihak yang menghendaki kesempurnaan penampilannya.

Masyaallah, Marshanda cuma anak Indonesia biasa, seperti anak-anak kita juga ... !
Sungguh tidak seharusnya orang – orang dewasa memperlakukan seorang anak sekeras itu. Usianya baru 20 tahun, seharusnya dia sedang asyik mendengarkan kuliah dari dosennya di kampus, belajar berorganisasi, dan bukannya menghabiskan empat per lima waktunya di tempat syuting dan seperlima waktu lainnya di tempat dugem karena alasan sosialisasi tuntutan pekerjaan !
Ya terang saja dia jatuh sakit. Memangnya ada, anak sebelia ini sanggup menanggung beban seberat itu ?
Aku sangat heran dengan sikap para orang tua yang menjadikan anaknya bak mesin pencetak uang, hingga abai terhadap kesehatan mental dan fisiknya putra- putrinya, yang seharusnya mereka lindungi.

Aku sangat yakin, Marshanda hanyalah fenomena gunung es, yang jika kita dapat menyibak fakta yang sesungguhnya, niscaya kita akan dibuat terperangah karena miris dan ngeri. Betapa gemerlap dunia hiburan yang menjanjikan limpahan materi, kepopuleran dan keistimewaan, di satu sisi menjadi mesin pembunuh yang sangat efektif bagi jiwa ribuan anak-anak Indonesia yang seharusnya dilindungi.

Derasnya kocek yang bakal menyesaki kantong, serbuan fans yang histeris, kini menjadi iming-iming yang sangat mujarab bagi sejumlah rumah produksi untuk membuat acara – acara reality show yang dapat membuat pesertanya menjadi mendadak terkenal. Dan aku sangat kecewa, banyak diantara acara itu, yang ditujukan untuk anak-anak...
Lihat saja, ribuan anak diantar oleh orang tuanya yang sangat ambisius, memenuhi ruangan audisi, demi sekeping harapan : meraih popularitas yang dapat mengangkat mereka ke jenjang kehidupan yang lebih mapan.

Kadang seseorang itu menjadi orang tua karena kebetulan saja dia memiliki anak. Namun banyak sekali orang tua di negeri ini yang sama sekali tidak memiliki kapasitas sebagai orang tua dalam arti yang sesungguhnya. Alih – alih mendidik dan mengayomi, mereka justru melihat anak-anak yang dilahirkannya itu sebagai aset yang sangat berharga untuk menambah kocek mereka, karena mereka sendiri tak mampu untuk melakukannya. Aku banyak melihat, bagaimana seorang ibu yang karena tak berhasil menjadi artis di masa mudanya , lantas mendadani anak kecilnya semenor mungkin, agak segera menjadi artis sebagai pengganti impiannya yang tidak tercapai.

Kegenitan para orang tua ini terasa mendapat saluran yang pas, dengan semakin maraknya acara – acara televisi yang dapat mengekspresikan ambisi mereka. Semakin banyak saja acara TV yang tidak bermutu akhir - akhir ini. Aku malas membahasnya. Aku lebih suka meninggalkannya saja, dan mengajak anak-anakku membaca buku, sebagai ganti menonton acara sinetron yang hanya membusukkan jiwa. Percuma saja meneriakkan anti pati terhadap acara murahan di televisi, karena pihak-pihak yang berwenang atas kualitas penyiaran, rasanya sudah kian buta dan tuli saja akhir-akhir ini.

Marshanda, dan jutaan anak Indonesia lain, yang bekerja demi segudang uang atau hanya demi dua ribu rupiah sehari dilampu – lampu merah, harus dilindungi. Mereka adalah penerus kita di masa depan, manakala usia kita sudah semakin uzur dan tenaga kita kian melemah. Apa yang dapat kita harapkan dari anak-anak yang sedari usia dini sudah tidak utuh lagi jiwanya. ? berlubang di sana – sini karena tercerabut dari akar masa kecilnya ? sangat sulit mengharapkan anak- anak Indonesia akan memiliki rasa empati terhadap sesama, berjiwa social tinggi, gemar menolong, mudah iba, santun dalam bersikap, jika sedari kecil ditempa dengan kekerasan hidup yang tak terperi.

Biarkan anak – anak Indonesia, anak-anak kita hidup dalam dunianya. Biarkan mereka bebas belajar, bermain, menimba ilmu kehidupan, hingga mereka tumbuh menjadi pribadi yang dewasa dan mandiri, bukannya pribadi yang kecil - kecil sudah pacaran bak orang dewasa yang besok mau menikah saja, sombong, egois, selalu ingin diistimewakan dan bebal.

Bukan dengan gratis Allah mengamanahkan anak kepada kita. Kehadiran mereka melalui rahim kita atau istri kita, adalah berarti sederet kewajiban dan keharusan yang harus kita laksanakan dengan penuh kesadaran dan tanggungjawab. Bukan hanya sekedar segumpal hak yang bisa diperlakukan sekehendak hati kita. Mari selamatkan anak- anak Indonesia dari orang tua dan penguasa uang yang sangat serakah tanpa belas kasih di negeri kita tercinta.

salam sayang,

anni :)

Monday, June 8, 2009

Kecil- Kecil Jatuh Cinta


“ Bu, Ade suka sama Ray. Ade inget terus sama dia "
Deg ! jantungku serasa berhenti mendadak ! Sesaat aku tercenung mendengar kalimat polos dan spontan yang keluar dari mulut anak bungsu ku yang masih duduk di kelas 6 SD itu.
Sesaat itu juga, aku tak tahu harus berkomentar apa untuk menjawab pernyataan lugas gadis cilikku ini. Serasa hilang semua kemampuan berfikir ku. Terbang semua kemahiranku dalam memilih kata – kata. Kemahiran yang selama ini sangat aku andalkan untuk meredam gejolak perasaan murid – murid SMA di tempatku mengajar.

Alangkah mudahnya menasihati murid – muridku yang semuanya laki-laki dan berusia belasan tahun itu, manakala mereka datang padaku dan mengadukan isi hatinya. Sesungguhnya bukan nasihat muluk-muluk yang aku ucapkan pada mereka. Hanya sesungging senyuman dan serangkaian kata-kata ekspresif, semisal : Oh ya ? Hmm ... Trus, menurut kamu gimana ? Wah ... menarik tuh ! Atau : Masyaallah .. gimana kejadiannya ?
atau : deuh ... senangnya yang lagi jatuh cinta ...
Cuma kata – kata seperti itulah yang aku ucapkan pada mereka. Sama sekali bukan kata-kata yang memerlukan tingkat penalaran yang tinggi untuk memahaminya.

Pada umumnya murid-muridku sangat senang curhat kepada ibu gurunya. Bagitupun aku. Aku sangat senang jika dapat membantu anak-anak muda ini. Yang aku lakukan bagi mereka hanyalah menyediakan telinga untuk mendengar, melapangkan dada, dan menyodorkan beberapa alternatif solusi bagi masalah mereka.

Kembali ke masalah anak gadis kecilku yang ketimpa cinta monyet ….
Ya Allah, aku sampai tak sanggup berkata-kata. Menasihati ratusan murid sudah menjadi bagian pekerjaanku sehari-hari yang cukup mudah aku lakukan. Tapi menasihati anak sendiri yang lagi kasmaran ? sungguh bukan pekerjaan yang gampang. Kuraih tangannya, dan kududukkan di sampingku.

Sambil ngobrol kupandangi wajah nya. Sejenak kilasan – kilasan masa lalu bertemperasan di dalam fikiranku. Masih segar di ingatanku saat – saat aku hampir meregang nyawa ketika melahirkannya. Bayi yang lucu, montok dan sehat. Berkulit kuning bersih, rambut tebal hitam legam dan bermata bintang kejora. Terbayang saat dia belajar berjalan, belajar berbicara, belajar bernyanyi … Waktu serasa berhenti di sekelilingku
Dan kini, hampir tak dapat kupercayai pendengaranku, dia datang padaku dan mengaku jatuh cinta …

Selanjutnya, aku lebih banyak diam termangu dan mendengarkan dengan penuh rasa ingin tahu segala isi hatinya dan segala kekagumannya kepada teman sekelasnya yang bernama (sebut saja namanya ) Ray itu.
Ooh .. jadi si Ray ya orangnya, yang berhasil mencuri hati gadis kecilku ini ? ( dalam hati aku penasaran juga ... ganteng nggak ya ? pinter nggak ya ? badung nggak ya ? anak siapa ya ... ? dll, wah jauh banget deh pikiranku .)

Ketika dia bercerita, aku malah asyik dengan pikiranku sendiri. Hmmm ... waktu aku seumuran dia, aku sudah jatuh cinta belum ya ? Ah , rasanya belum deh. Waktu kelas 6 SD, aku tu lugu banget, nggak punya rasa sama sekali kepada teman-teman cowok sekelasku, atau kepada cowok-cowok tetanggaku. Kupikir males banget berurusan sama mereka. Ih ... mana badung, kasar, bau ...
Aku ingat di masa yang lalu, kalau ada anak laki-laki menggodaku, aku suka melotot dan cemberut, dan besoknya aku nggak mau lewat tempat itu lagi … hehee …
Namun anak sekarang beda, lebih cepat menjadi dewasa.

Namun selang beberapa hari kemudian, gadis cilikku yang beberapa hari belakangan ini terlihat banyak menghabiskan waktunya di depan cermin, nyanyi – nyanyi sambil joget-joget nggak jelas, melamun, senyum sendiri, tiba-tiba berubah normal kembali. Sekarang dia pergi bermain di luar lagi dengan anak tetangga, pergi ngaji lagi, asyik di depan komputer, baca buku lagi, banyak makan lagi, nggak suka ngaca lagi ... pokoknya normal lagi deh
Kurasa aku tahu penyebabnya. Tentu karena perasaan blue yang selama ini mengganggu hati dan pikirannya sudah hilang . Dan ternyata benar saja dugaanku itu.

Dia sudah tidak cinta lagi sama si Ray. Dan tahu nggak apa alasannya sehingga cintanya cuma berumur 3 hari saja ?
Dia bilang, " ih apaan si Ray ... imut gitu ! Item MUTlak ! udah alay, sotoy lagi ... "

Hah ?!! apa ?! coba ulangi lagi ... !! Item MUTlak, alay, sotoy ...
Waaa …!! gantian aku yang melongo … apaan tuh ?!
" Lho, De … sama teman kok ngomong gitu ? ", tanyaku.
" Habis, dia bilang aku lebay ... ya udah aku bilang aja kalo dia itu imut, alay, sotoy ... ", begitu jawabnya.
" Yaah Ade… diejek satu kata kok ngebalasnya 3 kata ? ", ujarku lagi.
Dan si Ade ini diam saja, tidak menjawab, hanya cemberut ...

Aduh ampuunn, ah tapi sudahlah, apapun artinya kata-kata ajaib itu, pasti konotasinya negatif, sehingga kesemuanya itu sudah cukup menjadi alasan bagi gadisku untuk melupakan Arjuna seumur jagung nya. Alhamdulillah, leganya hatiku karena anakku terhindar dari pacaran dini. Kemudian ketika kutanya lagi, jadi sekarang Ade suka sama siapa ? dia bilang, suka sama Daniel Radcliff … eta si Harry Potter ! ampuuunn … dasar budak ! ( aku tidak berkomentar apa- apa lagi. Biarin ajalah pacaran virtual ini … nggak mungkin kontak fisik)

Hmm Ade, Ade ... Aku jadi ingat syair lagu jadulnya Bimbo yang berjudul " Cinta Kilat ". Salah satu baris syairnya, berbunyi " Cinta kilat cinta seminggu, putus satu tumbuh seribu. Patah tumbuh hilang berganti. Patah hati carilah ganti ... ".
( Bagus De .. ! jangan pernah menangis kalau kamu putus sama pacar ... lebih baik cepat cari gantinya. Kalau bisa, sebelum putus cari gantinya dulu ..
hehee .. gak deng ...becanda ...

Nah kurang lebih seperti itulah pengalamanku sehari - hari dalam membesarkan anak-anakku. Ada – ada saja kejadian yang datang padaku, disaat anak-anak beranjak remaja. Kadang tidak mudah menjadi ibu yang pengertian dan cukup sabar bagi mereka. Ketika aku belum benar-benar siap menerima perubahan, tiba-tiba saja bayi-bayiku sudah beranjak remaja. Menghadapi mereka, aku punya cara yang mudah. Ketika mereka mengungkapkan perasaannya umpamanya, aku mencoba berpikir dengan cara mereka berfikir ( toh kita pernah seusia dengan mereka ), tidak mencela, atau memotong pembicaraan, tidak menghakimi kalau mereka salah, dan tidak terlalu banyak mengatakan : harus, harus, harus …
Insyaallah, anak-anak itu akan mengerti dan mudah diarahkan. Atau minimal mereka memiliki kemampuan menimbang, mana yang baik dan tidak baik buat mereka.

Mohon maaf kepada para senior yang sudah memiliki rumah tangga dengan anak-anak yang jauh lebih dewasa, bukan bermaksud menggurui. Maklum namanya juga ibu guru, biasa dee ... kalau sudah bercerita, nggak klop rasanya kalo nggak panjang dan lebar .....

salam sayang,

anni :)

Dikira Bu Asep



Dua bidadari cilikku sekarang sudah menjelma gadis remaja cantik yang sudah duduk di bangku kelas 12 dan kelas 10 SMA. Sejak masih taman kanak-kanak, mereka berlangganan ojek untuk pergi dan pulang sekolah. Dihitung-hitung sudah 12 tahun kami berlangganan ojek itu, yang pengemudinya tidak ganti-ganti. Panggil saja namanya mang Asep.

Mang Asep ini tetangga berbeda gang dengan kami, hanya berbeda RT saja. Saking lamanya berlangganan ojeknya, beliau sudah kami anggap keluarga sendiri. Mang asep ini umurnya kurang lebih 40 tahun, tapi sudah punya cucu. Orangnya jujur dan tak banyak bicara. Dia juga rajin bekerja. Kalau tidak sedang menarik ojek, disuruh kerja apa saja pasti mau. Dimintai tolong beresin rumput di halaman, memetik kelapa muda di belakang rumah, mengusir ular yang menyelundup ke teras, mengecat pagar, sampai disuruh beli gas juga , dia ayo aja. Senang kalau ada orang yang giat seperti ini. Mau memberi uang berapapun senang saja, karena hasil kerjanya memuaskan.

Saking lamanya berlangganan, orang-orang yang tinggal di sepanjang jalan yang dilalui ojek mang Asep,antara rumahku dengan sekolah anak-anak, banyak yang mengira bahwa si Kakak dan si Ade adalah anak- anaknya mang Asep. Mereka mengira begitu karena mereka melihat setiap hari selama 12 tahun, mang Asep rutin membonceng anak yang itu-itu saja. Jadi wajar kalau mereka berkesimpulan, bahwa si Kakak dan si Ade adalah anak mang Asep. Tak hanya itu, teman-teman anak-anakkupun banyak yang mengira bahwa mang Asep adalah ayah Kaka dan Ade. He he …

Sebetulnya aku mengetahui kengawuran itu, namun aku membiarkan saja. Toh tak mengangguku, dan anak-anak juga bersikap biasa saja. Sampai suatu hari di waktu yang berdekatan, ada seorang tetangga baru mengatakan  sesuatu yang bikin saya dan anak-anak jadi lumayan bete juga.
Bete yang pertama, pada suatu kesempatan anak-anakku berjalan kaki untuk suatu keperluan dan berpapasan dengan ibu-ibu tetangga baru itu.  Ketika anak-anakku menyalami ibu itu, beliau menyapa anak-anak dengan ramah, dan bertanya,
” Aduuh ini gadis-gadis cantik mau pada kemana ? Ini teh putranya Pak Asep yaa ? “
” Hemhgrgh …?!   Pak Asep ? Bukan buu … kami anaknya Pak Heri “
” Pak Heri ? Lho bukannya kalian itu anaknya mang Asep yang tukang ojek itu ? “, si ibu keukeuh
” Yahh, bukan buu … “
dst …

Berhubung si ibu tetangga baru keukeuh banget dengan keyakinannya bahwa si kakak dan si ade itu anak mang Asep, akhirnya anak-anakku memilih langsung angkat kaki dari pembicaraan yang nggak nyambung Itu. Nggak kebayang gimana cemberutnya wajah anak-anak ketika itu. He he …

Bete yang kedua, saat aku bertemu dengan si ibu tetangga baru itu di swalayan dekat rumah. Kebetulan saat itu anak-anakku ikut denganku. Dengan ramah dan suara keras, si ibu menyapa dengan bebas ” eeh, bu Aseeep ! Kumaha damang ? (* apa kabar ? sehat ?)”
Mendengar itu, anak-anak gadisku langsung berjengit. Ekpressi wajah si Ade kayak orang kejepit. ” Mang Asep lagi ??!
Aku tertawa dan menjawab kalem,
“Saya bu Heri, bu ! dan ini anak-anak saya. Sudah kenal ?”
” Oh iyaa sudah kenal. Ini kan anak-anaknya pak Asep, jadi ibu tentu istrinya pak Asep, kann ? “
( Hadeeehh …. ampunn ..! Udah deh terserah si ibu aja mau ngomong apa. Hmhh ..)
Mendengar penjelasannya yang sangat ” masuk akal ” itu, aku hanya bisa takjub, diam seribu bahasa, bengong tak tahu harus menjawab apa.
Heran deh, si ibu kok keukeuh banget dengan keyakinannya bahwa si kakak dan si ade adalah anak Pak Asep dan aku adalah bu Asep. Lha mbok ya dilihat, apa wajah anak-anakku mirip dengan wajah mang Asep atau enggak.  Wong wajah mereka seperti Amerika sama Afrika gitu kok bedanya !

Selidik punya selidik, tahulah aku, bahwa selama ini mang Asep memang membiarkan saja “tuduhan” masyarakat, bahwa si kakak dan si ade adalah anaknya, dan aku adalah istrinya. Ketika aku datangi dia untuk minta konfirmasi, eh dia malah cengengesan senang.
Dasaarr mang Aseep ! Bete ahh …

Saat aku ceritakan soal ini sama suamiku, reaksi suamiku malah ketawa-ketiwi, sambil menjawil pipiku ” bu Aseeep ! Bwuahahahaaa …”
*#!?+@*#!!*!



Salam sayang,
Anni

Anak Sekolah di Indonesia Tidak Maju ?

Dalam sebuah milis saya membaca sebuah posting dari seorang rekan. Ketika membacanya timbul perasaan tidak nyaman di hati saya. Namun dari nada tulisannya, saya yakin dia hanya bermaksud bercanda, tidak serius alias main-main, dan tentu tidak didorong oleh itikad buruk.

Namun bagi saya yang sehari-hari berkutat di bidang pendidikan, isi email yang bernada menyudutkan dunia pendidikan, khususnya mendeskreditkan anak-anak Indonesia, tentu bukan masalah sepele bagi saya. Dunia pendidikan adalah dunia saya, bagian dari hidup yang sangat saya cintai. Dunia pendidikan, dunia sekolah adalah tempat saya mengabdi, bekerja, dan tempat saya merasa bermanfaat bagi anak-anak Indonesia. Dan saya sangat mencintai murid-murid saya. Mereka sudah saya anggap seperti anak saya sendiri.

Isi posting itu sungguh bernada gurau, yakni tentang efek lagu anak-anak terhadap perkembangan intelektualitas anak-anak Indonesia di kemudian hari. Pengirim email tersebut mengutip bagian-bagian syair lagu klasik anak-anak yang sangat indah itu, sebagai penyebab kemunduran bangsa ini. Orang lain boleh jadi tertawa geli membaca email tersebut. Namun mohon maaf, saya sama sekali tidak bisa mengendurkan urat syaraf apalagi sampai tertawa membaca email berjudul " Kenapa ANAK 2 SEKOLAH DI INDONESIA tidak bisa MAJU? " tersebut.

Selain berprofesi sebagai guru, saya juga seorang ibu, seorang pemerhati anak, dan seorang pecinta karya bangsa Indonesia dan pecinta negeri Indonesia.
Saya sama sekali tidak melihat ada sesuatu yang salah dengan lagu anak-anak yang ditertawakan itu. Semua olok-olok itu hanya ingin mencoba menghina dan menunjukkan kelihayan membolak-balikkan logika untuk menunjukkan betapa tingginya tingkat intelektualitas mereka ( para penghina ini ), dengan tujuan, mungkin, menciptakan "humor berkelas" yang sangat disukai kalangan berpendidikan namun - mohon maaf - kurang memiliki budi pekerti.

Ibu Sud, Pak Kasur, Bu Kasur, AT Mahmud, dll, para pencipta lagu anak-anak itu ... siapa yang tidak kenal dengan dedikasi mereka terhadap dunia anak-anak Indonesia ? dengan keluhuran nilai moral yang mereka tuangkan dalam karya mereka ? dengan besarnya kontribusi terhadap pendidikan anak bangsa Indonesia ? sungguh tidak pantas kita merendahkan mereka sedemikian rupa, padahal mereka adalah orang-orang yang sangat besar jasanya. Sementara sedikitpun kita belum memberikan penghargaan yang layak bagi mereka.

Bukan karena diajari lagu anak-anak itu, anak-anak Indonesia sulit maju hingga kini ( itupun jika memang benar, anak-anak Indonesia adalah anak yang bodoh ). Namun lebih kepada faktor lingkungan yang mereka alami sejak dalam kandungan.

Saya termasuk orang yang sangat bangga dengan anak-anak Indonesia. Sebagai contoh, mari kita kerucutkan sudut pandang kita hanya pada dunia pendidikan. Saya yakin, kita semua sudah tahu, negara mana di dunia ini yang kualitas pendidikannya paling maju ? ya, mana lagi kalau bukan Finland, Swedia, AS, Jepang, Korsel, dan Singapura. Tapi mari kita bertanya, pernahkah para siswa dari negara-negara itu, sekali saja mengalahkan anak-anak Indonesia di ajang olimpiade sains tingkat dunia ? Tidak Pernah !
Saingan kita justru datang dari para siswa yang berasal dari negara berkembang, semisal Iran, India, Israel, Hungaria, dan sesekali dari negara maju yaitu Russia. Atau kalau kita perhatikan ajang kejuaraan Choir Mahasiswa tingkat dunia. Mahasiswa Indonesia sangat dikenal sebagai langganan juara, paling sial dapat medali perunggu ... kelompok paduan suara para mahasiswa dari negara-negara maju, dilibas saja oleh anak-anak pintar ini.

Contoh yang lain , yang seharusnya membuat kita bangga dan berhenti mengolok - olok anak-anak Indonesia sebagai anak yang terbelakang, tentu sangat banyak. Tidak mungkin saya menuliskannya satu persatu di sini, nanti malah dikira narsis.

Inti dari tulisan saya ini adalah, marilah kita berhenti memperolok bangsa sendiri, menghina karya saudara sendiri, merendahkan kemampuan anak-anak kita sendiri, menjelek-jelekkan negara sendiri, dan berhenti menularkan semua perilaku itu kepada anak-anak kita. Saya yakin, maksud rekan saya memposting tulisan itu hanya sekedar bergurau, alih-alih mengejek bangsa sendiri. Namun sebagai sesama saudara, sesama keluarga besar sealmamater, tentu tidak ada salahnya jika saya mencoba mengingatkan, agar seyogyanya kita lebih mengedepankan sikap bijak dan hati-hati dalam setiap tulisan kita, meskipun tulisan itu hanya sekedar forward. Tulisan yang dirilis di milis ini, otomatis beredar dengan bebas di internet, dan bagi sebagian kalangan, tulisan seperti ini sangat memiliki sensitifitas yang tinggi.

Sekali lagi, mohon maaf jika saya terpaksa menulis seperti ini. Tidak bermaksud menggurui, apalagi menyinggung perasaan siapapun.

salam sayang,

anni :)