Menulis itu media katarsisku ...

Blog Pribadi Puji Nurani :

Sketsa sederhana tentang hidup yang sederhana ...

Menulis itu Media Katarsisku ....

Aku sangat suka .. sangat suka menulis .....
Aku tak memerlukan waktu khusus untuk menulis ..
Tak perlu menyepi untuk mendapatkan ilham ........
Atau menunggu dengan harap cemas pujian dari orang lain
agar tak jera menulis ......

Ketika aku ingin menulis, aku akan menulis tanpa henti...
tanpa merasa lelah ...
tanpa merasa lapar ...
Namun jika aku tidak menulis,
maka itu artinya aku memang sedang tidak mau menulis...

Kala kumenulis,
Aku alirkan pikiranku melalui ketukan keyboard
ke dalam layar dunia virtual aku berkontemplasi ....
Aku tumpahkan perasaanku ke dalamnya ....
yang sebagiannya adalah jiwaku sendiri ....

Lalu ... aku menemukan duniaku yang indah ...
duniaku yang lugu dan apa adanya ......
duniaku yang sederhana .........
yang aku tak perlu malu berada di dalamnya .....
Karena aku adalah kesederhanaan itu sendiri .....

Aku suka dengan cara Allah menciptakanku ...
alhamdulillah .......

Saturday, August 11, 2012

Sepanjang Jalan Kenangan .... ( Kenangan jalan Holis - Bandung )


" Sepanjang jalan kenangan, kita slalu bergandeng tangan. Sepanjang jalan kenangan kau peluk diriku mesra. Hujan yang rintik-rintik di awal bulan itu, menambah indahnya malam syahdu... ". Masih ingatkah teman-teman pada syair lagu yang sangat indah itu ? Lagu jaman dahulu yang dinyanyikan biduanita bersuara merdu Tety Kadi. Ya betul sekali, lagunya berjudul " Sepanjang Jalan Kenangan ".  Lalu apa hubungannya dengan kita? Ohh bukan, saya bukan ingin menuturkan kisah saya bergandengan tangan dengan kekasih di sebuah jalan yang romantis. Bukan itu. Saya hanya ingin berbagi kenangan tentang sebuah jalan yang terletak di Bandung Barat, yakni jalan Holis. Selamat menyimak ya teman-teman, siapa tahu memori saya ini ada kesamaannya dengan kenangan teman-teman semua :)
*****
Ketika  (alm ) Ayah saya baru saja pensiun dari PJKA ( sekarang PT KAI ), kami pindah rumah dari rumah dinas berarsitektur Belanda di kompleks PJKA jalan Garuda, ke rumah yang lebih kecil di sebuah gang di jalan Holis Bandung. Kala itu tahun 1974, dan saya masih duduk di bangku Sekolah Dasar.
Dulu ketika rumah kami masih di kompleks, jarak antara rumah dengan sekolah di SD IWKA di jalan Rajawali  sangat dekat. Namun ketika kami pindah ke jalan Holis, jarak yang harus saya tempuh jadi lumayan jauh, dan itu harus ditempuh dengan berjalan kaki, karena waktu itu belum ada angkot. Yang ada hanyalah Bemo yang kebetulan trayeknya tidak melewati jalan Holis dan jalan Rajawali.

Setiap pagi dan petang saya bersama kakak perempuan saya, berjalan kaki pergi dan pulang sekolah menyusuri jalan Holis. Saya ingat betul, ketika itu jalan Holis masih sangat sepi dan asri. Pohon-pohon besar dan kecil berjajar meneduhi sepanjang badan jalan. Di beberapa tempat saya melihat parit - parit kecil atau selokan yang lumayan lebar, yang airnya masih jernih dan mengalir deras tanpa hambatan sampah. Kadang jika merasa lelah berjalan, kami beristirahat sambil  berjongkok di salah satu parit itu, sengaja ingin melihat segerombolan ikan liar kecil-kecil yang berwarna warni seperti pelangi, berenang kian kemari di beningnya air parit. Setiap aku mencoba menangkapnya, pasti kakakku akan melarangnya. Pernah suatu saat ketika berjalan seorang diri, saya nekad mencebur ke parit menangkap ikan-ikan itu untuk kupelihara di dalam toples di rumah. Ikannya memang sukses tertangkap, tapi akibatnya Ibu jadi ngomel-ngomel panjang lebar karena baju seragamku kotor dan  basah semua, padahal besok seragam itu masih harus dipakai lagi. He he ..

Ada lagi satu pemandangan menarik  yang saya jumpai di sepanjang jalan Holis semasa saya kecil dulu. Pemandangan itu adalah Gerobak Sapi yang kerap hilir mudik mengangkut berbagai muatan. Dari mulai kayu gelondongan, beras, sayuran, drum minyak tanah atau minyak goreng, sampai besi-besi tua, apa saja bisa diangkut oleh gerobak yang sederhana ini. Saya sangat senang berjalan dibelakang gerobak yang berjalan sangat lambat itu. Saya tidak tahu, apakah karena memang Sapi adalah hewan yang tak bisa berjalan dan berlari cepat seperti Kuda, ataukah karena sarat muatannya yang membuatnya berjalan sangat  lamban ?  Lucu deh melihat sais gerobak itu tertidur pulas di atas tumpukan muatan, sementara sapi-sapi itu berjalan sendiri seolah sudah hafal arah yang akan ditujunya. Tak pernah sekalipun kudengar lecutan cemeti atau hardikan sang Sais Gerobak. Gemeretak roda gerobak, detak langkah kaki Sapi, sampai berkelontangnya bel yang tergantung di leher sapi, seolah irama lagu merdu yang membuat Pak Kusir semakin terlelap dalam mimpinya hingga terjaga di tempat tujuan. Semua bunyi-bunyian khas yang merdu itu, masih sangat terngiang di telingaku hingga kini.

Kini 38 tahun kemudian, ketika saya kembali menyusuri jalan Holis, sungguh tak terbayangkan, pemandangan khas perkampungan Bandung tempo dulu pernah singgah di tempat ini. Sama sekali tak ada parit  berair sejuk bening dengan ikan Pelangi berenang kian kemari.  Air selokan yang dulu jernih mengalir deras,  telah berganti warna menjadi keruh, kadang merah, hijau, biru, hitam, atau warna apapun, tergantung apa warna limbah yang dibuang pabrik-pabrik ke selokan itu. Bau menyengat menguar dari selokan yang tercemar logam berat itu. Dan gerobak sapi ? jangan ditanya lagi. Semuanya sudah hilang lenyap, berganti dengan segala macam angkot berwarna hijau dan oren, puluhan mobil, ratusan sepeda motor,  juga masih ada becak yang saling  tak mau kalah memadati badan jalan. Padahal rasanya dari tahun ke tahun lebar jalan Holis tetap seperti itu, tak pernah berubah. Akibatnya mudah diduga. Kemacetan tak dapat dihindarkan lagi. Bunyi klakson memekakkan telinga, sumpah serapah para pengendara berhamburan ke udara.  Sungguh pemandangan  semrawut yang sangat mengesalkan.


Apa daya, jalan Holis yang indah dan penuh kenangan, kini tak ada lagi. Semua sudut sudah berganti wajah menjadi pemandangan jalan-jalan pada umumnya di kota Bandung yang selalu jauh dari perencanaan tata kota yang baik. Jalan Holis yang hawa dinginnya menusuk hingga tulang di pagi hari, kini hanya tinggal kenangan. Sekarang di rumah ibuku di jalan Holis itu, musim hujan atau musim kemarau sama saja gerahnya.  Sungguh terenyuh hati ini melihat lenyapnya sekeping puzzle masa kecilku. Namun sampai kapanpun, jalan Holis – nama Holis diambil dari nama pahlawan lokal yang gugur setelah bertempur habis-habisan melawan tentara Belanda pada masa Revolusi – akan tetap saya kenang. Jalan Holis yang  sepi dan asri  tak kan pernah hilang dari ingatanku. Di sepanjang  jalan itulah, saya  bersama teman-teman yang saling berdekatan  rumah, meretas jalan menuju kedewasaan. Pergi dan pulang sekolah, menuntut  ilmu ke berbagai tingkat pendidikan.

Salam sayang,
Anni – Sukabumi

als......sadaya ampir sadaya ngucapkeun "Selamat ya Ibu Tabitha.".........believe it or not eta bucket kintunan seseorang yg keukeuh ingin membagi sisa hidup nya dgn saya yaitu seorang duda tanpa anak dari Miami-Florida nyaeta Kang Ortiz........:))
May 31 at 6:12pm via mobile · · 2







  • Anni Heriyanto Puji Nurani
    ‎@ Josh : aku tuh waktu SD sampai kelas 6 ada pelajaran menulis halus pakai buku letjes bersampul biru. Nulisnya pakai pena uyg ujungnya dicelupin ke dalam tinta. Merek tintanya Parker dalam botol bulat agak bersegi. Aku heran kok anak2 kec
    il jaman dulu tahan bersabar dg pelajaran rumit spt itu. Tapi ada hasilnya sih. Tulisan tanganku kan bagus ya Josh. Klw kamu dulu di SD ada pelajaran menulis halus gak ? ♥ hϱ*hϱ*hϱ ♥ . ( Ah jadi kangen bu Suwarni ...)

  • Irwan Hendrawan Ion Iya rumahku yg dulu hijau nan asri jadi kumuh heuheu aku dilahirkan dirumah kabayangya
    May 31 at 6:33pm · · 1

  • Anni Heriyanto Puji Nurani
    ‎@ceu Tabitha Yana Ortiz : ih romantis bangeeettt ! gak nyangka dirimu punya kaitan dengan jalan Holis yaa ....! 8 tahun sudah berlalu tapi pasti kenangannya masih sangat lekat asa jiga kamari we nya. I am very happy for you Ceu ! jalan h
    idup yang sangat berwarna. Dari tempat kumuh, terbang melanglang buana ke negara adi daya yang dulu sungguh tak terbayangkan, dan yg lebih membanggakan lagi Ceuceu berprestsi di sana, alhamdulillah ! itulah mungkin yang disebut the Power of Love ya Ceu ! cinta dari orang2 disekelilingmu ...

  • Anni Heriyanto Puji Nurani
    mas Agus Saptono : iya Mas, sekarang jalan Holis semrawut banget, makanya agak males kalau lewat sana tuh. Untung waktu kejadian penggusuran, penebangan pohon, dan semua kekacauan itu saya gak ada di sana, sebab kalau saya di sana, bisa na
    ngis Mas, beneran deh ! Soal gang tempat rumah ibuku , yah kami cuma kebagian limbah pabrik tahu nya saja, sementara pabriknya entah berada dimana. Tapi soal tukang rujak di ujung gang, itu memang top ya Mas ! eta teh si Emang tukang rujakna, dulu teman ngaji saya, cuma beliau mah seangkatannya sama kakak saya ...

  • Anni Heriyanto Puji Nurani kang Irwan Hendrawan Ion : iya Kang sekarang sebatang pohon aja gak ada. Kalahkah we diganti ku menara operator seluluer anu kabelna ranteng. ah bete ! oh dikau teh lahir di rumah itu nyak ? pasti ku si Emak Paraji, ari-ari dikau dipiceun tah ka susukan depan SD Cibuntu, matakan bandel pisan Akang mah baheula teh ... heuheuheu ...

  • Agus Saptono ha....ha....ha.....Irwan pas lahir di bantu paraji, ngarana ma Emar
    May 31 at 7:36pm · · 1

  • Yogyaswari Lukman
    Anni...bc note ini sy jd "ngahuleng" alias terpesona..bener yaa Holis pernah seasri itu ? ngebayanginnya aja susaaah...emang d Bdg pernah py pemandangan kyk gt ? ms kecil sy di jl kresna (daerah pajajaran ) dr dulu smp skrg relatif gak byk
    yg berubah. Nah...skrg rumah di taman kopo, and jl Holis adalah akses tercpt kalo mau kemana-mana drpd lwt jl kopo yg "enggak bgt" mctnya...palagi klo weekend, beuuuhhh....!!!! jd memilih 2 jalan yg sbnrnya sm2 langganan macet..cm pake feeling aja mana yg macetnya "sopan"....aarrgghh..hahah

  • aha..
    May 31 at 9:24pm · · 1







  • Anni Heriyanto Puji Nurani
    ‎@ Yayank : ya begitulah Yank. Waktu saya kecil, jalan Holis masih kaya kampung, setiap rumah rindang dg pepohonan besar, bahkan ada pohon beringin di depan SDN Cibuntu. Dan boleh percaya boleh enggak, di daerah SD Cibuntu itu, ada kali kec
    il yg airnya deras banget, berbatu2, dan dianggap angker krn rimbunnya pepohonan di sana. Klw sekarang saya melewat ke depan SD itu, secuilpun gak ada bekas hijau2nya. Dan gang di rumah saya, dulu tuh ada pohon pisang, pohon ciremai, pohon kelapa, pohon buah2an, semak belukar, yah pokoknya kampung banget deh. Sekarang ? Rumah berjejer rapat gak ada jarak ! Apapun kata orang, yg macetlah, yg gerahlah, yg semrawutlah, semuanya gak ngaruh ! Bandung tetap bikin kangen, dan tetap memiliki magnit bagi kaum pendatang atau wisatawan. Pipa Piking !!

  • Juhaeri Muchtar Sami wae Teh Ani, nuju uih ka lembur di Majalengka sareng ameng ka lembur di Cianjur, sadayana robih. Suasana damai hilang, padat, kumuh, pabaliut pokona mah

  • Anni Heriyanto Puji Nurani ‎@ kang Joe : tah pan, rata nya dimamana sami mawon. na kedah kumaha atuh membina kota2 di negeri kita teh nya Kang ? selalu saja kemajuan pertumbuhan jumlah kendaraan tdk seimbang dg pertumbuhan jalan raya. belum pengrusakkan lingkungan. asa ripuh ningali Bandung teh ayeuna mah. Sukabumi ge ketang sami wae......