Menulis itu media katarsisku ...

Blog Pribadi Puji Nurani :

Sketsa sederhana tentang hidup yang sederhana ...

Menulis itu Media Katarsisku ....

Aku sangat suka .. sangat suka menulis .....
Aku tak memerlukan waktu khusus untuk menulis ..
Tak perlu menyepi untuk mendapatkan ilham ........
Atau menunggu dengan harap cemas pujian dari orang lain
agar tak jera menulis ......

Ketika aku ingin menulis, aku akan menulis tanpa henti...
tanpa merasa lelah ...
tanpa merasa lapar ...
Namun jika aku tidak menulis,
maka itu artinya aku memang sedang tidak mau menulis...

Kala kumenulis,
Aku alirkan pikiranku melalui ketukan keyboard
ke dalam layar dunia virtual aku berkontemplasi ....
Aku tumpahkan perasaanku ke dalamnya ....
yang sebagiannya adalah jiwaku sendiri ....

Lalu ... aku menemukan duniaku yang indah ...
duniaku yang lugu dan apa adanya ......
duniaku yang sederhana .........
yang aku tak perlu malu berada di dalamnya .....
Karena aku adalah kesederhanaan itu sendiri .....

Aku suka dengan cara Allah menciptakanku ...
alhamdulillah .......

Tuesday, December 31, 2013

Di Lokalisasi Saritem itu, Aku ….

I23rf.com



Kemarin saat mengunjungi orang tuaku  di Bandung, kendaraan kami melintasi jalan Saritem yang terletak dekat dengan stasiun kereta api. Tanpa dapat ditahan lagi kenangankupun melayang ke puluhan tahun silam, saat saya masih duduk di Bangku SMA. Saya bersekolah di SMAN 4 Bandung di jalan Gardujati, yang lokasinya berdekatan dengan jalan Saritem. Oh iya, tentu saja saya harus menjelaskan terlebih dahulu kepada teman-teman, mengapa saya merasa perlu menuliskan pengalaman saya yang ada hubungannya dengan jalan Saritem ini.

Salah satu Kompleks Lokalisasi Tertua di Indonesia

Saritem adalah nama sebuah jalan atau gang di dekat pusat kota Bandung, yang sejak lama dikenal sebagai pusat pelacuran atau lokalisasi PSK. Usia aktifitas jual-beli syahwat di kompleks itu sudah berjalan sejak ratusan tahun lalu, yakni saat pemerintah kolonial Belanda membangun jaringan rel kereta api pada pertengahan abad ke-19. Semenjak itu Saritem dikenal luas sebagai pusat transaksi seks terbesar di kota Bandung, yang namanya terkenal hingga ke mancanegara, sama seperti tersohornya gang Dolly di Surabaya. 


Saya sendiri sebagaimana gadis-gadis baik-baik lainnya, kalau tidak sangat terpaksa, akan berusaha sekuat tenaga untuk menghindari jalan Saritem itu.  Selain dilarang oleh orang tuaku, saya sendiripun merasa risih jika harus melalui jalan tersebut. Sebetulnya saya punya beberapa teman sekolah yang tinggal di Saritem, karena memang tak semua rumah di Saritem dijadikan tempat prostitusi. Banyak juga penduduk biasa, yang baik-baik, yang tinggal disana.

Disenyumin sama Oom-Oom Mupeng

Kadang  kalau saya harus berkunjung ke rumah temanku di Saritem untuk mengerjakan tugas sekolah umpamanya, saya harus mengambil jalan memutar yang lumayan jauh agar saya tidak memasuki mulut jalan Saritem dari arah depan. Lebih baik kehilangan waktu setengah jam , daripada harus mendapat lagi pengalaman yang bikin kesal. Gimana nggak kesal, kalau aku masuk lewat jalan masuk Saritem, aku suka disenyumin sama Oom-Oom yang mau “ jajan “ disana. Aku  pernah pergi ke rumah temanku dan masuk melalui  mulut jalan utama. Aku kan kalau jalan ya santai saja, kadang tanpa menengok kiri-kanan, asyik saja dengan pikiranku, dan fokus pada hal-hal yang harus aku kerjakan. Tak aku perhatikan laki-laki yang banyak berdiri berjajar di sepanjang jalan itu, dan suit-suitan yang diarahkan padaku. Yah aku pikir, biasa kan laki-laki suka suit-suit sama anak gadis yang lewat di hadapannya. Lagi pula aku sudah biasa disuitin gitu, namanya juga cewek  imut,  jadi aku sudah kebal, dan cuek aja. 

Tapi lama-lama aku menengok juga ke arah mereka. Kulihat mereka tersenyum ramah padaku, yang aku balas dengan senyuman juga. Asli aku polos banget saat itu. Aku pikir kalau ada orang tersenyum dan bersikap ramah, ya sudah, balas senyum saja. Sama sekali nggak kepikiran hal-hal di luar itu. Tapi lama kelamaan aku jadi mikir juga, kok semua laki-laki, bapak-bapak, mas-mas, akang-akang, oom-oom yang berpapasan denganku di gang itu, semuanya tersenyum padaku ? memangnya mereka mengenalku ? atau mereka menganggap diriku mirip artis terkenal ? mirip Dian Pisesha barangkali ? ah mana mungkin aku mirip Dian Pisesha. Aku kan mirip Endang. S. Taurina …

Dan saat aku tersadar, halaaahh …!! aku langsung ngacir  berjalan setengah berlari ingin segera sampai ke rumah temanku. Ah sial, rupanya Oom-Oom itu tersenyum-senyum padaku sebab mereka mengira aku adalah salah satu penghuni Saritem yang bisa mereka pakai. Hiiiy .. !  jijay banget kann ?. ih amit-amit deh, sori-sori jek la yaaww ..

Ditawar sama Oom Senang
 
Cuma diajak senyum sih masih mending. Ini aku pernah sampai ditawar coba. Jadi gini ceritanya. Waktu SMA dulu aku suka pergi dan pulang sekolah dengan mengendarai bus kota yang letak haltenya berdekatan dengan jalan Saritem. Suatu sore sepulang kegiatan ekskul kalau tidak salah, aku berdiri sendirian di halte itu, menanti bus kota langgananku  untuk membawaku pulang ke rumah. Kebetulan waktu itu aku tidak memakai seragam putih abu-abu, tetapi memakai “baju bebas” berupa celana panjang jeans dan kemeja lengan panjang yang lengannya digulung sampai ke bawah siku, dan menyandang tas ransel di salah satu bahuku, seperti lazimnya pakaian anak-anak remaja SMA saat itu.

Lagi asyik berdiri gitu, nggak ada hujan nggak ada angin, tiba-tiba sebuah sedan menepi ke arah kiri dan berhenti tepat di sampingku. Kulihat pengemudinya seorang Oom-Oom yang berpenampilan perlente tapi rada kampungan. Dia membuka kaca jendela depan, melongokkan kepalanya yang jelek dan menyapaku ramah. ” Ikut yuk Teh, 50 ribu “, katanya sambil telunjuknya memberi isyarat agar aku masuk ke mobilnya.

Sejenak aku tertegun. Aku pikir Oom itu bukan sedang menyapaku. Setelah celingak-celinguk kiri-kanan dan tak kulihat ada sesiapapun disana selain aku, barulah aku sadar kalau Oom senang itu sedang mengajakku bicara.
Mendadak kepalaku berdenyut dan pandanganku nanar. Emosiku naik sampai ke ubun-ubun.   Bukan emosi lantaran melihat giginya yang kuning dan senyumnya yang mirip seringai kuda poni, tapi lebih pada tersadar, bahwa ternyata aku dikira penghuni Saritem yang sedang mangkal di halte bus, diajak kencan sama Oom jelek, dan ditawar seharga 50 ribu ! hadeeeww….

” ihh dasar geloo.. ! “, (dasar gila ! ) tanpa dapat kutahan lagi, terlompatlah makian dari mulutku, saking kesalnya. Sambil mengumpat si Oom senang, jari telunjukku aku tempelkan ke jidatku membentuk garis miring. Nggak kebayang bagaimana ekspresi wajahku saat itu, mungkin pucat saking kaget dan marah, mungkin cemberut, atau mungkin terbelalak, entahlah, aku sudah lupa. Yang aku ingat, aku hanya mendadak pengen muntah. Itu saja.
Tanpa ba bi bu lagi, aku segera berlalu dari tempat itu, meninggalkan si Oom mupeng yang terbengong melihatku berlalu, tak mempedulikan dirinya yang dia pikir keren. Amat-amit dah, nggak mau sekali-kali lagi aku dapat pengalaman menyebalkan seperti itu. Cukup sekali itu saja. Sejak saat itu, aku selalu menunggu bis di tempat yang agak jauh dari Saritem. Melanggar dikit tak apalah, yang penting nggak ditawar orang.

Diabsen sebagai penghuni Saritem

Ada satu lagi pengalamanku yang tak terlupakan berkaitan dengan letak sekolahku yang sangat dekat dengan Saritem. Jadi dulu itu, saya dan beberapa teman selalu bersama-sama pergi ke sekolah  dengan bus kota. Untuk mencapai sekolah, kami harus turun di halte yang letaknya dekat dengan Saritem itu. 
Saat bus kota sudah mendekati halte Saritem, Pak Kondektur akan mengingatkan penumpang yang akan turun di sekitar situ, untuk bersiap-siap. Masalahnya Pak Kondektur yang baik hati itu, selalu meneriakkan kata-kata yang sebetulnya sudah benar, tapi mau-tidak mau membuat merah telinga kami karena malu. Begini teriakan Pak Kondektur : ” Saritem, Sariteemm !! Siap-siap yang mau ke Saritem ! “. Nah, beberapa penumpang termasuk kami yang kebetulan akan turun di daerah sekitar situ, terpaksa berdiri dengan enggan. Masalahnya, kami divonis mau ke Saritem. Padahal belum tentu kan ? Kami ini contohnya. Kami kan mau ke jalan Gardujati, sementara penumpang lain mungkin saja akan menuju ke stasiun, atau mau ke jalan kebonjati, atau mau kemana kek, alih-alih ke Saritem. Tapi apa boleh buat, kami memang terpaksa turun di Saritem kok, jadi kami terpaksa pasrah saja menerima nasib, turun di Saritem dan dikira akan menuju Saritem . hmm …
 
Yang paling sial, kalau ada kondektur yang terlampau kreatif. Tak hanya sekedar meneriakkan Saritem-Saritem !, namun juga sekaligus mengabsen nama kami para murid SMAN 4 yang akan turun di halte Saritem. Teriakannya asli bikin bete . Dengerin deh, ” Yang mau turun di Saritem siap-siap ! Ayok,  Puji Nurani, Dewi Astuti, Sri Lestari, Jusuf Hendrawan , Muhammad Fajar,  siap-siaapp …!! “. Ahh sebel banget deh !. Tengsin kan nama kita disandingkan dengan Saritem !. Kami yang anak perempuan jadi serasa penghuni Saritem, sementara anak laki-laki dikira mau jajan, hehee … Dasar Pak Kondekturnya iseng banget. Tapi ngomong-ngomong, darimana Pak Kondektur bus kota bisa mengetahui nama-nama kami ya ? oh tentu saja dari nametag yang tertera di pakaian sergam kami. Ah kacau banget deh …

Demikianlah teman-teman, pengalaman jadulku yang tak terlupakan. Bikin kesal tapi lucu juga kalau sekarang diingat-ingat. Lama sudah saya meninggalkan Bandung kampung halamanku. Kudengar lokalisasi Saritem sekarang sudah tinggal kenangan, karena Pemkot Bandung memerintahan penutupannya pada 2007 lalu. Tak ada lagi lokalisasi tempat orang menjual dan membeli cinta palsu dan seks artifisial. Karena lapaknya telah ditutup, maka para perempuan PSK sekarang mencari nafkah dengan cara menyebar ke seluruh penjuru kota Bandung. Miris. Nah teman-teman, selamat malam  dan selamat berlibur bagi  anda yang sedang berlibur.



Salam sayang,

Anni


Wednesday, December 25, 2013

Lebaran Kristen : Toleransi Tanpa Banyak Teori



 1387886444740564654

Saya dibesarkan di tengah keluarga muslim yang taat. Namun keluarga besar kami tak hanya terdiri atas satu agama saja. Saya punya beberapa saudara yang berbeda agama dengan keluarga saya ( Ayah, Ibu, saya, dan kakak-adik saya ), baik dari pihak Ibu maupun dari pihak Ayah. Entah sejak kapan ada perbedaan agama di dalam keluarga besar kami yang mayoritas beragama Islam ini.  Mungkin sejak dua atau tiga generasi , atau barangkali sudah sejak seratus tahun yang lalu, entahlah. Yang jelas menurut ibu saya, nenek moyangnya adalah orang-orang yang sudah pergi haji, sementara beberapa saudara dekat kakek-neneknya tersebut ada juga yang berprofesi sebagai seorang pendakwah agama Kristen di kampung halamannya.


Sebetulnya famili kami itu (Bude, Sepupu, dll, ) bukan beragama Kristen, tapi Katholik. Karena di Indonesia Kristen identik dengan Protestan (cmiiw). Namun karena awamnya keluarga besar kami, semua orang yang pergi sembahyangnya ke gereja kami panggil Kristen saja, tak peduli mereka itu beragama Katholik atau Protestan.


Tak hanya beragama Kristen, yang tak punya agamapun ada di keluarga besar kami. Anggota keluarga besar kami itu, terutama yang sudah sepuh-sepuh, tak jelas beragama apa. Kata Ibu, mereka memang tak beragama tapi percaya pada Tuhan, alias penganut aliran kepercayaan. Karena kami berasal dari suku Jawa, maka aliran kepercayaan mereka adalah Kejawen. Sebuah ajaran kuno yang mengandung filsafat tinggi,perpaduan antara Hindu, Islam, dan kepercayaan animisme asli Jawa (cmiiw lagi).


Meski berbeda agama, namun kehidupan kami berjalan normal saja. Tak pernah sekalipun ada benturan keyakinan. Kami hidup rukun, guyub, dalam suasana penuh persaudaraan. Jika kebetulan kami berkumpul di rumah joglo milik Eyang Putri, suasananya selalu heboh penuh canda dan keceriaan. Tak pernah kami berdebat agama sampai ngotot. Kami hanya berdiskusi soal agama dengan saudara-saudara yang satu keyakinan saja. Kalaupun ada yang berbeda agama turut serta dalam perbincangan, itu pasti atas kemauannya sendiri.


Interaksi campur sari


Toleransi bagi kami adalah sebuah keniscayaan. Tak pernah diajarkan secara khusus, namun sangat dicontohkan. Itupun tak berlebihan, secara alamiah saja dalam keseharian. Kalau diingat-ingat, lucu juga mengenang cara kami yang berbeda keyakinan ini saling berinteraksi. Bukan hal yang aneh, saudara kami yang beragama Katholik mengucapkan kata  alhamdulillah, insyaallah, astaghfirullah,dll, dalam percakapan sehari-hari, seolah itu adalah kata-kata umum biasa saja, bukan istilah yang dalam agama Islam mengandung doa. Tapi yang paling saya ingat adalah interaksi saya dengan Joshua (nama samaran), kakak sepupu saya yang tinggal di Jakarta. Saat itu dia masih seorang calon pendeta.  Jika bertemu dengan saya, begini kurang lebih percakapan kami : 


” Hi Anni, assalamualaikum ! “.


” idih Pendeta kok assalamualaikum “, jawabku meledek.


“ Abis kalau pakai bahasa Indonesia, semoga keselamatan terlimpah atas dirimu, kan kepanjangan. Ya udah pakai assalamualaikum aja !. Lagian kamu bawel banget, tinggal jawab aja apa susahnya sih ?! “


” Hehehee … Iya deh, waalaikumsalam “.


” Apa kabar Mas ? “, tanyaku.


” Alhamdulillah, sehat !”, jawabnya sambil nyengir lebar.


” iih, tadi bilang assalamualaikum, sekarang alhamdulillah ! kreatif dong, ciptain sendiri kek …”, kataku meledek lagi.

” Lhahh ? alhamdulillah kan artinya puji Tuhan Allah ! ya sudah, apa bedanya ? Kristen juga menyembah Allah kok !


” hi hi hi hiii  …. “


” Ketawa lagi, dasar jelek …”


He hee …


Ah kangen juga sama kakak sepupuku itu. Semenjak menjadi pendeta belasan tahun lalu, dan saya sudah menikah, tak pernah lagi kami saling berkomunikasi. Sibuk dengan dunianya masing-masing.


Orang Islam santri buduk, orang Kristen nyembah patung


Hampir semua anggota keluarga besar kami memiliki banyak anak. Setiap anggota keluarga rata-rata memiliki 6 sampai 7 anak. Ibu saya sendiri punya 8 anak. Kalau kebetulan ada acara kumpulan, yang bikin heboh ya acara kumpul bocah itu. Namanya juga anak-anak, bandel-bandel pasti. Dulu waktu saya masih kecil,  kami suka juga ejek-ejekan dan berantem sama sepupu-sepupu, sampai bawa-bawa agama segala. Padahal jujur, saat itu kami sendiri belum mengerti sedikitpun tentang agama yang kami anut. Jangankan melaksanakan sholat,  bacaan sholat saja belum hafal. Tapi kami sudah gagah berani membela agama kami dari ejekan sepupu-sepupu yang beragama Kristen. Ejekan yang paling sering dilontarkan adalah,” orang Islam santri buduk “, yang kami balas tak kalah sengit, ” orang Kristen nyembah patung ! “. Wah, dahsyat sekali ejekan-ejekannya,  bukan ?. Bayangkan kalau kata-kata itu dihamburkan di zaman sekarang, bisa-bisa kami kena pasal menghina SARA.

Kalau sudah perang  kata-kata seperti itu,  Eyang Putri (Nenek) akan langsung menoleh ke arah kami dengan dagu mendongak dan mata melotot. Ini adalah bahasa tubuh Eyang yang paling legendaris, yang artinya, ” tutup mulut kalian, pengacau cilik  !  . Tanpa kata sama sekali, namun sudah cukup membuat para ibu bangkit dari majelis  rumpi lalu tergopoh-gopoh melerai dengan cara menjewer telinga kami agar segera menjauh dari arena pertempuran. Entah mendapat ilham dari mana sehingga kami mendapat amunisi ejekan serupa itu. Yang jelas, begitu kami bertambah besar dan bertambah dewasa, semua ejekan itu sudah kami tinggalkan. Kalau diingat-ingat, sadis juga ya cara kami saling ejek. Semoga kebandelan kami ini tidak menurun ke generasi berikutnya. Serem soalnya.


Lebaran Kristen


Sebagaimana sebagian keluarga Jawa lainnya, keluarga besar kami punya istilah sendiri untuk menyebut hari Natal, yakni Lebaran Kristen. Kok lebaran Kristen ? Ya iyalah, kalau Islam punya lebaran, masak Kristen nggak punya ?  Kalau setahun sekali kami yang muslim merayakan hari lebaran dengan baju baru, menu istimewa dan kue-kue yang serba lezat, maka anggota keluarga Kristenpun punya hak yang sama. Berlebaran setahun sekali, setiap tanggal 25 desember, dengan baju baru, menu istimewa, dan kue-kue yang enak. Nah, ini baru adil. Yah, setidaknya adil menurut Eyang putri.


Kalau pas liburan lebaran Iedul Fitri atau liburan Natal  dan kami berkumpul di rumah nenek, maka menu yang disajikan sama saja, tak ada bedanya antara menu lebaran Islam sama menu lebaran Kristen. Selalu : ketupat, opor ayam, sambal goreng kentang ati ampela, rendang, acar mentimun wortel, dan kerupuk udang. Kue-kuenya : bolu marmer, kaastengels, nastar, kacang bawang, kue putri salju, lidah kucing, tape ketan berwarna hijau, manisan kolang-kaling, kue kering Khong Guan, dan minumannya es sirup ABC rasa jeruk. Selalu itu-itu saja selama bertahun-tahun tak pernah berubah, dari saya masih TK sampai SMP hingga akhirnya Eyang meninggal dunia. Pendeknya di keluarga besar kami, apapun agamanya menu lebarannya sama saja.


Toleransi tanpa basa-basi


Kini masa kecil dengan keriuhan di keluarga besar sudah lama berlalu. Kami yang dulu masih bocah dan selalu mengacaukan acara keluarga itu, sudah tumbuh dewasa dan sudah berumah tangga pula. Semakin jarang saja kami berkumpul, karena kami sudah tinggal di tempat yang berjauhan. Sebagian dari kami bahkan tinggal di luar negeri, yang membuat semakin sulit untuk bisa bertemu.


Kenangan masa kecil yang indah, takkan mungkin terlupakan. Hidup berdampingan dengan famili yang berbeda agama dalam sebuah keluarga besar, dengan Eyang Putri sebagai pusat keluarga. Eyang putri yang anggun, sangat cantik berwajah indo Belanda, lembut, namun sangat tegas dan disegani.  Eyang seorang muslimah yang sangat taat dengan ajaran agamanya, namun mencontohkan bagaimana menghormati keyakinan yang berbeda, dengan ajarannya yang sederhana namun masuk akal. Kata Eyang, keyakinan adalah soal hati. Tak boleh kita mengusik orang lain hanya karena perbedaan agama. Pantang menghina ajaran agama orang lain, jika kita tak suka agama kita dihina. Ajaran Eyang sederhana saja, namun menurut saya tetap aktual hingga hari ini. Ajaran Eyang tentang Lebaran Kristen bagi saya adalah cerminan kearifan lokal Jawa yang tiada duanya. Sebuah contoh  pemikiran khas Jawa yang gandrung akan keserasian kosmik.


Dari semua pelajaran hidup yang saya pahami, ada satu hal yang saya inginkan dalam hidup saya : anak-anakku bertumbuh menjadi pribadi yang taat menjalankan ajaran agama, mencintai Allah, namun pandai menjaga hubungan baik dengan orang-orang yang berbeda agama. Nah teman-teman, semoga bermanfaat dan mohon maaf jika ada kata-kata yang kurang berkenan.




Salam sayang,


Anni



Sumber gambar : 


fotomodelindo.blogspot.com

dovechristian.com