Menulis itu media katarsisku ...

Blog Pribadi Puji Nurani :

Sketsa sederhana tentang hidup yang sederhana ...

Menulis itu Media Katarsisku ....

Aku sangat suka .. sangat suka menulis .....
Aku tak memerlukan waktu khusus untuk menulis ..
Tak perlu menyepi untuk mendapatkan ilham ........
Atau menunggu dengan harap cemas pujian dari orang lain
agar tak jera menulis ......

Ketika aku ingin menulis, aku akan menulis tanpa henti...
tanpa merasa lelah ...
tanpa merasa lapar ...
Namun jika aku tidak menulis,
maka itu artinya aku memang sedang tidak mau menulis...

Kala kumenulis,
Aku alirkan pikiranku melalui ketukan keyboard
ke dalam layar dunia virtual aku berkontemplasi ....
Aku tumpahkan perasaanku ke dalamnya ....
yang sebagiannya adalah jiwaku sendiri ....

Lalu ... aku menemukan duniaku yang indah ...
duniaku yang lugu dan apa adanya ......
duniaku yang sederhana .........
yang aku tak perlu malu berada di dalamnya .....
Karena aku adalah kesederhanaan itu sendiri .....

Aku suka dengan cara Allah menciptakanku ...
alhamdulillah .......

Tuesday, April 27, 2010

ALLAH YANG MELULUSKAN KAMI ...


Hanif, sebut saja namanya seperti itu. Tidak seperti kebanyakan anak-anak dari golongan kaya yang cenderung individualistik, fashionable dan terkadang egois, remaja berusia belum genap 17 tahun ini sangat bersahaja. Bersahaja dalam penampilan, bersahaja dalam sikap, bersahaja dalam bertutur kata. Hanif memang anak yang sangat bersahaja, sangat sederhana. Padahal ayahnya seorang pengusaha kaya raya dan ibunya berprofesi sebagai pengajar di perguruan tinggi ternama di Bandung.

Aku mengajar Hanif sejak dia duduk di kelas X hingga kelas XII, bahkan pada saat dia duduk di kelas XI aku sempat menjadi walikelasnya. Wajah anak ini tampan sekali. Warna kulitnya cerah bersih, kalau tertawa, pipinya bersemu merah. Matanya bulat cemerlang, senyumnya sungguh menawan dihiasi sederet gigi putih yang rapi dan bersih. Rambutnya selalu dicukur nyaris botak, perawakannya sedang namun tegap. Kalau berlari kencang sekali, cocok untuk anak yang punya hobi bermain futsal. Senang sekali melihat Hanif, dia anak yang sehat dan ceria.

Sepintas tidak ada yang salah dengan anak ini. Dia disukai oleh teman-temannya, dan guru-gurupun sayang kepadanya. Namun dibalik itu, Hanif memiliki kekurangan yang cukup fatal sebagai seorang pelajar : daya tangkapnya terhadap pelajaran rendah sekali.
Dibanding teman-teman sekelasnya, Hanif membutuhkan waktu 3 kali lebih lama untuk mencerna pelajaran yang diterangkan guru, dan berkali lipat lebih lama lagi untuk mata pelajaran eksak.
Setiap kali guru mengadakan ulangan, nama Hanif selalu tertera dalam daftar anak-anak yang harus menjalani remedial test. Dan ini terjadi di setiap mata pelajaran. Hanya dalam pelajaran olah raga saja mungkin Hanif lolos dari remedial.

Berbeda dari teman-teman sekelasnya – dan ini yang membuatku salut padanya – yang jika menghadapi situasi seperti itu mungkin akan ngambek, putus asa atau kecewa, Hanif tetap sabar dan tetap rajin masuk ke kelas remedial yang bagi sebagian anak sangat membosankan itu. Lucunya ( atau tragisnya ), seringkali Hanif harus mengikuti remedial sampai berkali – kali, karena dia tetap tidak lulus meski telah mengikuti berkali-kali remedial teaching dan remedial test.
Kalau aku tanya, apakah dia tidak bosan ? maka jawabannya selalu : Kalau belum bisa kan harus terus belajar, Bu !
subhanallah Hanif ...

Jika hari pembagian rapor tiba, Hanif selalu menerima rapornya dengan tertawa, karena angka – angka di rapornya semuanya tuntas. Ya tuntas, dan hampir seluruh nilai mata pelajarannya sama persis dengan nilai passing grade yang disyaratkan oleh masing-masing mata pelajaran. Dari mata pelajaran A sampai mata pelajaran Z, nilainya sama : 75 !
Itu bisa berarti dua hal : dia memang lulus dengan nilai pas-pasan di ulangan kesempatan pertama, atau dia lulus setelah menjalani berkali – kali remedial. Dengan nilai seperti itu dia dinyatakan lulus di setiap semester. Wah, dia senang sekali dengan hasil yang diperolehnya.

Tak pernah sekalipun aku mendengar keluh kesahnya. Betapapun sulitnya pelajaran yang dia hadapi, dia terus dan terus belajar, padahal tak sedikitpun materi yang diterangkan guru di depan kelas menempel di otaknya. Kadang dia minta bantuan teman- temannya untuk menerangkan suatu materi tertentu. Susah payah temannya yang paling pintar di kelas menerangkan pada Hanif, namun tak sedikitpun Hanif mengerti. Dia hanya tersenyum, dan mengucapkan terimakasih saja pada temannya yang baik hati itu. Jika temannya itu bertanya, dah ngerti belum ?? selalu dijawab : belum, tapi nanti pasti saya mengerti. Sampai putus asa teman-temannya mengajari Hanif, namun usaha mereka seperti menuang air di daun talas, tak berbekas sama sekali ...

Hingga pada suatu saat aku berkesempatan memanggilnya dan mengajaknya bicara dari hati ke hati, karena aku sangat prihatin dengan perolehan nilai-nilai nya di semester 3. Aku bertanya padanya, mengapa kamu begitu ngotot belajar eksak, pelajaran yang sulit dicerna ? sebetulnya apa harapanmu ? kamu ingin jadi apa ?
Dan inilah jawabannya : Saya ingin jadi dokter, bu !
( Ya Allah … Hanif ! ah tak tega jika aku harus memupus begitu saja cita-citanya yang mulia, dengan kata – kata : Mana mungkin kamu bisa kuliah di fakultas kedokteran dengan kemampuan berfikirmu yang seperti itu ?? ). Maka mendengar jawabannya, aku hanya bisa terdiam, tersenyum, dan kemudian berkata, “ Kalau begitu Hanif, kamu harus belajar lebih keras lagi ! “

Sekolah kami adalah Boarding School. Para siswa tinggal di asrama dengan bimbingan dan pengawasan penuh dari para guru dan dengan disiplin yang tinggi. Di sini tugas anak-anak hanya belajar. Para siswa yang mayoritas datang dari keluarga menengah ke atas, dididik untuk bisa bersikap mandiri, dan bisa mengurus dirinya sendiri. Di sini mereka belajar mengatur waktu, mengurus pakaiannya termasuk mencuci baju meski dengan mesin cuci, membereskan kamarnya, bertanggungjawab terhadap barang-barang milik pribadi, dan ini yang penting : menyantap setiap menu yang disediakan tanpa banyak cingcong ( tak heran dalam waktu beberapa bulan saja anak-anak itu bertumbuh dengan pesat, tinggi – tinggi, besar dan sehat .. ).
Di sekolah kami, semua jadwal diatur dengan teliti dan dievaluasi setiap hari, terutama jadwal belajar dan jadwal ubudiyah ( ibadah ). Untuk semua urusan ini, Hanif tak banyak menghadapi masalah yang berarti. Daya adaptasinya relatif cepat.

Oh ya, sudah kah aku menceritakan kepadamu tentang ketaatan Hanif dalam beribadah ? tentang kekhusyukannya dalam berdoa ? kalau belum baiklah aku akan ceritakan kepadamu.
Hanif ini … tak pernah sekalipun terlambat masuk ke Masjid. Dia kerap mengumandangkan adzan, meski suaranya tak terlampau merdu. Sholat selalu berdiri di shaf terdepan. Sholat sunnah tak pernah tertinggal. Sehabis sholat, zikir dan doanya sangat panjang dan khusyu, masih juga disambung dengan membaca Al Quran berlembar – lembar. Sebelum fajar tiba, dia dirikan sholat Tahajud. Shaum sunnah tak pernah terlewat kecuali jika kebetulan jatuh sakit. Hanif ini betul – betul anak yang rajin dan sholeh. Mau saja aku punya anak 12 orang jika akhlaknya seperti itu semua ...

Mulanya Hanif tak serajin itu dalam beribadah. Ibadahnya biasa – biasa saja seperti teman – temannya yang lain. Lalu pada suatu ketika salah seorang rekanku guru fisika menasihatinya, ketika Hanif merasa kebingungan karena tak juga lulus pelajaran ini padahal sudah 4 kali mengikuti remedial. Rekanku itu menasehati Hanif begini, “ Nif, kalau kamu nggak ngerti – ngerti pelajaran fisika, minta saja sama Allah agar kamu bisa dikasih ngerti pelajaran fisika. Kan yang punya ilmu fisika itu Allah. Lalu kamu harus rajin beribadah, agar Allah menolong kamu di setiap pelajaran “.
Hanif yang lembut hati itu menuruti nasihat gurunya. Semenjak itu Hanif sangat rajin beribadah dan belajar tak kenal lelah.

Lalu hari yang dinantipun tibalah ....
UN yang membuat gentar hati siswa yang paling pandai sekali itu pun datang tanpa bisa dielakkan lagi. Bagi kami para guru, tak ada lagi waktu untuk mencaci kebijakan UN. Like or Dislike, UN harus dihadapi. Dan kami memilih menghadapinya dengan kerja keras dan jujur. Tak terbayangkan kerja keras yang dilakukan Hanif sejak jauh – jauh hari sebelum tibanya UN. Berbulan – bulan dia menekuni buku – buku latihan soal, tak seharipun absen mengikuti pelajaran tambahan. Sampai larut malam, baru dia jatuh tertidur karena kelelahan. Namun begitu, tetap saja esok subuhnya aku mendengar kumandang adzannya dari menara masjid. Sempat khawatir juga aku pada kesehatannya.

Ibadahnya semakin rajin dan doanya semakin khusyu dia panjatkan seusai sholat. Tak jarang aku melihatnya berurai air mata dalam doanya, dan terisak – isak dalam sujudnya. Sudah dapat kubayangkan, tentu Hanif meminta pertolongan Allah agar diberi kemudahan dalam menjawab soal UN nanti …

Ketika UN tiba, kami para guru sangat cemas memikirkan nasib Hanif. Kami sangat mengerti, jika dia tidak lulus UN, maka pemerintah tak akan meluluskan dia sebagai siswa SMA, tak peduli betapa solehnya dia, betapa baiknya budi pekertinya, betapa tingginya hafalan surat-suratnya, atau setidaknya betapa piawainya dia dalam permainan futsal. Bukankah kelulusan dari pemerintah itu hanya diukur berdasarkan kemampuan cognitif siswa saja ?
Menurut rekan – rekan guru yang kebetulan tidak mengawas UN di sekolah lain, setiap habis satu pelajaran diujikan, wajah Hanif selalu muram. Setiap kali ditanya bisa atau tidak, dia selalu menjawab dengan pesimis, atau tidak yakin.
Mendengar jawaban seperti itu, para guru hanya bisa menghela nafas panjang dan mengusap dada, memohon kemurah hati Allah agar menolong anak yang sudah membanting tulang ini.

Kecemasan kami bertambah, ketika selesai ujian matematika, tanpa bisa ditahan lagi, dia menghambur lari keluar kelas dan menangis tersedu sedan di pelukan Pak Zul, guru matematikanya. “ Maafin saya kalau nggak lulus ya Pak, saya tadi cuma bisa setengahnya, itu juga nggak yakin … “, begitu dia mengadu pada gurunya. Pak Zul temanku itu, hanya bisa menepuk – nepuk bahu Hanif dan menghiburnya agar tetap tawakal kepada Allah. Kesedihan sangat tampak di wajah Pak Zul. Apa mau dikata, Hanif memang siswa terlemah di kelas Matematika. Hingga UN berlalu, kami para guru dan Hanif selalu diliputi perasaan was-was …..

Senin 26 April 2010 pukul 13.00 bada dhuhur di Masjid Al Bayan. Ini adalah hari yang sangat mendebarkan bagi Hanif dan bagi kami semua.
Tengah hari itu kami melakukan sholat Dhuhur berjamaah dan setelah itu pengumuman hasil UN akan dibacakan Kepala Sekolah. Sejak tadi kulihat Hanif berurai air mata saja, rupanya dia sudah merasa hopeless, sudah pasrah jika harus menerima nasib tidak lulus. Kawan – kawannya dengan setia menemani dan menghiburnya. Namun demikian wajah kawan – kawannya itu, tak berbeda jauh dengan Hanif, cemas dan takut. Mencemaskan Hanif dan mencemaskan nasib mereka sendiri.
Ketika pengumuman dibacakan, Hanif sudah tak sanggup lagi mengangkat wajahnya. Dia hanya bisa duduk lunglai di atas sajadahnya, dengan wajah pucat pasi.
Dan ketika Kepala Sekolah sampai pada kalimat “ Alhamdulillah siswa Al Bayan lulus 100 persen ! Takbir ... !!
Serentak takbirpun keras menggema memenuhi masjid, membelah udara siang dan menggetarkan relung – relung hati kami yang terdalam .....

Subhanallah ... Inilah janji Allah yang nyata, janji yang tak pernah meleset sedikitpun, janji Nya yang benar, bahwa Dia akan menolong hamba Nya yang bersungguh –sungguh dalam berusaha, beristiqomah, taat pada perintah Nya, dan berserah diri ...
Sujud syukur kami hamba Mu yang lemah tak berdaya ini hanya kepada Mu ya Allah nan Maha pengasih, Maha penyayang. Alhamdulillah, terimakasih ya Allah, Ya Rahman Yaa Rahiim. Tanpa pertolongan Mu, tak mungkin kami merasakan kebahagiaan sebesar ini. Kebahagiaan yang kami raih dengan jerih payah dan urai air mata. Kebahagian yang kami raih dengan segenap kejujuran yang coba kami genggam dengan erat ... terimakasih Ya Rabb ....

Oh lihatlah itu ! Hanif dikerubuti teman – temannya ! mereka saling berpelukan, berjabat tangan sambil tertawa dan berurai air mata ....
Hanif lulus ! Hanif lulus ... !!
Nilai Matematikanya 5,00 nilai Fisika 5,00 dan nilai pelajaran lain antara 6 dan 7 .... Subhanallah ...
Menyaksikan itu, aku hanya bisa bersyukur sambil tertawa geli,namun mataku sudah sembab oleh linang air mata yang sudah turun sejak kemarin malam.
Alhamdulillah ... sungguh indah melihat murid – muridku lulus dengan jujur. Insyaallah mereka melalui UN dengan bersih tanpa mencontek. Sejak masuk ke sekolah ini, mereka sudah mengharamkan perilaku mencontek, karena mereka sangat takut pada Sang Maha Melihat dan Maha Mengetahui ....

Selamat Hanif !! selamat anak - anak !!
Selamat juga kepada ratusan ribu anak - anak yang lulus dengan jujur ... !!

Salam sayang,
anni, Sukabumi

( Empatiku terdalam aku persembahkan untuk ribuan anak-anak jujur yang terpaksa tidak lulus karena kesalahan penyelenggaraan UN : soal ujian yang tertukar, jenis kertas Lembar Jawaban Komputer yang salah hingga tidak dapat di scan, hingga pensil 2B palsu ... tabahkan hatimu ! Allah tahu yang terbaik bagimu ... )

Tuesday, April 13, 2010

Sally Sendiri by Peterpan




Biar Sally mencariku
Biarkan dia terbang jauh
Dalam hatinya hanya satu
Jauh hatinya hanya ku

Katakan ku takkan datang
Pastikan ku takkan kembali
Lalu biarkan dia menangis
Lalu biarkan dia pergi

Sally kau selalu sendiri
Sampai kapanpun sendiri
Hingga kau lelah menanti
Hingga kau lelah menangis

Sally kau selalu sendiri
Sampai kapanpun sendiri
Hingga kau lelah menanti
Hingga kau lelah menangis

Biar Sally mencariku
Biarkan dia terbang jauh
Dalam hatinya hanya satu
Jauh hatinya hanya ku

Katakan ku takkan datang
Pastikan ku takkan kembali
Lalu biarkan dia menangis
Lalu biarkan dia pergi

Sally kau selalu sendiri
Sampai kapanpun sendiri
Hingga kau lelah menanti
Hingga kau lelah menangis

Sally kau selalu sendiri
Sampai kapanpun sendiri
Hingga kau lelah menanti
Hingga kau lelah menangis

Sally kau selalu sendiri
Sampai kapanpun sendiri
Hingga kau lelah menanti
Hingga kau lelah menangis

Sally kau selalu sendiri
Sampai kapanpun sendiri
Hingga kau lelah menanti
Hingga kau lelah menangis  T_T



Sunday, March 28, 2010

DENGARLAH NURANIMU


Temanku di Facebook Rifki Feriandi, menulis sebuah notes bersub judul
" ujian nurani " yang membuatku jadi terprovokasi untuk menulis komentar panjang. Namun kolom komentar yang disediakan FB sungguh terbatas, sehingga aku harus menulisnya dalam bentuk notes. Maka jadilah notes dadakan ini.

Untuk dapat membaca notes saya ini dengan terang, tentu teman-teman harus lebih dahulu membaca notes Rifki Feriandi yang berjudul " Buaya vs Buaya da UAN : ujian nurani". Karena jika tidak, maka notes ini seolah tanpa subjek dan predikat.

Ah sungguh bukan kebiasaanku menulis notes dadakan seperti ini, tapi aku harus bagaimana ? Hatiku sudah geregetan begini, geregetan dengan semua fenomena yg Rifki tuangkan di notesnya ...
Sungguh bukan karena nama saya nurani, sehingga saya ingin menulis notes ini. Hmmm.... nurani, ya ?

Yang pertama : tentang buka-bukaan di kalangan buaya, yg membuat masyarakat menjuluki peristiwa itu dengan sebutan "maling teriak maling " dan "Star Wars".
Mencermati berita itu di media massa, segera saja kita orang awam mengetahui, bahwa bukan hati nurani yg sedang angkat bicara, namun nafsu angkara dan dendam kesumat. Boleh jadi yg dikatakan itu benar adanya. Namun masyarakat akan segera mengaitkan segala pernyataan itu dengan kejadian sebelumnya, yakni ketika sang Bintang digusur dari kursi empuk jabatannya dengan cara yg menyakitkan. Salahkah jika kemudian masyarakat menilai bahwa sang bintang kini sedang membuka kebobrokan lawannya lantaran sakit hati ?
Namun marilah kita ambil sisi positif dari kejadian ini : statement yg dilandasi dendam kesumat itu toh membuat kasus yg rasanya mustahil terungkap karena menyangkut para bintang, kini terpapar dengan jelas, dengan pelaku yg setiap hari wara-wiri di muka televisi. Tentu saja orang yang kena tuding seperti kebakaran jenggot, dengan membuat statement tandingan yg tak kalah jujurnya. Kalau sudah begini, masyarakat tak bisa berharap terlalu tinggi. " paling banter " nanti penyelesaiannya ya seperti kasus- kasus besar sebelumnya semisal kasus Bank Century dan mega kasus BLBI yg tak jelas juntrungannya. Tanda-tanda ke arah sana sudah mulai terlihat dengan kaburnya sang tokoh antagonis anggota komplotan markus pajak ke Singapura, dengan memboyong anak istrinya. Semoga dia tidak menjadi seperti penjahat kakap Eddy Tanzil jilid ke dua, yg hingga kini tak kunjung tertangkap. Harapan masyarakat atas kasus star wars ini sudah jelas : usut tuntas kasus ini, tangkap pelakunya, dan hukum siapapun yang bersalah dengan hukuman yg setimpal, tanpa memandang apakan dia seorang bintang atau bukan. Hanya itu. Dan itu, hanya dapat dilakukan jika lembaga penegak hukum menggunakan LAGI hati nuraninya. Jangan dikira hukum itu bisu. Hukum itu sangat jelas dan sangat mementingkan keadilan. Jika hukum tidak dapat berbicara, maka masyarakat yg akan berbicara.

Kedua : tentang PSSI. Nah inilah lembaga teraneh di Indonesia bahkan mungkin di dunia. Pucuk pimpinannya terpilih sesaat setelah dia keluar dari bui. Saya sungguh tak mengerti, apa yang ada di benak para pemilih, ketika proses pemilihan ketua umum PSSI berlangsung. Apakah kepemilikan uang dlm jumlah besar jauh lebih utama sehingga dapat dg mudah menafikkan track record seorang tokoh yg coreng moreng penuh lumpur kecurangan ? kembali masyarakat dipaksa menyaksikan sebuah pertunjukkan yang sama sekali tidak lucu, betapa hati nurani dibuta tuli bisukan dalam proses pemilihan seorang pemimpin.

Lalu bagaimana kinerjanya ? Ya lihat saja sendiri. Di laga pra piala dunia saja, kesebelasan kita bertekuk lutut di hadapan kesebelasan Laos, negara kemarin sore, yang pernah jauh lebih miskin dari negeri kita. Bosan ah, ngomongin, masa sih diantara 300 jutaan rakyat Indonesia, PSSI nggak bisa menemukan pemain yang bisa benar2 berkelas dunia? Oke, oke, boleh jadi para pemain sepak bola kita memang benar-benar berbakat. Lantas mengapa mereka tidak bisa berbicara di tingkat dunia ? pasti ada yang salah. Apa yang salah ? Kita semua sudah tahu, karena terlalu sering media massa mengulasnya. Tentang kurangnya pembinaan, kurang dibukanya kesempatan, kurang dana, dll. Apa ?? Kurang dana ?? Nggak salah tuh ? Bukannya negara menyisihkan anggaran yang sangat besar untuk PSSI ?
Ah sudahlah, kalo ngomongin sepak bola, nanti aku harus bikin sub notes nih. Yang jelas,
jika ada pembicaraan tentang sepak bola, maka yang terlintas di benakku adalah perilaku Bonek yang anarkis dan permainan cantik PERSIB, halah ...
Kembali ke persoalan mendengarkan hati nurani di tubuh PSSI. Sebaiknya organisasi sepak bola itu berhenti berbicara, dan mulai serius bekerja. Bekerja dengan hati. Marilah berkaca pada Senegal, Gibbon, atau Kamerun. Negara-negara miskin di Afrika itu dapat melahirkan pemain-pemain kelas dunia, karena keseriusan mereka membina dan berlatih.

Ketiga : soal UN. Oh tidak, aku sudah menulis notes yang cukup panjang tentang UN. Namun, jika ada seratus orang yang berbicara soal UN, maka akan sebanyak itu pula aku akan angkat bicara. Bagaimana tidak, ini menyangkut nasib manusia yang bernama anak-anak, makhluk yang sangat menjadi fokus perhatianku di sepanjang hidupku.

Ketika pemerintah mengharuskan pelaksanaan UN, anak-anak Indonesia menjalaninya dengan patuh. Sebagian besar dari mereka melaluinya dengan perjuangan yang berat dan jujur. Sebagian lagi dengan curang : karena tak kuat menanggung rasa takut akan ancaman tidak lulus.
Lalu apa yang terjadi ? UN sudah berlalu dan hasilnya belum diumumkan. Namun masyarakat sudah tahu bagaimana hasilnya, siapa gerangan yang patut menyandang gelar GAGAL alias tidak lulus : Pemerintah sendiri ! Dalam hal ini pihak penyelenggara UN tidak lulus alias gagal dalam melaksanakan tugasnya. Dari mulai Soal UN yang tertukar, soal yang rusak, kesalahan jenis kertas, tidak diantisipasinya pemalsuan pensil 2B, belum turunnya dana UN, dll ... mana bisa pemerintah dikatakan lulus dengan penyelengaraan yang carut marut seperti ini.

Saya adalah seorang yang berprofesi sebagai pendidik. Dan saya sangat mengerti apa arti standar evaluasi bagi proses pendidikan. Ujian, tes, atau apapun namanya, kesemuanya sangat akrab dengan dunia pendidikan. Anak-anak sudah terbiasa dan anak-anak tidak takut. Anak-anak hanya takut usaha keras mereka dipecundangi oleh orang-orang yang tak berhati nurani, yang berbicara seenaknya saja, mengancam-ngancam tidak lulus, padahal kesalahan bukan ada di pihak anak-anak.
Anak-anak sudah bekerja sangat keras, hingga kadang stress menerpa tanpa ampun lagi. Jangan lagi mereka dilecehkan oleh perilaku tak bertanggung jawab dari pihak-pihak yang seharusnya mengayomi mereka.

Saya tidak akan membahas siapa pelaku pemalsuan pensil itu. Yang jelas mereka adalah kaum penjahat. Saya hanya akan menunggu dengan cemas, bagaimana nasib ribuan lembar Jawaban UN anak-anak yang tidak dapat discan itu. Jika penyelenggara UN masih punya hati, tentu mereka akan memeriksa secara manual, demi keselamatan anak-anak kita.

Bagaimanapun, dalam bidang apapun, masyarakat akan dengan mudah melihat. Mana orang yang bekerja dan berbicara dengan hati nurani, dan mana yang bekerja dengan hati yang culas. Masyarakat mungkin awam, mungkin miskin, atau lemah. Tapi masyarakat tidak bodoh. Karena hati nurani terakhir di dunia ini, tersimpan di hati masyarakat. Dan dengan hati nurani ini, masyarakat sangat waskita.

Salam sayang,

Anni, Sukabumi

Thanks to Rifki Feriandi yang telak "memaksa" saya menulis

Saturday, March 20, 2010

Like or Dislike : Ujian Nasional - UN - Harus Dihadapi ...


Sedikit hari lagi seluruh siswa kelas XII ( kelas 3 ) SMA di seluruh Indonesia akan menghadapi Ujian Nasional yang dilaksanakan secara serentak.
Tak perlulah aku membahas tentang absah tidaknya hajatan nasional bagi anak- anak sekolah ini, hanya karena Mahkamah Agung sudah melarangnya, namun tetap dilaksanakan sebab Pemerintah bergeming terhadap keputusan lembaga peradilan tertinggi di Indonesia itu.

Semua orang juga sudah tahu, apa alasan MA melarang Pemerintah untuk melaksanakan UN. Namun bila ada teman-teman yang agak lupa, mari saya ingatkan kembali alasannya : MA berpendapat bahwa pelaksanaan UN dinyatakan melanggar HAM, terutama Hak Anak, karena UN terbukti meningkatkan kasus stress pada anak, dari kasus yang ringan semisal rasa cemas yang sangat, hingga kasus yang gawat hingga ke tingkat bunuh diri. MA memberikan syarat yang harus dipenuhi, jika pemerintah bermaksud tetap melaksanakan UN : tingkatkan fasilitas dan kualitas Sekolah beserta seluruh stake holdernya. Jika tidak, maka UN dilarang dilaksanakan.
Masalah HAM adalah issue yang sungguh serius. Pemerintah manapun dapat diseret ke Mahkamah Internasional di Denhaag, jika melakukan pelanggaran HAM terhadap warganya sendiri. Namun bagi penguasa pendidikan di negeri ini, itu sama sekali bukan masalah yang harus ditakutkan. Tak akan ada WNI yang bakal lancang menuntut Pemerintahnya sendiri sampai seluruh masyarakat dunia tahu. Lagi pula siapa sih di Indonesia ini yang akrab dengan penyelesaian masalah HAM ? Apalagi jika harus mengadukan pelanggaran HAM hingga ke tingkat Mahkamah Internasional , sungguh jauh panggang dari api. Lagi pula pemerintah punya sederet peraturan untuk menjustifikasi pelaksanaan UN, jadi mengapa pemerintah harus gentar ? Siswa stress mah EGP aja ...
Pemerintah memang membutuhkan data kuantitatif mengenai peningkatan mutu pendidikan di Indonesia. Dan UN adalah salah satu cara pengambilan data yang paling mudah dilakukan. Masalah validitas, itu sudah beda bahasannya.

Tapi ah sudahlah, aku tak mau lagi berbicara tentang mengapa pemerintah tetap menjalankan kebijakan ini, tentang reaksi keberatan masyarakat terhadap UN. Itu bukan bidang kajianku. Biarlah para pakar pendidikan saja yang membahasnya, lagi pula membicarakan sikap pemerintah terhadap UN hanya akan membuatku emosi saja.
Jadi okelah kalau begitu. Kami rakyat kecil akan menerima tantangan itu ! Dengan jujur atau curang.
( Namun kami memilih JUJUR ). Aku hanya akan menceritakan apa-apa yang aku tahu dan aku lihat di lingkungan tempatku mengajar saja, yang boleh jadi memiliki kemiripan situasi dengan di sekolah-sekolah lain.

Sejak awal semester genap ini, suasana di sekolah tempatku mengajar sudah berbeda bagi anak-anak kelas XII. Review semua pelajaran sejak kelas X, sudah dimulai sejak hari pertama mereka memasuki awal semester genap.
Bukan perkara mudah bagi kami para guru dan para siswa untuk menjalani kelas Review.

Seperti yang sudah dimaklumi bersama, kurikulum yang berlaku sekarang memiliki perbedaan filosofi yang sangat signifikan dengan kurikulum jaman kita sekolah dulu. Secara sederhana gambarannya seperti ini : jaman kita sekolah dulu, pelajaran itu nyambung terus dari awal semester sampai akhir semester. Jadi seorang siswa tidak boleh melupakan pelajaran- pelajaran yang sudah lewat, meskipun pada ulangan harian dia sudah dinyatakan lulus. Kewajiban menguasai pelajaran dari awal sampai akhir ini akan diujikan di akhir semester, dengan sebuah tes komprehensif yang bernama : THB, TPB, Ulangan Umum, dll, yang soal-soal nya terdiri atas semua bab dari awal sampai akhir semester berjalan. Nah, kalau sistem yang baru nggak gitu. Sekarang ini jika seorang siswa sudah lulus dalam ulangan harian yang mengujikan sebuah Kompetensi Dasar ( dulu namanya satu pokok bahasan ), ya sudah, selesai perkara. Dia tidak harus mengingat- ingat pelajaran yang sudah dinyatakan lulus itu. Kewajiban dia selanjutnya adalah masuk ke bahasan berikutnya. Tidak ada kewajiban sekolah untuk melaksanakan Ulangan Umum yang merangkum semua bahasan dalam satu semester. Ini adalah jawaban terhadap pertanyaan, mengapa pengetahuan sebagian besar siswa sekarang sering melompat-lompat, tidak integral, tidak utuh, dan gamang. Begitulah kira-kira penjelasan ringkasnya.
Dengan kurikulum seperti ini, siswa akan dihadang masalah besar di akhir masa sekolah oleh sebuah tes yang bernama Ujian Nasional - UN - (dulu namanya EBTANAS ). Mengapa para orang tua, guru dan siswa merasa berkecil hati dengan UN ? Mau tahu ? Ini jawabannya : soal-soal UN itu komprehensif, dari semester 1 sampai semester 6 ! Bayangkan ! bukankah selama ini anak-anak tidak menjalani sistem kurikulum yang komprehensif seperti itu, melainkan parsial, terpenggal-penggal per Kompetensi Dasar ? Bagaimana ini ? Alangkah tidak sinkronnya kebijaklan UN dengan proses pendidikan di sekolah. Tuh kan jadi ngomongin pemerintah lagi ...

Dengan keadaan seperti ini, pihak sekolah tentu tidak mau menjadikan para siswa sebagai tumbal bagi sistem yang nggak jelas seperti itu. Akhirnya jalan tengah yang diambil adalah, sekolah melaksanakan test komprehensif di setiap akhir semester yang bernama Ujian Akhir Semeter - UAS. Bahkan beberapa sekolah ada juga yang melaksanakan ujian mid semester, tentu di tengah semester. Ini terpaksa dilakukan, untuk menjembatani gap antara pelaksanaan kurikulum , dengan kebutuhan siswa akan penguasaan soal-soal komprehensif. Dalam UAS tersebut, soal-soal yang diujikan meliputi semua materi dari awal nyambung sampai akhir, hingga diharapkan siswa dpt menguasai seluruh materi pelajaran secara integral. Tentu saja sebagai konsekuensinya, kami para guru, harus memberikan pelajaran secara berkesinambungan, utuh tidak terpenggal-penggal, agar siswa tidak melupakan pelajaran yang terdahulu. Gimana ? Nggak sinkron sama sistem kurikulum sekarang bukan ? Jadi kaya model sekolah jadul aja, kan ? Tapi ya apa boleh buat, dari pada anak- anak kita nanti pada pingsan menghadapi soal-soal UN ?

Di sekolah kami, sejak awal semester 6, anak-anak sudah belajar dengan cara yang berbeda. Mereka hanya belajar pelajaran yang diujikan di UN saja. Pelajaran yang lain minggir (karena sudah diselesaikan di semester 5)

Para siswa dibimbing secara intensif dengan sistem pengajaran kombinasi antara pengajaran di sekolah dengan pengajaran di bimbel. Di sekolah kami terbiasa mengajarkan konsep, sementara bimbel lebih fokus pada trik mengerjakan soal dengan cepat. Pemantapan dilakukan setiap hari, dilanjutkan malam hari melalui pendampingan belajar mandiri (kami adalah sekolah boarding, jadi murid-murid tinggal di asrama, dan guru mendampingi sampai malam hari ). Untuk menguji kemampuan anak, kami melaksanakan Try Out UN sebanyak 5 kali, sehingga kami dapat memetakan kemampuan siswa dengan lebih objektif. Dengan hasil TO itu pula, kami para guru dapat lebih fokus membimbing siswa yang masih lemah di mata pelajaran tertentu.

Anak-anak itu, dengan seribu kelelahan yang tergambar jelas di matanya, tetap datang ke kelas dengan tabah. Mengikuti pelajaran dengan patuh, mengikuti setiap program bimbingan dengan sabar, karena mereka tahu, hanya dengan cara itu mereka dapat menaklukkan UN, karena mereka tahu, UN harus dihadapi dengan jujur, harus mereka kerjakan dengan tangan mereka sendiri, karena kami telah bersepakat untuk memilih jalan kejujuran, meski nilai yang kami raih hanya pas-pasan saja. Kami tanamkan pengertian ke dalam dada anak-anak muda ini, bahwa kejujuran adalah di atas segalanya.
Kian dekat ke UN, bimbingan semakin ditingkatkan intensitasnya. Setiap kelas dibimbing oleh 3 guru sekaligus., agar setiap anak dapat terlayani dengan baik.
Sampai sebulan terakhir, aku perhatikan anak-anak sudah makin sulit tertawa saja. Ekspresi mereka serius, tegang, khawatir. Kami para guru telah berupaya dengan segala cara mengurangi tingkat stress anak-anak dengan mengajak mereka main futsal pada sore hari, jogging, main basket bareng, nyanyi -nyanyi dan main musik di ruang musik, nonton film ... Mereka sangat senang dengan semua selingan itu. Namun semua kegembiraan itu tidak berlangsung lama. Wajah mereka dengan cepat kembali tersaput awan manakala mereka harus kembali belajar. Mereka tetap merasa cemas, karena hantu yang nyata, belum mereka taklukkan.

Tak hanya bimbingan belajar yang kami berikan, bimbingan ubudiyahpun terus kami lakukan dengan penuh rasa ikhlas dan empati yang mendalam terhadap anak-anak ini. Tak semalam pun mereka lewati tanpa mendirikan sholat Lail. Munajat diiringi isak tangis dan linangan air mata, kerap aku saksikan seusai sholat-sholat fardu mereka. Intensitas ibadah terus ditingkatkan. Setiap hari tadarus Al Quran tak pernah terlewatkan, sholat sunah ditegakkan, shaum sunah, bahkan ada diantara mereka yang melaksanakan shaum Daud. Anak-anak ini, tak seperti anak-anak seusianya yang sehabis sholat langsung berdiri lantas berlari, duduk berlama-lama berdoa mengangkat tangannya, memohon pertolongan dari Allah. Karena mereka sadar betul, takdir mereka di UN benar-benar ada di tangan Allah.
Dan puncaknya, kemarin kami meliburkan siswa kelas X dan XI. Pada malam hari menjelang kepulangan anak- anak ke rumahnya masing_masing, kami menggelar doa bersama di Masjid sekolah. Suasana malam yang syahdu ditambah gerimis yang turun sejak sore, menambah kekhusyukan doa kami malam itu. Ayat-ayat suci dilantunkan, nasihat-nasihat disampaikan, doa-doa dipanjatkan. Tak seorangpun di antara kami, seluruh murid dan guru, juga orang tua yang hadir, yang tak menitikkan air mata haru. Betapa kami telah memasrahkan segalanya hanya kepada kehendak Allah semata. Para guru telah ikhlas bekerja keras siang dan malam, dan anak-anak telah belajar dengan sekuat tenaga mengerahkan segenap kemampuan mereka untuk menguasai pelajaran. Kami telah berusaha dengan seluruh kesabaran kami, kami telah bertawakal, dan hanya Allah lah yang maha memutuskan. Dan kami berharap, segala jerih payah kami akan berbuah keberhasilan.

Seusai berdoa, siswa kelas XII menyalami guru satu persatu dan memohon doa restu agar berhasil dalam UN. Sungguh tak kuasa aku menahan jatuhnya air mata, ketika satu persatu anak-anak yang telah kubimbing selama 3 tahun ini menyalamiku, memohon maaf, dan memohon doa restu. Oh, tentu saja, tanpa dimintapun, aku sudah memaafkan mereka dan akan selalu mendoakan yang terbaik bagi mereka.
Selamat berjuang anak-anakku ! Hadapi UN dengan berani dan jujur ! Semoga Allah SWT akan mengabulkan semua doa-doa yang telah dipanjatkan, memberikan kemudahan , dan membalas segala kesabaran dan keikhlasanmu, dengan kebaikan yang berlimpah, amiin ...
(Meremang bulu kudukku, mengenang anak-anak di sekolah-sekolah di pedalaman terpencil yang serba minim fasilitas. Mungkinkah mereka mendapatkan pembinaan seintensif itu ? Tabahkan hatimu, anak-anak Indonesia !)

Salam sayang,

Anni, Sukabumi

NGERUJAK YUUUK .... !

Kalau aku ditanya, " Makanan apa yang paling aku sukai, namun harus paling aku jauhi ? " maka jawabannya hanya satu : RUJAK !
Rugi betul. Padahal Rujak adalah makan yaang rasanya sangat enak, menyegarkan, dan bikin ketagihan. Sayang, aku memiliki perut yang sangat sensitif. Kena asam atau pedas sedikit saja, dokter urusannya. Maklumlah faktor usia. Dulu waktu aku masih lebih muda, apalagi sewaktu masih kanak- kanak dan remaja, aku paling doyan makan rujak yang rasanya super pedas, bahkan dalam keadaan perut kosong sekalipun. Tapi nggak ngaruh tuh. Sehat walafiat saja, sama sekali nggak lantas jadi mules-mules ...

Negeri kita yang beriklim tropis sungguh kaya dengan hasil buah-buahan. Tengoklah jenis buah-buahan tradisional, khas Indonesia yang dijajakan di setiap sudut jalan, di pasar atau sesekali di supermarket. Sangat beragam. Buah-buahan asli Indonesia sungguh tiada duanya : Mangga , Jambu Biji, Jambu Air, Belimbing, Duku, Salak, Nangka , Durian, Jeruk, Rambutan, Manggis, Pisang, Nenas, Pepaya, Sawo, begitu melimpah ruah. Dan masih ingatkah anda akan buah-buahan yang kini semakin langka dijumpai di pasaran, semisal buah
Wuni ( huni ), Gowok, Delima, Langsat, , Ceremai, Sawo Belanda yang menguningkan gigi, Jamblang yang membirukan lidah, Kecapi, buah nona, Lobi-lobi yang asamnya ajib, atau Kesemek si buah berbedak ? Semua buah-buahan itu, sangat mempesona para turis asing asal negara yang beriklim beku, dan mereka menyebut buah-buahan itu sebagai buah-buahan yang eksotis ! Beberapa jenis buah - buahan itu sangat pas dan sedap untuk diolah menjadi Rujak.

Hampir di setiap sudut jalan kita dapat menemui penjual rujak dengan gerobak berkacanya. Biasanya untuk penjual rujak keliling ini, bumbu rujaknya telah mereka olah terlebih dahulu, dan mereka simpan di dalam toples kaca sehingga tidak perlusetiap saat mengulek lagi. Supaya buah-buahannya tetap segar dan dingin, mereka meletakkan gumpalan es batu diantara buah-buahan itu. Jaman dulu, orang makan rujak dengan alas/ bungkus daun pisang, dan sepotong lidi sebagai pengganti sendok. Sekarang abang penjual rujak menyediakan kertas pembungkus berwarna coklat, atau bisa juga dengan plastik bening, masih dengan lidi atau rautan bambu yang dipotong agak panjang, sebagai pengganti sendok.

Membuat bumbu rujak sangat mudah. Hanya terdiri atas campuran cabe merah, cabe rawit, gula merah, terasi, asam jawa, garam. Kalau rasanya ingin lebih enak, bisa ditambahkan kacang tanah goreng dan beberapa iris pisang kelutuk yang masih mentah. Ukuran pedas atau tidaknya, tergantung dari berapa banyak cabe rawit yang ditambahkan ke dalamnya. Kemudian semua bumbu itu diulek dalam cobek batu. Nah, masalahnya, jaman sekarang ini tidak semua ibu-ibu bisa ngulek dengan baik. Biasa pakai blender sih. Padahal bumbu rujak akan berasa aneh kalau dihaluskan dengan blender. Harus diulek, baru sip !

Sebetulnya buah-buahan apapun bisa saja diolah menjadi rujak. Namun biasanya para pedagang rujak hanya memilih buah-buahan jenis tertentu saja untuk rujak buatannya. Mereka hanya memilih Mentimun, Bengkuang, Ubi merah mentah, Kedongdong, Nenas, Jambu air dan Mangga Mengkal. Semua buah-buahan itu diiris tipis-tipis, tapi mengrisnya nggak boleh pakai talenan, harus langsung diiris di tangan. Kemudian dicampur dengan semua bumbu yang sudah dihaluskan. Nah, jadi deh seporsi rujak buah-buahan segar yang berwarna coklat kemerahan, berasa manis, pedas, asam .... hmmmm enaaakkk ... 
Selain rujak ulek, masih ada beberapa jenis rujak yang kita kenal, semisal Rujak Serut, Rujak Malaysia, Rujak Cuka, Rujak Cingur, Semuanya berasa sedap dan menyegarkan. Namun ada satu rujak yang tak kan kulupakan, karena cara membuatnya yang jorok, dijajakan oleh pedagang yang juga terlihat jorok, tapi rasanya .... hmmmm ... mak nyuuss deh ... Harganya juga super murah.
Ya. Apalagi kalau bukan Rujak Bebeg. Coba deh lihat pedagangnya. Jorok banget. Pikulannya dekil, alat-alatnya kotor, lumpang (alat penumbuk) nya terlihat seperti yang nggak pernah dicuci, pisaunya kotor, buah-buahannya kotor, tangan si Abangnya kotor juga. Abis gitu, pas bikinnya semua buah-buahan dan bumbunya kan ditumbuk bersama-sama dalam lumpang kayu itu. Eh itu si Abang, bukannya numbuk sambil duduk manis, ini malah sambil jongkok. Trus kan buah-buahan yang ditumbuk itu muncrat kemana-mana, termasuk ke celana dan baju si Abangnya. Pas sudah selesai, si Abangnya berdiri dan mengibas - ngibaskan cipratan itu dari celana dan bajunya. Masuk nggak percikan-percikan kotor itu ke dalam lumpang ? Ya iya lah, masak ya iya dong. Kemudian semua ramuan hancur remuk yang berwarna merah hijau kuning coklat nggak jelas itu, dimasukkan dengan sendok lebar yang kotornya aduhai, ke dalam pincuk daun pisang. Dan si pembeli mendapat bonus lipatan kecil daun pisang sebagai pengganti sendok. Gimana ? jorok banget kan ? tapi rasanya ? enak bangeeettt ... !! pokoknya, makin jorok, makin enak deh .. hehe ... dasar jorok ya ...
Dulu waktu jaman SMA, kadang kalau sedang belajar kelompok, tuan rumah menyediakan secobek rujak sebagai teman mengerjakan soal -soal Fisika yang jlimet. Nah kalau sudah begini, makan rujak sambil becanda jadi nomor satu, belajarnya sih belakangan, itu juga kalau nggak kesorean ...
Konon penggemar utama rujak adalah kaum perempuan. Entah benar atau tidak.
Kaum perempuan yang sedang hamil muda, biasanya sangat gemar makan rujak. Keinginan makan rujak ini sering timbul dengan tiba-tiba dan tak kenal waktu. Paling repot kalau ngidam rujaknya pas malam hari. Nah suaminya pasti kerepotan mencari rujak ke sana - kemari. Mana ada orang berjualan rujak di malam hari, bukan ? Padahal menurut kepercayaan, keinginan ini harus dituruti karena jika tidak akan berakibat buruk pada jabang bayi yang dikandung.

Aku punya sedikit cerita nih. Dulu, jaman Batavia masih diperintah oleh JP Coen, sang Meneer itu punya dokter pribadi yang bernama Jacob de Bondt alias Bontius yang resminya bekerja untuk VOC. Dokter ini sering menuding rujak sebagai biang keladi jatuh sakitnya para pelaut VOC yang tiba di Batavia. Para petualang yang telah berbulan-bulan berada di tengah laut dan kekurangan makanan segar ini, kerap menjadi kalap manakala tiba di Batavia dan melihat limpahan buah-buahan yang baru pertama kali mereka lihat seumur hidupnya. Dan selanjutnya mudah diterka. Mereka menyantap buah-buahan itu dengan berlebihan alias rakus. Padahal tidak semua buah-buahan itu cocok dengan perut orang Eropa. Apalagi jika buah-buahan itu telah diolah menjadi rujak yang berasa asam pedas. Ya jelas saja, jatuh sakitlah mereka. Dari mulai sakit mules - mules biasa, sampai diare, disentri, tifus, bahkan kolera. Tak sedikit diantara mereka yang menemui ajalnya gara-gara kerakusan mereka sendiri. Hemh ... Rujak kok dilawan ...

Jaman boleh mengglobal, selera boleh menginternasional. Tapi Rujak tetap tak tergeserkan dari daftar makanan favorit orang Indonesia. Sekarang ini cuaca sudah semakin tidak jelas saja. Dibilang musim kemarau, masih sering turun hujan. Dibilang musim hujan, kadang berhari - hari kering kerontang. Nah kalau cuaca sedang panas, anda merasa gerah, migren, suntuk dan sebal dengan kungkungan pekerjaan yang itu-itu saja, keluarlah sejenak, atau minta tolong OB untuk membeli sepiring rujak untuk anda santap bersama teman. Nggak asyik kalau makan rujak sendirian. Dijamin deh, semua perasaan nggak enak dan kesal itu akan jauh berkurang ...
Jadi ? Ngerujak yuuuk ... ssshhhaaah ... pedaaasss ...

Salam sayang,
anni

Thursday, January 7, 2010

Monday, January 4, 2010

New Year is just an ordinary years ...


Malam pergantian tahun sudah beberapa hari berlalu. Tak ada yang istimewa yg terjadi di daerah tempat aku tinggal.
Hanya sekelumit kisah tertinggal, yang ingin kuceritakan padamu, wahai sahabatku ...

Aku tinggal di sebuah kota kecamatan di pedalaman Jawa Barat di pelosok Sukabumi. Dikota kecil ini, malam pergantian tahun yang seharusnya meriah, tak ada bedanya dengan malam - malam sebelumnya : sunyi, sepi, lamban, lesu,dan beku..

Berbeda dengan yang terjadi di luar sana di seluruh bagian bumi ini : semua orang terlihat lebih sering menengok ke arah jam, dibanding hari - hari sebelumnya. Menghitung setiap detik, setiap pergeseran jarum jam, dengan harap-harap cemas. Kian malam, kian kuat debaran di dalam dada mereka. Galibnya menanti sebuah moment yang sangat spesial, berjuta orang ini mendawamkan satu hal yang sama : ingin segera datang hari, dimana kepahitan di tahun lalu tak kan terulang , dan hanya kebaikan dan kebahagiaan yang akan menjelang.

Malam itu, aku menyaksikan dari layar kaca, betapa penduduk di seluruh negeri tengah bergairah, melebur dalam satu aktifitas yang berbeda dengan kesibukan hari2 biasa. Aktifitas yang penuh dengan euphoria pergantian tahun, yang marak dengan aroma selebrasi, sarat dengan warna hiburan, hingar bingar dentam musik dari berbagai jenis aliran, kilatan cahaya dari lighting panggung dan kembang api yang menyilaukan, aksi pentas para artis yang bekerja keras mempertontonkan performa terbaiknya. Semua, dimana-mana, nyaris sama dan sebangun, dalam syahwat dan gairah akan malam terakhir dan fajar pertama yang sangat dinanti. Hanya nasib dan kelas saja yang membedakan mereka.

Golongan kaya melewati malam istimewa itu di hotel berbintang, resto, kafe, bungalow, Villa, kapal pesiar nan mewah, megah dan harum. Semua makanan dan minuman terhidang melimpah ruah. Segala hiburan, disajikan dengan cita rasa kelas atas . Semua acara di tempat yang eksklusif itu terkemas dalam bahasa asing yang sulit diucapkan oleh lidah orang biasa. Semua gaun, semua aksesoris, semua wewangian, menyandang label perancang kelas dunia dari Milan hinggga Tokyo. Ah, mereka yang di negeri ini jumlahnya hanya selapis tipis kulit ari , benar - benar bukan orang biasa, mereka berkuasa, tinggi, tak terjangkau ...
Golongan menengah mendatangi pusat - pusat keramaian setelah berjibaku setengah marah di tengah pusaran kemacetan arus lalu lintas yang tak berujung dan tak berpangkal, untuk mendatangi pantai - pantai festival yang menggelar musik pop, rock dan musik pop Melayu yang mendayu-dayu tak berjati diri . Atau pergi ke resto Amerika yang menyajikan junkfood nan bergengsi. Bisa juga pergi ke diskotik atau pusat karaoke , bersama rekan - rekan sekantor, melepas kepenatan akibat rutinitas yg tak ada habisnya. Dan ini yang sedang menjadi fenomena di kalangan golongan menengah : kumpul- kumpul bersama rekan jadul dalam satu acara reuni kangen-kangenan. Melepas kerinduan, berbagi cerita, sesekali pamer kesuksesan, kepada kawan sekelas yang sudah puluhan tahun tak bersua. Siapa tahu juga, bisa mendapat selirik tatap dan sesungging senyum kagum sarat makna dari sang pujaan hati di masa lalu. Oh Tuhan, mengapa cinta lama selalu menerbitkan rindu mencekam yang sulit ditepiskan ?? Begitu kira-kira lantun dendang asmara di dada orang - orang yang tengah bersuka ria ini.

Golongan tak berpunya pergi menembus dinginnya udara malam yang basah dengan menumpang angkot atau sekedar berjalan kaki beramai - ramai, menonton orang yang sedang merayakan malam pergantian tahun. Golongan tak berpunya adalah mereka yang berdiri di lingkaran terluar dan terpinggir, dari gegap gempitanya perayaan tahun baru di jagad ini. Namun mereka adalah mayoritas. Jumlah mereka adalah yang terbanyak, puluhan kali lipat lebih banyak dari jumlah lapis kedua, manatah lagi lapis pertama. Sudah cukup bagi mereka, merayakan tahun baru dengan beberapa puluh ribu di dompet, dan terompet di tangan yang akan mereka tiup keras - keras - sebagai pengganti teriakan keputusasaan akibat himpitan ekonomi yang kian memiskinkan. Camilan mereka pun jauh dari kemewahan : semangkuk bakso, atau aneka gorengan dan kue serabi, atau sate dan soto bang Kumis yang mangkal di tikungan jalan. Toh sama saja lezatnya. Murah pula. Yang penting hepi.

Akhirnya hanya waktu yang bisa mempersatukan kelas - kelas masyarakat yang bak minyak dengan air ini. Waktu yang ditunggu telah tiba. Hitungan mundur telah dimulai ... 5 .. 4 ..3 .. 2 ..1 .... Dalam sekejap langit kota seperti terbelah oleh sorak sorai dan teriakan manusia yang menyesaki tempat- tempat hiburan dan mereka yang tumpah di jalanan. Petasan diledakkan, terompet ditiup sekuat tenaga, kembang api diluncurkan dari tempat- tempat yang tinggi. Semburatnya mewarnai langit dengan kemilau cahaya warna - warni yang memukau. Terus dan terus menyala , seolah tak mau berhenti. Teriakan Happy New Year !! terdengar di mana-mana,
dari kapal pesiar hingga kedai - kedai jagung bakar. Lagu wajib tahun baru " Auld Lang Syne " yang konon sebagian syairnya diambil dari folklore bangsa Irlandia, dikumandangkan oleh kalangan yang lebih educated.
"Should auld aquitance be forget, and never brought to mine ..." mengalun syahdu, merambat pelan ke langit malam .
Di depan layar kaca, aku menyaksikan sebuah fenomena yang sangat janggal : pecahnya klimaks sebuah spirit yang bernama kesadaran manusia akan dimensi waktu. Klimaks ini membuat jutaan manusia terhanyut dalam sebuah ekstasi massal yang sungguh melenakan. Mereka melebur, berfusi, meluluhkan jiwa dan raga tanpa batas, dalam jabat tangan, dekapan, dan ciuman hangat, tanpa harus dilakukan dengan kekasih atau pasangan sah. Semua orang dalam waktu yang sama, merasa egaliter, merasa equal ...
Dari layar kaca di rumahku yang sunyi, kunikmati setiap geliat nafas pergantian tahun itu dengan berbagai perasaan berbaur di hatiku. Perasaan senang, bahagia, bersyukur, karena aku telah berhasil melewati tahun lama dengan sehat dan selamat. Ada pula segumpal harapan memenuhi dadaku. Harapan akan kehidupan yang lebih baik di masa mendatang.

Namun di balik itu, hatikupun diliputi perasaan sedih, perasaan terasing yang menyesakkan dada. Malam itu ku ingin menangis keras-keras saja rasanya. Ada semacam perasaan kosong yang tiba-tiba menerpa jiwaku. Perasaan kosong yang aneh, seperti perasaan ditinggalkan, dilupakan, diabaikan, yang sungguh menyakitkanku. Entah bagaimana aku menggambarkannya. Berjuta pertanyaan berkecamuk di hatiku. Pertanyaan yang ingin kulontarkan kepada kerumunan orang yang tengah berekstasi massal di layar kaca itu. Pertanyaan yang mengalir dari hatiku yang tiba-tiba terluka oleh perasaan tidak rela, manakala kusadari, betapa Kekasihku, Kekasih umat manusia, seolah dilupakan, dinihilkan, ditiadakan, dan tidak dilibatkan oleh jutaan manusia itu, dalam waktu yang bersamaan. Padahal Sang Kekasih adalah Pencipta segala ekstasi di alam semesta ini.

Ingin kuteriakkan pertanyaan kepada orang-orang itu ...
" Masihkah engkau mengingat Tuhanmu, Allah yang telah membuatmu selamat melewati tahun yang lama ?? "
" Adakah sedikit ruang kau sisakan di hatimu, untuk menyebut nama Nya yang sangat mengasihimu ?? "
" Tidak takutkan engkau akan murka Allah, atas semua kesia - siaan dan kemubaziran ini ?? "
Namun semua pertanyaan itu hanya berhenti bergaung di relung kalbuku, menyisakan perasaan hampa yang tak terperi.

Seolah tanpa sadar, kulangkahkan kakiku ke kamar mandi. Aku berwudhu, dan kudirikan sholat sunnah.
Belum lagi benar kulantunkan ayat pertama doa iftitah, air mata sudah membasahi pipiku. Kucoba menahannya, namun air mataku kian membasahi dada dan sajadahku. Lalu tanpa dapat kubendung lagi, tangisanku pun pecah di dalam hatiku. Air mata yang mengalir bersama tangisanku ini, sungguh memerihkan jiwaku.

Tangisanku adalah tangisan seorang hamba yang mengiba ampunan atas segala dosa yang telah diperbuat. Tangisanku adalah tangisan seorang hamba yang berjanji tidak akan meninggalkan Nya dalam setiap waktu dan dalam setiap situasi. Tangisanku adalah tangisan ketakutan esok akan mati tanpa membawa amal kebajikan sedikitpun. Jiwa dan ragaku melarut dalam tangisan panjang dalam sujud di atas sajadahku. Bibirku tak sanggup lagi memanjatkan doa taubatan nasuha. Jadi kubiarkan hati dan sukmaku melantunkan doa dalam bahasa sunyi, yang hanya dapat dimengerti oleh Sang Pencipta kesunyian.

Alhamdulillah, terimakasih Ya Allah, Kau lipur hatiku dengan mengalirkan perasaan hangat ke dalam sukmaku. Perasaan hangat akan kehadiran Mu di sisiku, menemaniku dalam kesunyian, serasa Engkau ada dekat sekali, lebih dekat dari urat vena ku. Perasaan hangat serasa Engkau tersenyum mendengar doaku. Perasaan hangat yang sungguh membahagiakanku.

Entah berapa lama sudah aku jatuh tertidur, berbaring diatas sajadah. Kumandang takbir menyambut datangnya gerhana bulan cincin, yang sayup terdengar dari masjid di sebelah rumahku, membangunkanku. Perlahan aku duduk. Kurapikan sajadahku, kuhapus air mataku. Kuangkat tanganku dan berdoa :
" Wahai Allah, kini aku tak takut lagi. Meski berjuta orang mengabaikan Mu, kemuliaan Mu tak sedikitpun berkurang. Meski semua manusia melupakan Mu, kasih sayang Mu tak jua menghilang. Aku hanya takut Engkau akan berpaling dariku karena dosa-dosaku. Oleh karena itu, bimbinglah aku menuju keridhoan Mu, Yaa Sang Maha Pemberi Petunjuk, aamiin .."
Lalu perasaan lega dan tenteram perlahan namun pasti menyelusupi relung kalbuku. Menghilangkan segala gundah dan cemas yang seharian ini menyelimutiku. Kudengar ketukan perlahan di pintu depan. Jam 02.00 wib, 1 Januari 2010. Itu dia, suamiku sudah pulang dari Masjid, seusai menjadi imam sholat gerhana. Kubukakan pintu dan kusunggingkan senyum untuknya. Suamiku melangkah ke dalam, dan tanpa sepatah katapun, kami tenggelam dalam ekstasi pelukan yang panjang. Pelukan penuh kasih yang bermuara pada cinta kami hanya kepada Nya, Ar Rahman, Ar Rahiim ...

Salam sayang,
anni

" Demi waktu, sesungguhnya manusia ada dalam kerugian, kecuali mereka yang beramal sholeh, dan saling menasihati dan kebenaran dan kesabaran "
( QS Al Ashr : 1- 3 )