Menulis itu media katarsisku ...

Blog Pribadi Puji Nurani :

Sketsa sederhana tentang hidup yang sederhana ...

Menulis itu Media Katarsisku ....

Aku sangat suka .. sangat suka menulis .....
Aku tak memerlukan waktu khusus untuk menulis ..
Tak perlu menyepi untuk mendapatkan ilham ........
Atau menunggu dengan harap cemas pujian dari orang lain
agar tak jera menulis ......

Ketika aku ingin menulis, aku akan menulis tanpa henti...
tanpa merasa lelah ...
tanpa merasa lapar ...
Namun jika aku tidak menulis,
maka itu artinya aku memang sedang tidak mau menulis...

Kala kumenulis,
Aku alirkan pikiranku melalui ketukan keyboard
ke dalam layar dunia virtual aku berkontemplasi ....
Aku tumpahkan perasaanku ke dalamnya ....
yang sebagiannya adalah jiwaku sendiri ....

Lalu ... aku menemukan duniaku yang indah ...
duniaku yang lugu dan apa adanya ......
duniaku yang sederhana .........
yang aku tak perlu malu berada di dalamnya .....
Karena aku adalah kesederhanaan itu sendiri .....

Aku suka dengan cara Allah menciptakanku ...
alhamdulillah .......

Sunday, February 20, 2011

TAS ANAK-ANAK ?? BERAT BANGEETT



Di pagi hari menjelang berangkat sekolah, iseng-iseng saya mencoba mengangkat tas sekolah anak-anakku yang duduk di bangku SMA dan SMP. Masyaallah, berat banget !
Lalu saya buka tasnya. Beberapa buku tebal terlihat berderet rapi, buku tulis, kotak alat tulis, mukena, baju olah raga, kamus, kalkulator, dompet, netbook, belum lagi ditambah barang-barang yang dibawa dengan tas jinjing : segepok LKS, tugas-tugas sekolah, paper, buku gambar, dll ...
aduh, kaya orang mau pergi umroh saja ! .

Bagaimana dengan murid sekolah lainnya ? Coba saja perhatikan bagaimana penampilan anak-anak atau adik-adik anda saat berangkat sekolah : Berpakaian seragam, bersepatu kets yang besar, menggendong tas ransel yang padat menggembung di punggung, menjinjing tas tambahan yang juga sampai susah ditutup saking saratnya buku yang dijejalkan ke dalamnya, belum lagi anak-anak SD yang membawa bekal makanan dan minuman, dan anak-anak yang lebih besar membawa segala macam netbook, ponsel, alfalink, pianica, kadang Al Quran mini ...ampun deh !

Ketika saya tanyakan pada anak-anak, apakah semua barang-barang itu betul- betul dipakai ? apakah semua buku-buku tebal itu habis dipelajari ? mereka menjawab, ada buku yang sama sekali tidak pernah dibuka, namun guru mewajibkan para siswa membawanya setiap kali ada pelajaran tersebut !

Lalu mengapa seragam olah raga, Mukena, Al Quran, tidak disimpan saja di locker sekolah ? jawabannya selalu : nggak ada kuncinya, takut hilang ! :(
Lalu mengapa kamu harus pakai mukena segala, padahal seragam kamu itu sudah syar’i, sudah sangat memenuhi syarat untuk dapat melaksanakan shalat ?

Apa jawaban mereka ? nggak boleh sama guru agama, harus pakai mukena !

” Ya sudah, pakai mukena yang ada di masjid saja !”.

”nggak mau ah, mukenanya kotor !” ( cape dee ... !)

Sebetulnya keluhan saya soal beratnya beban bawaan anak-anak sekolah ini sudah sejak lama saya rasakan, sejak mereka duduk di bangku SD, sejak mereka harus diantar pergi ke sekolah. Saya ingat betul, betapa saya sengaja membawa tas-tas mereka yang super berat itu, agar bocah-bocah cilik itu dapat bebas berjalan dan berlari. Namun lihatlah bagaimana teman-temannya yang kebetulan berangkat ke sekolah seorang diri. Mereka berpenampilan sama : berjalan terbungkuk, atau miring ke kiri/ kanan karena beratnya beban yang harus dibawa.

Saya yang hanya mengerti sedikit tentang anatomi tubuh manusia saja rasanya paham, apa dampaknya jika anak-anak yang masih dalam usia pertumbuhan diharuskan membawa, menggendong, menyeret, atau menjinjing beban yang terlalu berat. Tak terlalu sulit untuk menjawabnya : pertumbuhan tulang dan struktur tubuh mereka akan terganggu, bukan ?

Namun sayang saya tidak dapat lebih jauh berkomentar tentang hal ini karena keterbatasan pengetahuan saya. Saya hanya ingin berkomentar tentang manfaat dan efektifitas dari segala macam barang yang berjejalan di dalam tas sekolah mereka.

Pertama tentang buku pelajaran yang tebal-tebal, mirip buku-buku referensi para mahasiswa S3, bahkan lebih. Buku para siswa di Indonesia dari tingkat SD sampai SMA (terutama yang dikeluarkan oleh penerbit yang sudah establish) banyak yang memiliki ketebalan sampai 5 cm, lebar 25 cm dan panjang 30 cm.
Isinya asli dahsyat banget. Sebagai contoh kalau saya tidak salah ingat, anak kelas 4 SD harus belajar berbagai peraturan tentang otonomi daerah, trias politika dari Montesquieu, konstitusi, alih-alih belajar tentang bagaimana berbicara dan bersikap sopan kepada guru, kepada teman, agar tak meniru-niru sikap buruk yang dicontohkan beberapa sinetron ( saya sangat kesal dengan penggambaran dan ekspolitasi kekonyolan guru dan sikap buruk siswa di berbagai sinetron Indonesia ). Lalu pelajaran IPA : anak-anak SD belajar tentang anatomi telinga, hidung, pernafasan, pencernaan, dengan materi sama dan sebangun dengan materi yang diajarkan kepada kakak-kakak mereka yang sudah duduk di bangku SMA jurusan IPA.

Bagaimana dengan Matematika ? waduh, ini yang bikin pusing para orang tua yang harus mengajari sendiri anak-anaknya di rumah ( kita tidak bisa mengandalkan guru SD mengajari murid - murid satu persatu sampai bisa. Mana sempat, muridnya membludak gitu ). Materi pelajaran Matematika SD jaman sekarang tinggi banget, bukannya orang tua tidak bisa mengajarkan kepada anak-anak, tapi masalahnya lebih di bagaimana cara mengajarkannya agar dapat dengan mudah dipahami anak-anak SD yang nalarnya masih terbatas.

Lalu bagaimana dengan segala macam pianika yang harus dibawa dan dimainkan di kelas seni itu? saya sebenarnya setuju-setuju saja, tapi rasanya sekarang ini anak-anak semakin buta tentang lagu anak-anak yang benar, yang baik, dan cocok dengan umur mereka. Menurut saya, sekolah itu berfungsi antara lain mendidik keberanian dan kemandirian siswa . Akan lebih bermanfaat jika guru SD kembali lebih sering meminta anak untuk menyanyikan sebuah lagu di depan kelas seperti dulu lagi. Tak perlu menekankan penilaian pada kualitas suara anak, merdu atau sumbang, namun tekankan penilaian pada keberanian, kreatifitas, kesungguhan, kemandirian. Hal-hal tersebut masih tetap berguna sampai kapanpun, bukan ?

Hal yang lain : saya perhatikan - tidak semua sekolah tentu - akhirnya banyak guru-guru yang lebih memilih menggunakan LKS ketimbang membahas buku paket yang jelas lebih lengkap ( namun sayangnya sering ditulis dengan bahasa yang berat dan njlimet, tak sesuai dengan usia anak ).Mengapa guru harus menggunakan LKS yang sudah jadi ? mengapa guru tidak membuat soal sendiri saja, agar lebih nyambung dengan materi yang diajarkan di kelas ?

Jawabannya tentu banyak dan beragam. Dari mulai kemampuan guru yang terbatas, kesepakatan MGMP (Musyawarah Guru Mata Pelajaran), sampai motif ekonomi. Nah untuk urusan yang terakhir ini, saya paling malas membahasnya, sebab nanti urusannya bisa memanjang dan melebar kemana-mana.

Jika dalam satu hari ada 4 sampai 5 macam pelajaran, dan di dalamnya ada juga pelajaran seni, olah raga, dan ekskul yang biasanya mewajibkan para siswa membawa perlengkapannya sendiri, masih ditambah kotak makanan dan minumannya, maka silahkan menghitung sendiri beratnya beban bawaan anak-anak kita. Tak perlu bicara tentang beratnya kurikulum yang membuat anak sampai overloaded, nggak bisa mikir lagi.

Saya hanya berharap sederhana saja, jika memang buku paket tidak dipakai, tak perlulah mewajibkan murid –murid membawanya.
Yang kedua tentang fasilitas sekolah. Saya mengerti betul, tak mungkin berharap terlalu banyak pada sekolah mengenai fasilitas ini, selama anak – anak saya masih bersekolah di sekolah-sekolah negeri. Namun setidaknya, peliharalah fasilitas yang sudah ada. Jika kunci locker rusak umpamanya, segeralah perbaiki. Jika tidak ada mukena di mushola, mintalah partisipasi orang tua untuk menyumbang mukena, saya yakin orang tua pasti akan bersedia. Sementara untuk kebersihan mukena, libatkan seluruh siswi secara bergiliran untuk mencucinya di rumah. Saya rasa tidak terlalu sulit. Kalaupun sedikit sulit, pikirkan manfaatnya. Barang-barang seperti seragam olah raga, seragam karate, Al Quran, pianika, kamus, mukena, jaket, jas lab, dll, dapat disimpan dengan aman, tak perlu setiap saat dibawa berjejalan di dalam tas.


Sebelum menutup tulisan ini, saya ingin memberi ilustrasi berdasarkan pengalaman saya. Saya berprofesi sebagai pendidik di sebuah SMA Islam Berasrama di Sukabumi. Saya mengajar Sejarah dan Kewarganegaraan dari kelas X sampai kelas XII ( sebagai catatatan, barang bawaan murid-murid di sekolahku, berbeda dengan di sekolah lain. Jauh lebih ringan karena mereka membawa buku hanya sebatas yang diperlukan sampai istirahat. Pada saat istirahat, mereka kembali ke asrama untuk mengosongkan isi tasnya, dan menggantinya dengan buku pelajaran lain yang dibutuhkan pada jam-jam berikutnya ). Khusus untuk kelas X, sebelum membuka pelajaran di awal smester, saya selalu melakukan tes wawasan pengetahuan umum tentang hal-hal yang sederhana di seputar Indonesia, semisal sebutkan ibu kota provinsi Jawa Timur, apa nama kabinet yang sekarang, apa nama parlemen kita, apa nama konstitusi kita, sebutkan sila ke lima Pancasila, dan sejenisnya, yang asli adalah pertanyaan tingkat SD. Jangan meremehkan dulu. Lihatlah hasilnya : mayoritas tidak dapat menjawab ! padahal mereka berasal dari SMP yang top, unggulan se jabodetabek, Bandung dan kota-kota besar lainnya. Bingung deh.
Saya yakin, bukannya guru-guru di SD dan SMP tidak mengajarkan, anak-anak hanya sudah overloaded saja..

Salam sayang,

anni, Sukabumi