Menulis itu media katarsisku ...

Blog Pribadi Puji Nurani :

Sketsa sederhana tentang hidup yang sederhana ...

Menulis itu Media Katarsisku ....

Aku sangat suka .. sangat suka menulis .....
Aku tak memerlukan waktu khusus untuk menulis ..
Tak perlu menyepi untuk mendapatkan ilham ........
Atau menunggu dengan harap cemas pujian dari orang lain
agar tak jera menulis ......

Ketika aku ingin menulis, aku akan menulis tanpa henti...
tanpa merasa lelah ...
tanpa merasa lapar ...
Namun jika aku tidak menulis,
maka itu artinya aku memang sedang tidak mau menulis...

Kala kumenulis,
Aku alirkan pikiranku melalui ketukan keyboard
ke dalam layar dunia virtual aku berkontemplasi ....
Aku tumpahkan perasaanku ke dalamnya ....
yang sebagiannya adalah jiwaku sendiri ....

Lalu ... aku menemukan duniaku yang indah ...
duniaku yang lugu dan apa adanya ......
duniaku yang sederhana .........
yang aku tak perlu malu berada di dalamnya .....
Karena aku adalah kesederhanaan itu sendiri .....

Aku suka dengan cara Allah menciptakanku ...
alhamdulillah .......

Tuesday, July 16, 2013

Tak Kuhadiri Reuni, Sebab Aku Miskin



Booming Facebook, Booming Reuni

Ini semua gara-gara Facebook. Hebat betul media sosial yang satu ini mempengaruhi bahkan mengubah hidup manusia. Bayangkan saja, teman sekolah,  teman sepermainan waktu kecil, mantan kekasih, mantan teman satu kantor, sanak saudara yang sudah puluhan tahun tak berjumpa, yang kita pikir sudah hilang ditelan bumi, tiba-tiba dalam hitungan minggu atau bulan saja, sudah  ditemukan, bahkan sudah bisa kontak lagi. Ini benar-benar sebuah keajaiban dunia maya ! 

Booming Facebook, diikuti dengan maraknya penyelenggaraan acara reuni, sebab pertemuan di dunia maya dirasa tak cukup lagi memuaskan rasa rindu pada teman di masa lalu.  Beragam undangan reunipun berdatangan. Dari reuni SD hingga reuni kantor. Sayang saya tidak bisa menghadiri seluruh undangan reuni itu karena berbagai alasan.

Selalu ada perasaan yang sama manakala kita menghadiri acara reuni : perasaan bahagia ketika rindu terobati ,saat akhirnya dapat berjumpa lagi dengan sahabat tercinta yang telah hilang bertahun-tahun. Rasa haru biru yang menyelinapi hati saat menyalami Bapak dan Ibu Guru   yang sudah sepuh, juga suasana nostalgia yang begitu melenakan, yang membuat kita tak ingat umur, terlupa sejenak bahwa kita kini sudah menjadi orang tua. Obrolan dan canda tawa yang terjalin, sangat menghanyutkan kita ke masa muda, saat kita masih sekolah dulu. Ah asyiknya ..

Tak menghadiri reuni sebab miskin

Dalam sebuah kunjungan ke rumah famili saya di Bandung, saya terlibat obrolan serius dengan seorang kerabat dekat saya. Kerabat saya itu seorang laki-laki yang usianya lebih muda beberapa tahun dibawah usiaku. Pekerjaan sehari-harinya adalah berjualan bensin eceran di sebuah kios kecil di pinggir jalan raya di kota Bandung. Sebut saja nama kerabatku itu Fahmi.
Dengan pekerjaan seperti itu, tentu saja Fahmi tidak bisa membuat keluarganya (istri dan ketiga anaknya ) hidup nyaman berkecukupan secara materi. Itu terlihat dari rumah beserta isinya yang sangat sederhana dan terkesan seadanya. Dan disini, di atas sehelai karpet di ruang keluarga yang sempit, kami berbincang hangat tentang segala hal, maklum sudah lama tidak bertemu.

Kebetulan saya dan Fahmi satu sekolah saat di SD dulu. Kepada Fahmi saya menyampaikan rencana acara reuni akbar SD untuk semua angkatan yang akan dilaksanakan selepas Lebaran nanti. Mendengar kabar itu, Fahmi hanya terdiam dan tampak tercenung. Tadinya saya tidak terlalu memperhatikan perubahan air mukanya. Namun setelah mendengarkan kata-katanya, gantian sayalah yang tercenung cukup lama

” Aku tak akan menghadiri acara reuni dimanapun, sebab aku miskin “

Kata – kata yang keluar dari mulutnya terdengar begitu pelan dan sedih. Saya terhenyak mendengarnya, namun sudah dapat menduga kelanjutan kalimatnya.

“ Aku malu pada teman-teman yang sudah kaya dan sukses “

“ Apa hubungannya reuni dengan kaya- miskin ? ayolah datang ! yang penting silaturahminya. Lagi pula tak akan ada orang yang bertanya-tanya apakah kita ini kaya atau miskin ! “, bantahku. Bantahan yang aku tahu terdengar sangat klise dan sangat naïf jika tidak dapat dikatakan bodoh. 

Fahmi hanya tersenyum, menghela nafas, dan menggeleng. “ Aku nggak akan datang “. Pembicaraan tentang reunipun berhenti sampai disitu, tak kami lanjutkan lagi sampai kami pamit pulang.

Pertanyaan- pertanyaan yang membuat rikuh

Apa yang pertama kali ditanyakan di acara reuni, saat pertama kali berjumpa dengan teman-teman yang sudah lama sekali tidak bertemu ? apakah pertanyaan seputar : sekarang tinggal dimana ? sudah married ? anaknya sudah berapa ?. Mungkin terdengar seperti pertanyaan biasa saja, basa-basi  normal yang acap kali terlontar dalam setiap pergaulan. Namun bahkan pertanyaan sesederhana  itu menjadi sangat sensitif bagi sebagian orang yang (mohon maaf) belum mendapatkan jodohnya sementara usia semakin menua umpamanya, atau bagi pasangan yang belum mendapatkan keturunan padahal sudah bertahun-tahun menikah. Jadi jangankan pertanyaan soal kaya atau miskin ( yang mana pertanyaan seperti ini mustahil dilontarkan dalam keadaan serius), perkara sudah menikah dan memiliki keturunan saja sudah cukup membuat sebagian orang enggan menghadiri acara reuni, karena merasa malu dan minder.

Katakanlah pertanyaan -pertanyaan standar sudah terlampaui, lalu masuklah kita pada pertanyaan berikutnya, yakni soal pendidikan, soal pekerjaan, soal karir, dsb. Nah disinlah letak permasalahannya. Ketika pembicaraan sudah menyangkut masalah-masalah itu, akan ada teman-teman yang merasa sangat enggan untuk menjawab, karena merasa minder, sebab pendidikan dan pekerjaannya tak terlampau bergengsi, tak terlampau berkelas dan menghasilkan income yang besar untuk dibanggakan. Beberapa teman lagi memilih menghindar dengan tidak menghadiri reuni, daripada harus menghadapi pertanyaan-pertanyaan serupa itu.

Kadang Reuni Memang Menjadi Ajang Pamer
( Ukuran Kesuksesan Kaum Hedonis  : HARTA)

Saya tidak dalam kapasitas menilai acara-acara reuni yang sudah saya hadiri, karena saya sangat menghargai teman-teman yang sudah bersusah payah menyelenggarakan acara tersebut, dan sebab saya sangat menghormati teman-teman saya. Lagi pula  semua acara reuni yang saya hadiri, jauh dari kesan hedonik.

Namun di luar itu, kita melihat betapa banyak reuni yang digelar dengan sangat megah di hotel-hotel berbintang, dengan acara dan sajian makanan minuman serba mewah dan melimpah, lebih mirip sebuah pesta ketimbang reuni. Oh ya tentu saja mereka yang hadir adalah orang-orang yang sudah sukses, sudah kaya raya, atau sudah menjadi pejabat atau tokoh ternama di negeri ini. Terlihat dari penampilan mereka yang serba gemerlap , juga terlihat dari deretan mobil mewah yang terparkir di pelataran hotel, dengan petugas keamanan dan kepolisian berseliweran di sekitar area reuni.

Apakah mereka teman-teman kita ? ya tentu saja, mereka adalah teman-teman kita, teman sekolah kita. Bahkan mungkin saja mereka adalah teman sebangku kita, yang terbawa nasib menjadi orang yang sukses secara duniawi. Perkara mereka telah terlihat bak penduduk negeri langit, jangan lupa sudah berapa masa kita tak berjumpa dengan mereka ? jangan lupa juga, waktu yang telah lama terlampaui membuat manusia berubah. Tak hanya fisiknya, namun sifat dan karakternya pun bisa saja berganti.

Tak usah heran jika kemudian dalam kesempatan reuni, kita menemukan teman karib kita begitu membanggakan penampilannya yang serba wah, menceritakan dengan penuh semangat perawatan wajah yang dia jalani, tatkala teman-teman yang lain memuji kemulusan kulitnya. Menceritakan dengan sumringah perjalanan-perjalanan bisnisnya ke kota-kota besar dunia , seraya mempermainkan tali tas Hermesnya yang berharga ratusan juta. Jika sudah begini, tak ada gunanya kita membanggakan anak kita yang hafal 5 juz Al Quran, atau juara Olimpiade Fisika, atau rasa syukur karena anak kita diterima di perguruan tinggi negeri. Tak ada manfaatnya, karena sama sekali bukan itu ukuran kesuksesan kaum hedonik.

Lebih banyak teman-teman yang kurang beruntung

Lalu bagaimana dengan teman-teman yang belum sukses ? bagaimana dengan teman-teman yang bekerja mencari nafkah membanting tulang menjual bensin eceran dan tambal ban seperti Fahmi ? yang tinggal di rumah kontrakan terselip di pelosok gang sempit yang kumuh dan pengap ? yang hanya memiliki kendaraan sepeda motor cicilan ?. Apakah orang-orang seperti Fahmi akan memiliki cukup keberanian untuk hadir ke acara reuni semegah itu ? Fahmi tidak berani, dan saya rasa banyak orang seperti Fahmi yang juga tak cukup memiliki nyali untuk melakukannya.

Saya sangat memaklumi perasaan Fahmi. Sebab bagi orang yang tidak mampu, pembicaraan tentang kelimpahan materi di antara teman yang sukses hanya akan melukai perasannya. Dia mungkin tidak merasa iri dengan keberhasilan teman-temannya, tapi dia jelas merasa sedih. Betapa tidak merasa sedih, jika dilihatnya teman-teman sepermainannya hidup serba berkecukupan, sementara dia serba berkekurangan ?

Saya jadi berpikir, pantas saja acara- acara reuni yang saya datangi,  hanya dihadiri sebagian kecil saja dari jumlah keseluruhan yang tercatat dan seharusnya hadir. Kemanakah gerangan teman-teman yang lain ? mengapa tidak ada kabar beritanya ?. Tadinya saya berpikir, mereka mungkin sibuk, atau terkendala jarak yang jauh. Namun  melihat Fahmi, saya jadi berpendapat lain. Mungkin karena mereka yang tidak hadir itu memiliki alasan yang sama dengan Fahmi : merasa malu menghadiri reuni karena miskin.


 Seharusnya persahabatan tidak terhalang status sosial

Saya tetap merasa bersyukur, karena sebagian besar  teman-teman saya tidak  berkelakuan aneh, meski mereka telah sangat sukses dari segi materi dan status sosial di masyarakat. Hanya segelintir saja yang bersikap sangat ajaib, kalau tidak bisa dibilang norak dan berlebihan dalam memamerkan kekayaannya. Mereka ini sangat tidak empatif terhadap orang-orang yang kesusahan.

Bagi orang yang memiliki kecerdasan sosial yang tinggi, harta sama sekali bukan ukuran kesuksesan, dan sama sekali bukan syarat bagi terjalinnya sebuah pertemanan. Dari dulu sampai kapanpun, teman tetaplah teman, tak boleh ada yang menghalangi, apalagi hanya sekedar harta yang sifatnya sementara.

Saya hanya ingin mengatakan bahwa reuni tidak pernah salah. Yang salah adalah segelintir oknum hadirinnya. Hadirin yang berlagak jadi orang yang paling penting sedunia, yang bersikap mentang-mentang. Orang-orang seperti inilah yang membuat teman-teman yang kurang beruntung, menjadi enggan hadir, dan menyebabkan tujuan reuni tidak tercapai.

Sementara pendapat saya bagi teman-teman yang enggan menghadiri reuni karena faktor ketiadaan harta, percayalah bahwa sebagian terbesar dari kami adalah orang-orang yang memandang persahabatan adalah sesuatu yang sangat bernilai dalam hidup kami. Tak perlu malu menghadiri reuni hanya karena ketiadaan harta, karena kami tak peduli. Kami hanya rindu padamu, kami hanya ingin mendengar kabar, bahwa engkau tetap sehat dan penuh semangat dalam mengarungi kehidupan ini. Selebihnya, tak penting lagi.

Tentu saja kami mengerti perasaanmu, perasaan tidak setara dihadapan teman-teman yang lain. Tapi ingat, engkau tidak mengetahui apa yang telah kami lalui dalam puluhan tahun hidup kami. Dan jika engkau menganggap kami berhasil, kami merasa bersyukur. Namun engkau juga harus tahu, bahwa ukuran keberhasilan dan kebahagiaan  kami, bukan semata-mata sebanyak apa harta yang kami miliki. Kami hanya ingin berteman denganmu selamanya, itu saja  :)


Salam sayang,

Anni 

Sumber gambar :

kompasiana.com
freewebs.com

Saturday, July 13, 2013

Ayo Dik, Naikkan Celanamu !


Saya bukan  ahli fashion, bukan juga seorang fashionista. Saya  bukan pengamat mode apalagi korban mode.  Dalam keseharian saya berpakaian sederhana saja. Yang penting bersih, rapi, nyaman, dan enak dipandang. Saya rasa teman-temanpun banyak yang seperti itu. Meskipun begitu, bukan berarti kita tidak menaruh perhatian pada dunia mode, bukan ?
Bukan karena sekarang umat Islam sedang menjalankan ibadah puasa maka saya menulis ini.  Saya hanya ingin menyuarakan kegundahan hati saya, melihat maraknya penggunaan pakaian yang sudah sangat melenceng jauh dari salah satu fungsi sejati sebuah pakaian, yakni melindungi kesehatan.

Bagi kita yang memiliki anak-anak remaja, masalah mode pakaian yang digunakan anak-anak  menjadi masalah yang penting. Mau tidak mau kita harus tahu  trend mode yang berkembang saat ini, karena kebanyakan anak remaja kita senang mengikuti mode, meski dengan level yang berbeda-beda. Mengapa kita harus concern dengan trend mode, karena hal tersebut berkaitan dengan gaya hidup, dengan kepantasan, dengan moral, dan ini yang tak kalah penting : dengan kesehatan anak-anak kita. 

Hipster Jeans, si celana melorot

Ini tentang celana (panjang) berbahan jeans model Hipster. Sejak beberapa tahun yang lalu celana model ini sangat booming. Nyaris semua orang memakainya, tak peduli umur, tak peduli pantas ataukah tidak. Bukan hanya orang yang tinggal di kota besar yang memakai celana model melorot ini, anak-anak remaja penghuni perkampungan di kaki bukitpun, tak mau kalah memakainya.  .

Setelah bertahan kurang lebih 10 tahun sejak booming pertama kali di awal - awal tahun 2000 an (cmiiw) , celana jenis ini masih saja bertahan sampai hari ini. Tahun lalu saya sejenak merasa senang karena saat itu sempat muncul model celana jeans dengan garis pinggang yang letaknya memang di pinggang (seperti celana jeans model remaja tahun 80 - 90 an). Namun entah mengapa, model celana sepinggang ini cepat sekali menguap, tiba-tiba sudah out of date tanpa sempat mengalami booming. Dan anak-anak remajapun, tetap saja kembali memakai jeans hipster si celana melorot.



Yang menarik dari dari celana hpster adalah garis pinggangnya yang melorot sedemikian rupa sampai  jauh mencapai dasar pinggul,  hanya berjarak tiga jari saja diatas garis kemaluan. Benar-benar melorot dalam arti yang sesungguhnya. Tak hanya melorot, pipa kaki celana inipun sangat ketat dan menyempit ke bawah (model pensil). Ini artinya, anak-anak remaja yang memakai celana hipster ini, selain harus menggunakan trik khusus untuk memakainya (konon katanya, ada anak-anak yang harus membungkus kakinya dengan kantong plastik agar kakinya bisa lolos dengan licin ke dalam kaki celana. ck ck …), juga harus siap setiap saat membetulkan celananya yang sedikit-sedkiti melorot, dan buat anak perempuan sebisa mungkin dilarang kebelet pipis, mengingat sempitnya celana ini.

Celana yang kehilangan fungsinya

Ada banyak fungsi pakaian yang hilang dengan munculnya model Hipster ini. Namun yang ingin saya bicarakan disini hanyalah fungsi kepantasan dan fungsi kesehatan.

1. Fungsi kepantasan

Anak-anak remaja yang mengenakan celana jeans hipster (model pensil), seringkali terlihat berantakan dan canggung dalam bergerak, tidak lepas bebas sebagaimana seharusnya seorang remaja. Dan ini akan diperparah lagi, manakala gadis remaja yang mengenakan hipster ini masih juga memakai sepatu atau sandal bertumit tinggi. Semakin canggung saja gerakannya.

Saking melorotnya, sebentar-sebentar mereka harus menaikkan celananya ke posisi semula. Dan tentu kita semua paham, bahwa dalam etika pergaulan, gerakan menaikkan celana, apalagi  terlampau sering, adalah gerakan yang kurang elok, kurang pantas dilakukan di depan umum, terlebih jika terlampau sering diulang.

Masih tentang terlalu melorotnya celana hingga ke batas bawah  garis pinggul, kondisi ini akan menyebabkan (maaf) celana dalam yang seharusnya tersembunyi, menjadi menyembul dan terpapar dengan bebasnya ke luar. Kerap kali kita melihat anak-anak remaja perempuan  yang menggunakan celana model ini, harus merelakan (entah disengaja atau tidak), celana dalamnya terlihat, manakala dia harus membungkuk, berjongkok, atau duduk diatas boncengan sepeda motor.  Ini jelas pemandangan yang tidak pantas tampak di keramaian. Bapak-bapak saja, yang biasanya senang dengan pemandangan perempuan yang bening-bening, kalau harus melihat pemandangan seperti ini di tempat umum, kebanyakan akan merasa jengah juga, dan memilih memalingkan wajah pura-pura tidak melihat.

Masih mending kalau celana dalamnya bagus, masih baru, apalagi yang warnanya dibuat serasi dengan warna hipster jeans yang dikenakannya,  masih bisa dimaafkanlah. Meskipun begitu, anak-anak harus tahu, bahwa sesuai dengan namanya, celana dalam harus tetap berada di dalam. Tidak patut ditampakkan begitu saja.  Ini tidak ada hubungan dengan bulan puasa atau bukan, sekali lagi ini tentang kepantasan dan kepatutan.

Tapi nyatanya banyak sekali  remaja perempuan atau remaja laki-laki yang tidak “aware” dengan kepantasan itu, dan tidak peduli dengan area yang seharusnya menjadi privacy nya itu.
Sembarangan saja mereka mengenakan pakaian dalamnya. Celana dalam yang sudah usang dipakai juga. Terlihat bolong di sana-sini, renda yang sudah keriting, jahitan yang dedel, motif dan warna celana dalam  super norak yang warnanya sudah luntur, dsb, yang semuanya, jika nongol begitu saja dari tempat yang seharusnya, sangat menyakitkan mata orang yang memandangnya.

Yang paling parah itu, kalau si gadis merelakan tali G-Stringnya terlihat dengan bebas, saking melorotnya sang hipster. Aihh, bisa batal nih puasanya bapak-bapak.

2. Fungsi kesehatan

Sudah banyak ahli kesehatan yang. mengeluhkan bahaya celana jeans hipster yang terlampau ketat ini. Dr Lisa Stern, seorang pakar kesehatan dari USA mengungkapkan bahwa sindrom yang ditimbulkan celana ketat model hipster sudah menjadi semacam epidemi. Bagi perempuan yang sering mengenakan celana ini, resiko yang paling sering timbul adalah gangguan kesehatan terhadap alat reproduksi. Bisa berupa perubahan cairan vagina, iritasi kulit, hingga radang rongga panggul. Dalam beberapa kasus, sindrom celana ketat disertai dengan penyakit menular seksual seperti infeksi jamur, kram menstruasi, serta gangguan pencernaan.

Sementara Dr Octaviano Bessa, masih dari USA mengungkapkan, penggunaan celana yang terlalu ketat dapat menimbulkan motilitas usus. Hal ini menyebabkan seseorang merasa tidak nyaman dan sakit pada bagian perutnya dua atau tiga jam setelah makan. Namun jarang ada orang yang menyadari bahwa gangguan tersebut disebabkan pemakaian celana yang sempit . Celana ketat juga menyebabkan gangguan pada syaraf yang disebut gangguan meralgia paresthetica. Jika penggunaannya digabungkan dengan pemakaian sepatu model stiletto, maka akan menyebabkan tekanan pada syaraf fermonalis, yang menyebabkan rasa tertekan dan nyeri seperti terbakar di daerah kaki. (healthdetik.com)

Busana mencerminkan peradaban 

Saya tidak sedang membicarakan fungsi pakaian dari sudut pandang Islam agama saya. Karena dalam agama kami, tata cara berpakaian bagi laki-laki dan perempuan sudah jelas aturannya. Disini saya berbicara sebagai seorang pendidik dan seorang warga negara yang menaruh concern pada mode pakaian yang berkaitan dengan pertumbuhan dan kesehatan anak-anak (remaja) Indonesia. Lebih jauh lagi saya yakin, semua agama mengajarkan agar penganutnya menggunakan pakaian sesuai dengan kepantasan, kesopanan, dan tidak membahayakan kesehatan.

Anak-anak yang tumbuh di lingkungan keluarga yang kondusif, yang mendapatkan kasih sayang dan didikan memadai dari orang tuanya,  tentu sudah terbiasa menggunakan pakaian dengan sewajarnya. Artinya, meskipun mengikuti mode, pemilihan pakaian pun tetap memperhatikan faktor kenyamanan, perlindungan, keindahan, kepantasan, dan kesehatan.
Namun di luar sana, begitu banyak anak-anak remaja yang sangat asal-asalan dalam memilih pakaiannya. Asal modis, asal menuruti kata hatinya, tanpa mempedulikan apakah busana yang dikenakan cocok dengan dirinya, dan apakah baik bagi kesehatannya ataukah tidak. Mereka tidak menyadari bahaya yang sedang mengancam dirinya, karena tak ada orang dewasa yang memberitahu mereka.

Tentu  kita tidak dapat begitu saja melarang anak-anak memakai jeans hipster yang ketat, karena masalah mode adalah masalah selera. Tak bisa pula kita melarang para penggiat mode dan pebisnis mode untuk terus memproduksi jenis jeans model  ini, karena itu juga hak mereka.

Yang bisa kita lakukan adalah mendidik anak-anak remaja kita dengan sungguh-sungguh, memberi pemahaman yang baik dan benar tentang mode busana yang baik dan tidak baik, yang pantas dan yang tidak pantas bagi perkembangan fisik dan mental mereka.

Mungkin sudah saatnya meningkatkan frekuensi diskusi dan dialog dengan anak-anak remaja di lingkungan kita. Karena bagaimanapun sudah seharusnya setiap orang dewasa berperan sebagai guru dan teladan yang baik bagi anak-anak dan remaja di lingkungannya. Hal ini sangat penting, karena busana yang dikenakan suatu bangsa menunjukkan tingkat kemajuan peradaban dan akhlak suatu bangsa. Nah teman-teman, selamat mendidik yaa .. :)


Salam sayang,





sumber gambar : 

kompasiana.com
ourvoice.co.id

Thursday, July 11, 2013

Rindu Ibu, Rindu Masakan di Rumah



Setiap kali memasuki bulan suci Ramadhan, ibu-ibu yang keluarganya menjalankan ibadah puasa, tentu akan mulai disibukkan dengan merencanakan menu berbuka dan menu makan sahur. Ini adalah saat yang tepat bagi para ibu untuk memanjakan keluarga lewat lidah dan perut. Bagi ibu- ibu yang jago masak, serasa mendapatkan medan pembuktian. Sementara bagi ibu- ibu yang belum lihai memasak, sedapat mungkin berupaya mengolah makanan sendiri, meski hanya satu macam. Yang penting buatan sendiri, dan keluarga merasa senang. 

Masakan Ibu selalu nikmat. Benarkah ?

Entah dari mana asalnya, sangat sering kita mendengar ungkapan, “ seenak-enaknya makanan di restoran berbintang, atau di pesta-pesta pernikahan yang megah, atau bahkan dibandingkan dengan kuliner tersohor dari luar negeri sekalipun,   makanan negeri sendiri tetap lebih enak” . Dan pernyataan itu lebih dipersempit lagi dengan, ” makanan di kampung halaman tetap lebih sedap”, lalu masih dikerucutkan lagi menjadi, ” masakan ibu di rumah tetap paling nikmat “.

Benarkah memang begitu kenyataannya ? benarkah masakah ibu di rumah jauh lebih lezat dibanding masakan terlezat di dunia ? hmm … Mari kita telisik …
Seingat saya, saat kami kecil dulu, ibu selalu memasak sendiri makanan bagi kami sekeluarga.  Ibu bukan ahli masak apalagi jago masak sekelas chef di restoran ternama. Kemampuan masak Ibu saya biasa saja, cuma bisa masak makanan standar, semacam sayur bayam, sayur asem, sayur lodeh, soto, ayam goreng, ikan goreng,  nasi goreng, ya standar makanan yang biasa tersaji di meja makan orang Indonesia pada umumnya.

Tidak ada bumbu istimewa dalam masakan ibu saya. Racikan bumbu masakannya sama saja seperti racikan orang lain. Tapi rasanya itu lho, istimewa banget ! setidaknya menurut saya, kakak-adik saya, dan Ayah saya. Rasa masakan ibu saya itu gimana ya. Perpaduan antara sedep, khas, nikmat, enak, dan ini yang aneh : kangen. Bingung kan? mana ada rasa kangen dalam makanan ? .Tapi memang benar, menurut saya ada rasa kangen dalam makanan, ya masakan ibuku itu. Susah deh menjelaskannya. Pokoknya, kurang lebih  rasa yang selalu menimbulkan rasa ingin mencoba lagi dan lagi. Rasa yang selalu menimbulkan rasa ingin pulang.

Cara Memasak yang ” nggak neko- neko “

Kalau saya perhatikan cara ibu saya memasak, lebih tidak istimewa lagi. Ibu saya melakukan segalanya serba cepat, maklum anaknya banyak, jadi segala sesuatunya harus dijkerjakan secepat kilat. Misalnya nih, saat masak sayur Bayam. Bayamnya nggak dipetik setangkai demi setangkai seperti cara saya memasak, tetapi segenggam sekaligus, diseleksi mana yg tua dan berserat, dipetik dengan asal, dan selesai sudah 10 ikat bayam dipetik rapi. Lalu soal bumbu. Merajang, memblender, semuanya serba cepat. Begitu juga saat memberi garam dan gula, sama sekali tidak menggunakan takaran, semuanya serba feeling, pakai takaran perasaan saja. Tapi hasilnya, haduh, sayur bayam ternikmat dan terlezat sedunia ! perpaduan kelembutan daun bayam, manisnya jagung muda, segarnya kuah, tak ada duanya ! anak-anak yang pada nggak doyan makan sayur pun mendadak doyan makan sayur kalau dimasak sama ibu saya.

Tentu saja sekarang setelah menjadi ibu rumah tangga, saya mengcopy paste habis-habisan cara ibu saya memasak, tentu saja ditambah dengan modifikasi dan kreatifitas tertentu. menurut suami dan anak-anak saya, rasa masakan saya enak banget, meski menurut saya rasanya biasa-biasa saja, tak seenak masakan ibu saya.

Kadang saya berpikir, apakah pujian keluarga saya itu tulus, ataukah basa-basi semata ? namun setelah berulang kali melakukan uji coba, dan hasilnya sama saja, akhirnya saya berkesimpulan, masakan saya memang enak rasanya, setidaknya menurut keluarga saya. Uji coba ? ya saya melakukan uji coba. Begini caranya :

Setiap kali berkesempatan makan di luar dan mencicipi suatu menu tertentu di restoran, saya sengaja memesan satu menu yang sering disajikan di rumah sebagai pembanding, dan sebab saya ingin mendengar komentar mereka. Hasilnya, selalu ada komentar yang sama yang diucapkan suami dan anak-anak saya. Komentarnya adalah, ” Masih enakan ayam goreng buatan ibu “. Atau, ” sambal bikinan ibu lebih enak ” , atau, ” nasi gorengnya kok gini ya, enakan bikin di rumah “.

Nah itulah uji cobanya. Mendengar itu tentu saja saya merasa bersyukur dan tersanjung, karena keluargaku lebih menyukai rasa makanan yang saya masak sendiri.

Ini masalah suasana hati

Percayakah teman-teman, bahwa rasa masakan ibu di rumah jauh lebih nikmat daripada rasa masakan hasil racikan ahli masak di restoran ? ya tentu saja semua itu tergantung sejauh mana sang ibu memiliki kecakapan memasak, bukan ?  kalau si ibu nyeplok telor saja gosong, menggoreng ikan saja berbau amis, mana bisa rasa masakan ibu melebihi rasa masakan di restoran. Tapi sebaliknya, boleh jadi sang ibu hanya memiliki kemampuan masak biasa-biasa saja, namun menurut keluarganya rasanya lezat bukan main, koki saja kalah. Bagaimana ini ? sangat tidak rasional bukan ?

Sekarang saya tahu jawabannya. Ini bukan semata-mata masalah rasa, namun masalah hati, masalah kedekatan emosi, masalah suasana rumah yang penuh dengan kehangatan, yang mampu membangkitkan selera makan yang luar biasa, yang melebihi selera makan di hotel berbintang.

Suasana makan berkumpul bersama keluarga, sungguh tak tergantikan. Makanan apapun yang disajikan, sesederhana apapun menunya, selalu habis, licin tandas, hanya menyisakan rasa lega dan bahagia sang Ibu, karena hasil olahannya diterima dengan antusias oleh orang-orang tercintanya. Habis pupus semua rasa lelah, semua keringat yang deras mengucur selama berkutat di dapur.

Bukan hanya saya seorang rupanya yang selalu merindukan masakan ibunda tercinta. Merindukan sajiannya yang istimewa dalam kesederhanaan, yang luar biasa lezat dalam keterbatasan. Teman-teman saya pun, mengaku memiliki perasaan yang sama, selalu rindu masakan rumah, yang diracik dengan tangan-tangan yang digerakkan oleh rasa sayang kepada belahan jiwanya.

Dimana mendapatkan bumbu cinta ?

“Masakan bunda enak, karena pakai bumbu cinta”, begitu celoteh si kecil Nadine (4 tahun) putri sahabatku, mengomentari Nasi Goreng Keju masakan bundanya, yang  saya tahu persis, sang bunda yang masih terhitung pengantin baru itu, masih tersandung - sandung dalam soal memasak. Nah, ibu-ibu yang tidak lihai memasak saja mendapat pujian, apalagi ibu-ibu yang rajin memasak.   Sungguh lucu dan pandai sekali si kecil Nadine. Bumbu Cinta ya ? dimana gerangan kita bisa membeli bumbu cinta ? berapa harganya ? 

Tentu saja kita tidak dapat membeli bumbu cinta dengan mudah, karena memang bumbu cinta sangat sukar didapatkan dan dan sangat mahal harganya. Bumbu cinta letaknya jauuh sekali di dasar hati seorang bunda yang menyayangi keluarganya, dan mau bersusah payah mengolah makanan di dapur untuk disajikan kepada seluruh keluarga tercinta. Dan sangat mahal harganya, sebab hanya ibu spesial saja yang memilikinya. Dan Ibu spesial, sungguh tak dapat dinilai dengan harga seberapapun tingginya.

Mari teman-temanku yang cantik, para remaja putri calon ibu yang budiman, marilah kita memasak menu kegemaran keluarga. Tak apa sederhana, yang penting keluarga senang, perut yang lapar menjadi kenyang, dan hatipun menjadi riang. Memangnya siapa yang dapat menandingi kelezatan aroma dan cita rasa sup ayam hangat buatan ibu, di sore yang dingin berangin, dengan rintik gerimis di luar jendela, di saat berbuka puasa bersama keluarga ? 


Salam sayang, 

anni