Menulis itu media katarsisku ...

Blog Pribadi Puji Nurani :

Sketsa sederhana tentang hidup yang sederhana ...

Menulis itu Media Katarsisku ....

Aku sangat suka .. sangat suka menulis .....
Aku tak memerlukan waktu khusus untuk menulis ..
Tak perlu menyepi untuk mendapatkan ilham ........
Atau menunggu dengan harap cemas pujian dari orang lain
agar tak jera menulis ......

Ketika aku ingin menulis, aku akan menulis tanpa henti...
tanpa merasa lelah ...
tanpa merasa lapar ...
Namun jika aku tidak menulis,
maka itu artinya aku memang sedang tidak mau menulis...

Kala kumenulis,
Aku alirkan pikiranku melalui ketukan keyboard
ke dalam layar dunia virtual aku berkontemplasi ....
Aku tumpahkan perasaanku ke dalamnya ....
yang sebagiannya adalah jiwaku sendiri ....

Lalu ... aku menemukan duniaku yang indah ...
duniaku yang lugu dan apa adanya ......
duniaku yang sederhana .........
yang aku tak perlu malu berada di dalamnya .....
Karena aku adalah kesederhanaan itu sendiri .....

Aku suka dengan cara Allah menciptakanku ...
alhamdulillah .......

Monday, May 27, 2013

Perempuan yang Melahirkan di Toilet


Hari ini terdengar kabar tentang bayi yang tergantung di kloset toilet sebuah mall. Kemarin tersiar berita tentang penemuan bayi perempuan yang masih bernafas, terbaring menangis di lantai toilet sebuah gudang pabrik. Besoknya lagi para calon penumpang di sebuah bandara dihebohkan dengan penemuan sesosok mayat  bayi laki-laki yang tergolek di lantai toilet bandara.  Bayi-bayi malang itu diduga dilahirkan beberapa saat sebelumnya oleh perempuan yang tidak menghendaki kehadiran bayi tersebut.  Itulah yang terjadi. Begitu jabang bayi hadir ke dunia, sang ibu langsung membuangnya, seolah membuang sampah saja.

Para ibu yang telah memiliki putra-putri, tentu masih ingat bagaimana rasanya melahirkan. Saya sendiripun masih ingat, meski saat terakhir kali melahirkan adalah 15 tahun yang lalu. Rasa sakitnya sungguh tak terperi. Rasa nyerinya sungguh tiada dua. Beginilah rasanya masuk ke dalam kondisi ketika batas antara hidup dan mati begitu tipis.

Apa yang teman-teman lakukan pada saat itu ? apakah menangis ? merintih,berteriak ? meremas jari Suami sampai dia meringis kesakitan ?. Kalau begitu sama dengan yang saya alami. Saya pun seperti itu, tak kuasa menahan rasa sakit yang sangat dahsyat.  Memang begitulah lazimnya perilaku perempuan pada saat melahirkan. Berubah menjadi seribu kali lebih manja, karena sebetulnya ada rasa takut teramat sangat yang diam-diam menyelinap ke dalam hati. Khawatir sehabis ini tak lagi dapat melihat indahnya dunia dan wajah orang-orang tercinta.

Namun itu tak terjadi pada perempuan-perempuan yang melahirkan di toilet. Mereka yang melahirkan dengan sembunyi-sembunyi lantaran melahirkan tanpa ikatan pernikahan. Perempuan-perempuan itu, sebab menghindari celaan tetangga, memilih melahirkan di tempat- tempat yang tidak lazim, dan dengan cara yang tidak lazim pula.  Alih-alih melahirkan di atas tempat tidur yang nyaman didampingi dokter ahli atau bidan yang baik hati, lebih memilih melahirkan di sembarang toilet.

Entah apa yang terjadi dengan perempuan-perempuan itu. Bagaimana cara mereka melahirkan dan menahan rasa sakit yang sedahsyat itu? bagaimana mungkin mereka tidak bersuara sedikitpun ?  tidak menangis, tidak merintih, apalagi  berteriak ? padahal melahirkan seorang  bayi, tak peduli dalam  perkawinan atau diluar perkawinan, saya yakin rasa sakitnya sama saja.Disatu sisi saya merasa takjub pada perempuan-perempuan ini. Melahirkan dengan proses yang cepat tanpa bermanja-manja. Tak sampai disitu, diapun masih harus secepat kilat menyingkir jauh-jauh dari tempat itu, agar perbuatannya tidak diketahui orang lain. Boleh jadi mereka memilih toilet agar dapat segera membersihkan tubuhnya dari lumuran kotoran dan darah sehabis melahirkan. Saya sungguh tak habis pikir, alangkah kuatnya mereka.   Padahal dalam kasus yang normal, seorang perempuan yang baru saja melahirkan, jangankan langsung membersihkan diri lantas kabur, bahkan sekedar dudukpun tak sanggup lagi, akibat deraan rasa sakit dan letih yang luar biasa.

Tak terbayangkan pedihnya hati perempuan-perempuan yang melahirkan di toilet mall, di kebun kosong, di pinggiran sungai, dan di tempat-tempat tak bermartabat lainnya. Sendirian melawan sakit, tak didampingi laki-laki yang konon mencintainya, tak ada lantunan doa dari Ayah- Bunda,  atau kakak perempuan yang turut mengusap-usap punggung dan pinggang, tak ada tetangga dan sahabat yang menjenguk. Juga tak ada sensasi kebahagiaan tak terlukiskan saat sang bayi pertama kali menyusu di dada kita. Tak ada semuanya. Dia sendiri, seorang diri. Hanya berteman tangis, malu dan sesal di hatinya. . Dan sesal serta kesedihannya itu  kian bertambah besar saat dia harus meninggalkan bayinya begitu saja di lantai toilet. Setelah itu hingga hari – hari selanjutnya gelar perempuan keji pendosa pun melekat erat pada diri dan hatinya hingga mati. Perempuan- perempuan itu melakukan hal diluar nalar, terdorong rasa malunya pada tetangga, pada teman-temannya, pada orang- orang yang mengenalnya, rasa malu yang mengatasi rasa malunya pada Allah yang maha mengetahui segala perbuatannya.

Perempuan-perempuan yang melahirkan di toilet itu, sebab merasa aib , terpaksa menyingkirkan jauh-jauh rasa sakit dan nelangsa saat melahirkan. Menyingkirkan rasa ingin disayang dan ditemani. Sendirian menyabung nyawa demi menutupi dosa. Dosa yang tak terhapus oleh prosesi melahirkan yang sejatinya adalah ladang jihad seorang perempuan. Dosa yang kemudian berlipat seiring dengan membatunya hati sewaktu membuang makhluk lemah tak berdaya yang dia keluarkan dari rahimnya  sendiri.  Sementara laki-laki lancung yang telah membuahinya melenggang entah kemana. Mungkin sedang tertawa-tawa membuahi perempuan bodoh lainnya.

Kisah perempuan bodoh dan laki-laki lancung serta bayi malang yang terbuang akan terus berlangsung, jika masyarakat tak segera mengakhiri lingkaran setan kemerosotan moral ini. Kita harus mengakhiri semua tragedi kemanusiaan ini, sekarang juga, seorang diri atau bersama- sama. Tak ada pilihan lain kecuali mendidik anak-anak gadis kita agar pandai menjaga kehormatan dirinya, dan mendidik anak laki-laki kita agar menjadi manusia yang tahu etika. Yang tidak hanya pandai menjadi pejantan, namun juga harus tahu bagaimana seharusnya bersikap sebagai laki-laki sejati ! Selamat mendidik putra- putri tercinta ya teman –  teman …


Salam sayang,


anni


Thursday, May 23, 2013

Selamatkan Pendidikan Fatin Shidqia dan Anak - Anak Berbakat Lainnya


                                           
 


Jagad hiburan Indonesia sekarang sedang dilanda demam Fatin Shidqia, remaja berumur 16 tahun yang merupakan kandidat kuat pemenang X- Factor. Ini adalah program music reality show yang memiliki rating tinggi yang ditayangkan oleh salah satu TV swasta setiap Jumat malam. Saya bukan penggemar acara ini, karena saya tidak pernah suka dengan acara-acara yang terlampau dalam melibatkan emosi penonton. Namun saya kagum pada sosok Fatin, remaja yang sangat berbakat ini. Kehadiran Fatin bagaikan oasis yang mengobati  rasa sesak akibat  menyaksikan carut marut negeri ini. Setidaknya masih ada anak muda yang berbakat, berprestasi, namun tetap tampil sederhana dan santun.

Fatin sebaya dengan anak saya, dan sama- sama duduk di bangku SMA. Hal inilah yang menyebabkan saya menaruh minat yang lebih pada anak ini. Jika kebetulan saya melhat aksi Fatin di layar kaca, saya langsung teringat pada anak-anak saya, dan pada murid- murid di SMA tempat saya mengajar. Mereka adalah anak-anak remaja Indonesia yang sedang bertumbuh kembang, sedang menikmati hidup yang penuh keceriaan, sedang senang-senangnya berteman , dan sedang asyik-asyiknya menuntut ilmu di sekolah. Sebagai seorang Ibu dan seorang Pendidik, ada kekhawatiran yang terlintas dalam pikiran saya, bersamaan dengan kekaguman saya terhadap Fatin.

Dunia hiburan vs dunia pendidikan

Sudah bukan rahasia lagi, dunia hiburan adalah dunia yang yang sangat keras menuntut para pelakunya untuk bersikap professional dan totalitas dalam pekerjaannya. Ini berarti dunia hiburan menuntut para pelakunya untuk hanya fokus pada karirnya dan sedapat mungkin menghalau segala halangan yang dapat menghambat jalannya karir, termasuk halangan yang bernama pendidikan.Disisi lain, dunia pendidikan adalah dunia yang tak kalah serius. Ini adalah dunia formal yang tidak boleh dianggap sebelah mata, apalagi dianggap sebagai sebuah penghalang bagi keberhasilan karir seseorang. Justru pendidikan adalah syarat utama untuk meniti karir professional, dalam bidang apapun, termasuk dalam bidang seni. Bagaimana seseorang dapat bersikap professional dan dapat berkembang dalam dunia kerjanya, jika dia tidak memiliki ilmu dan wawasan yang memadai yang didapat dari bangku sekolah ?
 
Bagaimanapun pendidikan sangat penting bagi pekerja seni. Saya tak mau bersilat lidah lagi, dengan argumentasi yang mengatakan bahwa keberhasilan seseorang dalam karirnya ( di dunia seni ) tidak ditentukan oleh setinggi apa ijazah yang dia miliki. Banyak aktris dan aktor yang meraih kesuksesan tanpa ijazah sekolah didalam genggamannya. Mungkin argumentasi itu ada benarnya, namun tidak sepenuhnya benar. Fakta lebih banyak menunjukkan bahwa tingkat pendidikan sangat berpengaruh pada kualitas karir para pekerja seni. Silahkan googling sendiri, setinggi apa pendidikan para pesohor Hollywood sekelas Kate Beckinsale, Natalie Portman, Matt Damon, Alicia Keys, Emma Watson, Tommy Lee Jones, dll. Ini tidak termasuk Jodie Foster, Sharon Stone, dan Brooke Shields yang memang tergolong memiliki IQ level Jenius, Atau komedian Inggris Rowan Atkinson si Mr Bean ,yang bergelar Master di bidang Teknik Elektro. 

Dunia Seni yang minim toleransi

Dunia seni adalah dunia yang bergerak di bidang jasa. Produk yang dihasilkan adalah jasa hiburan. Inilah yang membuat dunia seni menjelma menjadi dunia yang keras seolah tanpa mengenal toleransi pada para pekerjanya. Para kostumer akan bersikap “ like or dislike “ terhadap suguhan seni. Jika sebuah program hiburan mampu merebut minat pemirsa, maka program tersebut akan terus berlangsung. Namun, jika sebaliknya, sebuah program yang dirancang sebaik apapun, akan langsung dimatikan, tanpa ampun lagi. Inilah yang menyebabkan dunia hiburan seakan memaksa para pekerjanya untuk terus dan hanya memfokuskan perhatiannya pada bidang ini. Gangguan sekecil apapun terhadap konsentrasi kerja, hanya akan berakibat mandeknya kreatifitas.

Jika para pekerja seni itu adalah orang dewasa, tentu halangan pendidikan tidak akan terjadi. Namun masalah akan timbul manakala pekerja seni tersebut adalah anak-anak yang masih menjalani pendidikan formal di bangku sekolah. Seringkali anak-anak harus dihadapkan pada pilihan yang sulit, apakah akan tetap meniti karir ataukah memilih melanjutkan sekolah dengan resiko menghentikan karir yang sedang menanjak ?
Anak-anak adalah manusia kecil yang belum memiliki kemampuan memadai untuk menentukan pilihan hidupnya, Nalar dan kematangan psikologisnya belum memungkinkan untuk mengambil keputusan sepenting itu. Disinilah pentingnya peranan Orang Tua dan Guru untuk terus melakukan pendampingan terhadap anak-anak yang memang memiliki bakat istimewa semisal Fatin. Orang Tua dan Guru harus secara seksama mengikuti perkembangan pendidikan anak – anaknya, untuk kemudian mengambil semua langkah yang dirasa perlu ketika pendidikan anak sudah mulai terganggu.

Jangan sampai pendidikan anak dikorbankan

Sudah banyak korban berjatuhan di kalangan bintang remaja. Mereka ini, entah karena keinginan pribadi atau ambisi orang tua, harus merasakan kegagalan pendidikan, semisal tidak naik kelas, atau yang lebih ekstrem lagi adalah dikeluarkan oleh pihak sekolah akibat aktifitas yang sangat padat di dunia hiburan. Baiklah saya akan menyebutkan beberapa nama untuk lebih jelas lagi. Ada Nikita Willy yang terpaksa meninggalkan bangku sekolah semasa SMA, ada Citra Scholastika yang dikeluarkan dari sekolah dan memilih home schooling. Lalu beberapa tahun sebelumnya ada Shandy Aulia yang tidak naik kelas, Marshanda yang dibully ketika bersekolah di SD sampai menderita stress berat akibat dendam berkepanjangan, dll (untuk semua informasi,  cmiiw ). Akhirnya banyak para artis muda tersebut memilih Home Schooling sebagai jalan keluarnya. Sebuah langkah yang terdengar instant. Menganggap Home Schooling adalah institusi pendidikan main-main yang dapat diperlakukan dengan santai, hanya karena waktu belajar yang dapat dinegosiasikan. Sedih mendengar para artis muda yang nota bene adalah anak bangsa yang berbakat , harus mengalami kegagalan pendidikan. 

Sebagaimana aktifitas syuting film layar lebar atau sinetron, latihan- latihan dalam program X- Factor pun berjalan begitu keras dan menyita waktu serta tenaga. Saya khawatir, setelah menjalani sesi latihan yang begitu panjang dan melelahkan Fatin tidak memiliki cukup energi lagi untuk menekuni pendidikannya di bangku SMA. Pelajaran di kelas XI itu sedang banyak- banyaknya dan sedang sulit-sulitnya. Apakah dengan kesibukannya seperti sekarang, Fatin masih dapat tetap berkonsentrasi seperti dulu ? ini harus menjadi perhatian pihak penyelenggara dan para mentor program X- Factor, pihak orang tua Fatin, serta pihak sekolah. Jangan sampai anak yang memilik bakat seistimewa Fatin, mengalami kegagalan dalam pendidikannya. Karena Fatin adalah anak Indonesia yang memiliki peluang besar dalam berprestasi hingga tingkat dunia, mengharumkan nama bangsa, dan memiliki masa depan yang cemerlang.
Penyelenggara   X- Factor dan pihak sekolah harus membantu

Tak ada jalan lain. Harus ada kesepahaman antara penyelenggara program X-Factor dengan pihak SMAN 97 Jakarta tempat Fatin bersekolah. Fatin adalah anak berbakat yang harus dibantu. Dia harus tetap bersekolah, namun bakatnya di bidang tarik suara juga harus tetap berkembang. Saya yakin selalu ada jalan bagi setiap permasalahan. Selama masih ada kemauan dan itikad baik, tidak mungkin konflik pendidikan versus karir tidak dapat terselesaikan. 

Pendidikan harus dinomor satukan, tidak dapat ditawar lagi karena menyangkut masa depan.  Ini penting dicamkan oleh Fatin yang bercita - cita menjadi penyanyi profesional.  Sekali lagi dunia seni seringkali tak mengenal belas kasihan terhadap para pelakunya, sebesar apapun bakat yang mereka miliki. Banyak artis berbakat besar didepak begitu saja dari di dunia hiburan, hanya karena alasan tak masuk akal semisal menikah. Dan jika itu terjadi, Fatin tak perlu berkecil hati. Karena dengan pendidikan, dia memiliki bekal hidup yang tak kan lekang oleh waktu, yaitu ILMU yang diperoleh dari bangku sekolah. Namun begitu, jangan sampai  pendidikan justru mematikan potensi  dan kreatifitas  Fatin. Kedua bidang itu harus berjalan dengan selaras. Jika perlu tirulah langkah Gita Gutawa, Cinta Laura, dan Nicholas Saputra yang rela meninggalkan karirnya yang sedang berada di puncak, demi mengejar pendidikan setinggi-tingginya. Toh kualitas mereka di bidang seni sudah teruji, dan publik Indonesia sudah tahu, bagaimana prestasi mereka. 


Salam sayang,

anni