Menulis itu media katarsisku ...

Blog Pribadi Puji Nurani :

Sketsa sederhana tentang hidup yang sederhana ...

Menulis itu Media Katarsisku ....

Aku sangat suka .. sangat suka menulis .....
Aku tak memerlukan waktu khusus untuk menulis ..
Tak perlu menyepi untuk mendapatkan ilham ........
Atau menunggu dengan harap cemas pujian dari orang lain
agar tak jera menulis ......

Ketika aku ingin menulis, aku akan menulis tanpa henti...
tanpa merasa lelah ...
tanpa merasa lapar ...
Namun jika aku tidak menulis,
maka itu artinya aku memang sedang tidak mau menulis...

Kala kumenulis,
Aku alirkan pikiranku melalui ketukan keyboard
ke dalam layar dunia virtual aku berkontemplasi ....
Aku tumpahkan perasaanku ke dalamnya ....
yang sebagiannya adalah jiwaku sendiri ....

Lalu ... aku menemukan duniaku yang indah ...
duniaku yang lugu dan apa adanya ......
duniaku yang sederhana .........
yang aku tak perlu malu berada di dalamnya .....
Karena aku adalah kesederhanaan itu sendiri .....

Aku suka dengan cara Allah menciptakanku ...
alhamdulillah .......

Wednesday, September 16, 2009

KUE " PANDANG TAK JEMU "



Suasana menyambut Lebaran sungguh sudah terasa di lingkungan tempatku tinggal. Ketika sore hari aku menyapu daun yang beserakan di halaman depan rumah, harum kue kering yang sedang di panggang di dalam oven berkali – kali menggoda penciumanku, membuat perutku yang sedang berpuasa jadi terasa semakin lapar. Tentu ibu tetangga sebelah rumah sedang sibuk membuat kue – kue kering untuk keluarga besarnya, wah … tetanggaku itu memang rajin sekali.

Di saat lain, jika aku kebetulan melalui jalan- jalan kecil atau gang-gang sempit di sekitar kampung itu, aroma kue – kue yang sedang dipanggang menyeruak di hampir setiap rumah, sampai kadang bingung, rumah mana kira- kira yang nyonya rumahnya sedang memanggang kue nan harum itu, saking meratanya aroma kue ke seantero gang.

Suasana tak berbeda juga aku jumpai ketika beberapa hari lalu aku menyempatkan diri menengok ibu dan ibu mertuaku di Bandung. Dimana-mana aku mencium aroma kue kering yang harumnya sanggup membuat anak kecil yang baru belajar puasa merengek – rengek minta buka. Aroma kue kering itu tak hanya sekedar menggoda selera, namun juga begitu nikmat dibayangkan. Bahkan aroma yang serba manis itu sanggup melambungkan anganku pada suasana khas Lebaran yang membuatku rindu dan tak sabar untuk segara menuju hari Lebaran yang sangat ditunggu –tunggu itu. Aku sungguh kangen pada suasana yang penuh haru bercampur bahagia, suasana meriah dan hiruk pikuk segudang sepupu dan keponakan, suasana mengobrol tak ada habisnya, suasana yang hanya ditemui di saat Lebaran tiba.

Untuk Lebaran tahun ini aku dan 7 orang saudaraku telah melarang Ibu kami untuk membuat kue dan memasak hidangan Lebaran, mengingat sepuhnya usia beliau, 74 tahun !
Alhamdulillah, kali ini Ibu menurut, biasanya mana mau ibu disuruh berpangku tangan saja menyambut hari Raya. Mungkin tahun ini ibuku sudah sadar, bahwa dirinya sudah tua, sehingga harus lebih menghemat tenaga. Biasanya kan beliau ini susah banget dikasih tahu, nggak sadar kalau beliau ini sudah tua, merasa masih 40 tahun aja, kali …

Sebagai gantinya, kami membawakan kue – kue kering untuk ibu. Jika seorang membawa minimal 3 toples, bayangkan berapa banyak kue kering yang terkumpul ? semeja makan penuh !
Mungkin karena banyaknya kue kering yang terkumpul, ibuku tidak banyak membantah ketika dilarang bikin kue. Lucunya, kue – kue itu banyak yang seragam, meski berbeda penampilan. Sama-sama kue Nastar, tapi rasa dan penampilannya berbeda. Maklum tangan yang membuatnya pun berbeda. Dan percakapan yang selanjutnya sangat mudah ditebak : bagaimana perbandingan tepung, gula, telur, dan menteganya. Bahan apa yang ditambahkan, selai nanasnya bikin sendiri atau beli jadi, dll. Sungguh asyik dan bikin kangen menyimak percakapan saudara- saudaraku yang seperti ini.

Bagaimana dengan aku ? hmmm ... dari pada banyak ditanya macam – macam dan aku nggak bisa menjawab, lebih baik aku mengirim kue – kue kaleng saja dan beberapa botol sirup untuk ibu. Dengan demikian, aku akan terbebas dari pertanyaan tentang cara membuatnya. Nah, aman kan ?

Saudara – saudaraku sudah tahu betul, kalau aku tidak begitu suka membuat kue yang sungguh menyita waktu itu. Sebetulnya aku bisa membuat kue kering. Suatu saat pernah kucoba, dan membuat kakak- kakak serta iparku heran, kok bisa ya aku membuat kue seenak itu ? ( yaa ..eya laah ..syapa dulu geto loch ... !! ). Namun aku tidak pernah lagi membuat kue, karena waktunya selalu bentrok dengan tidur siang .. hehee ... enggak deng, karena kesibukan kerja yang nggak ada habis – habisnya aja, beneran deh .. !
Lagian buat apa bikin kue ? siapa yang mau makan ? nggak bikin aja, kiriman kue dari orang tua siswa sudah cukup banyak, belum lagi pemberian dari kenalan, saudara, dan relasi, sungguh bejibun ! alhamdulillah. Jadi kenapa harus bikin lagi ? kalau nggak kemakan, kan mubazir ...

Lain lagi suasana di rumah ibu Mertua di Sarijadi Bandung.
Ketika aku tiba di sana, suasana dapur seperti ada dalam keadaan darurat perang, layaknya habis diacak-acak demonstran, atau seperti suasana pasar bubar kali ya ... wah, betul – betul seru dan sibuk !
Mama dan beberapa adik ipar perempuanku, sedang berkutat dengan adonan kue yang menggunung. Seorang bergulat menguleni, seorang mencetak, seorang membakar, beberapa keponakan yang sebesar – besar Unyil nggak berhenti ngrecokin ... kulit telur berserakan, tepung berhamburan, meja dapur licin oleh ceceran mentega. Baskom , cetakan kue, loyang, spatula, sendok, gelas, bergelimpangan di setiap penjuru dapur, aroma kue yang sedap menyeruak dari dalam oven ....
ahh ... benar – benar suasana yang dahsyat yang hanya aku temui setahun sekali !

Tanpa banyak cakap, aku langsung mengambil bagian dalam kehebohan itu. Aku mengambil inisiatif untuk segera menyusun kue – kue itu ke dalam toples – toples kaca jaman kuno ( yang menurut Mama, sudah beliau miliki sejak 45 tahun! ck ck ck ... ).
Eh, jangan menganggap sepele pekerjaan memasukkan kue ke dalam toples, lho !
Ini pekerjaan yang rumit, lama, dan memerlukan ketekunan serta kesabaran, lho ! Bayangkan saja, kue- kue itu harus disusun dalam keadaan seragam. Semuanya harus berdiri dalam posisi sama, menghadap ke arah yang sama, miring ke arah yang sama, semua sudut toples harus terisi, harus penuh tapi nggak boleh padat ... bagaimana ? ribet kan ? nggak sembarang orang bisa mengerjakannya. Harus dikerjakan oleh orang yang teliti, punya kemampuan orientasi ruang yang baik, dan sabar seperti aku ini contohnya, baru bisa ... ;)

Kesibukan membuat kue kering itu, baru babak pertama dari babak lain yang nantinya akan lebih seru lagi. Masih ada beberapa ritual yang sudah menunggu untuk digarap oleh tangan – tangan perempuan yang terkenal terampil di rumah ibu mertuaku ini.
Ritual sehari menjelang Lebaran, apalagi kalau bukan membuat hidangan makan siang Lebaran. Membuat ketupat, dengan lauk opor ayam, sambal goreng kentang dengan petai, sambal goreng hati, semur daging sapi, tumis cabai hijau, acar mentimun wortel dengan bawang merah dan cabe rawit mentah, lengkap dengan emping atau kerupuk udang, kadang ada juga tambahannya yaitu pepes ikan mas yang ukurannya super besar ... hmmm ...yummiiiii ....

Terbayang bagaimana luar biasanya kesibukan yang akan terjadi di dapur ibu mertuaku yang tak begitu luas itu. Sebetulnya makanan sebanyak itu tak akan memakan waktu terlalu lama dalam proses pembuatannya, karena banyak tangan yang akan mengolahnya. Namun dalam hal masak – memasak, ibu mertuaku sungguh memiliki prinsip yang berbeda, yang tak boleh dilanggar. Prinsip yang sangat beliau yakini kebenarannya dan akan membuatnya tersinggung jika kami mencoba menggugatnya.
Padahal menurutku dan menurut adik – adik iparku, prinsip beliau itu sebetulnya tak begitu penting dan malah bikin ribet. Tapi daripada nanti panjang persoalannya, kami yang muda- muda ini memilih mengalah saja ...

Prinsip apa sih ? ini soal memasak opor ayam yang tersohor itu. Mama nggak mau masak opor kalau ayamnya bukan ayam kampung. Harus ayam kampung dan ayam hidup. Nah, kebayang kan betapa suamiku dan seluruh adik ipar laki-laki yang sehari –hari biasa berkutat dengan laptop, kali ini harus berkutat di halaman belakang dengan 8 ekor ayam kampung hidup yang selalu memberontak, menyembelihnya, merendam dalam air panas, mencabuti bulu-bulunya, membersihkan ususnya, dan memotong-motongnya dengan ukuran yang tidak boleh melenceng dari yang sudah Mama tentukan. Kadang kasihan bercampur geli aku melihat bapak-bapak ganteng ini, belepotan darah, dengan seluruh badan dan rambut penuh dengan bulu ayam, berkali-kali menggaruk tangan dan kaki karena lalat tak henti merubung. Bau mereka sungguh sudah mirip dengan bau ayam yang mereka kerjai, hehe ... lucu melihat tampang mereka yang cemberut ...
Tapi, biar mereka punya jabatan boss di kantor, mana berani mereka membantah titah ibu mertua yang sakti itu ?
Ah melihat itu, aku jadi ingin cepat – cepat jadi mertua ... ;)

Prinsip lain dari beliau yaitu tantang SANTAN. Ya santan, air pati putih kental dari perasan buah kelapa yang berasa manis gurih itu. Untuk memasak segala sesuatu yang membutuhkan santan, ibu mertuaku hanya percaya pada kelezatan santan yang didapat dengan cara kuno yakni dengan memarut buah kelapa dan kemudian memerasnya. Tidak boleh dengan cara lain. Mama tidak sudi memakai kelapa yang dibeli di pasar dalam keadaan sudah diparut, apalagi memakai santan instan kemasan yang banyak dijual di toko-toko dan supermarket. No Way !
Menurut beliau, santan yang didapat dari kelapa yang diparut dengan mesin akan berasa hambar, sementara santan kemasan berasa aneh, seperti rasa obat, katanya. Jadi, kami harus kerja sama memarut 20 an butir kelapa, karena harus begitu caranya ... halaaaah ... capee dee ...
Kalau aku sih, mendingan disuruh ngepel dari pada disuruh marut ...

Prinsip ibu mertuaku yang nggak kalah saktinya adalah tentang cara menghaluskan bumbu. Menurut beliau, bumbu harus dihaluskan dengan cara diulek ! ya, betul diulek, dihaluskan dengan cara manual, semua bumbu diletakkan diatas cobek lalu dihaluskan dengan alat yang bernama mutu, munthu, ulekan, atau apalah namanya, sebuah peralatan rumah tangga yang aku rasa sudah dipakai ibu – ibu di Indonesia sejak jaman Homo Habilis dulu ...
Jangan harap ada bunyi desing blender di dapur Mama. Semuanya harus serba diulek, karena rasa yang dihasilkan akan jauh lebih nikmat, sedap, sedep, lezat, dan mak nyuuus ...
Blender hanya boleh dipakai untuk membuat jus buah.
Hmmpff ... lagi – lagi aku akan mengambil pekerjaan lain semisal menyetrika, daripada harus ngulek bumbu yang segambreng itu, ogah ahh .. mana pegel, mana harus bercucuran air mata karena pedihnya gas bawang merah ...

Yang aku ceritakan tadi itu belum seberapa, lho..
Masih ada beberapa prinsip lain dari ibu mertuaku yang pantang dibantah, seperti keharusan menyangrai terlebih dahulu rempah-rempah yang berbau menyengat, menggarang diatas api beberapa jenis rempah tanah, semisal jahe, kunyit, dan sejenisnya, memetiki ekor toge satu persatu, padahal togenya ada segunung .... wah ... parah banget deh ... kalau kita lakukan pekerjaan ini, bisa mulai dari sahur, dan selesai pas beduk maghrib. Sungguh acara ngabuburit yang menyenangkan, bukan ?

Kadang semua prinsip itu terdengar sangat kaku, kuno dan merepotkan. Namun setelah kami merasakan hasil masakannya, kami hanya bisa diam seribu bahasa, tak sanggup membantah, karena memang masakan ibu mertuaku sungguh nikmat tiada tara. Bikin ketagihan, padahal nggak pakai penyedap rasa, nggak pakai bahan – bahan penembah selera lain, asli hanya bahan kampung biasa, tapi rasanya .... bukan main !! Ibu Mertuaku, biar jadul tapi Te o pe ... TOP !!

Jika hari lebaran telah tiba, yang diserbu ya itu tadi, ketupat dan kawan – kawannya itu. Makan sampai kenyang dan biasanya berakhir dengan perasaan enek, mblenger ...
Kalau sudah begini, tak seorangpun mau menyentuh sederet kue kering yang pada saat shaum sungguh menggoda selera. Tak segigitpun kami mencoba kue nastar yang enak itu, kue kaastengels yang renyah dan gurih, kue kacang, kue putri salju, kue semprit coklat, kue sagu keju, kue kelapa, kue semprit dengan selai strawberry, kue coklat chips, kacang bawang, cheestick, kue bolu marmer, dll ... padahal semua kue itu memiliki rasa yang sangat lezat. Yang kami lakukan hanya duduk – duduk mengobrol menanti sanak saudara yang terus berdatangan, sambil mata kami tak lepas menatap deretan toples kue warna – warni di atas meja tamu di depan kami. Semua kue itu sangat indah dipandang mata, namun tak sedikitpun hati kami tergerak untuk mengambil sepotong dan memakannya. Ini lah mungkin yang disebut ” Kue Pandang Tak Jemu ” itu ya... ?

Aku yakin, pengalamanku ini tak akan jauh berbeda dengan pengalaman teman – teman semua. Suasana Lebaran di negeri kita sungguh khas dan menerbitkan kebahagiaan dan rindu bagi siapapun yang merayakannya. Semua senyuman ramah, semua binar mata, semua baju baru, semua harum bunga sedap malam di vas meja tamu, semua kue kering dan ketupat opor, nyaris aku temui di setiap rumah yang aku kunjungi. Sungguh suasana langka penuh rasa persaudaraan yang semakin jarang aku temui akhir – akhir ini. Alhamdulillah, semua makanan di keluarga besarku, di rumah ibuku dan ibu mertuaku, selalu habis tak bersisa. Orang tua kami sangat mewanti – wanti kami agar tidak pernah memubazirkan makanan, rezeki dari Allah.

Kami selalu membagikan semua makanan itu kepada sanak saudara dan tetangga yang tidak mampu, agar semua dapat merayakan kebahagiaan di hari raya ini. Dan akupun membiasakan tradisi itu di rumahku. Aku bagikan semua kue – kue dan makanan kepada tetangga – tetangga yang tak berpunya di kampung kami. Menurutku, hari Raya Idul Fitri harus dirayakan dengan benar. Benar secara syariat dan benar secara adat. Bukankah kita harus mencari keridhoan Allah dan juga keridhoan manusia ?

Atas nama pribadi dan keluarga, saya mengucapkan kepada teman - teman tersayang,
Selamat Hari Raya Idul Fitri 1 Syawal 1430 H
" Taqobalallahu minna wa minkum "
Mohon Maaf Lahir dan Batin

salam sayang,

anni :)