Menulis itu media katarsisku ...

Blog Pribadi Puji Nurani :

Sketsa sederhana tentang hidup yang sederhana ...

Menulis itu Media Katarsisku ....

Aku sangat suka .. sangat suka menulis .....
Aku tak memerlukan waktu khusus untuk menulis ..
Tak perlu menyepi untuk mendapatkan ilham ........
Atau menunggu dengan harap cemas pujian dari orang lain
agar tak jera menulis ......

Ketika aku ingin menulis, aku akan menulis tanpa henti...
tanpa merasa lelah ...
tanpa merasa lapar ...
Namun jika aku tidak menulis,
maka itu artinya aku memang sedang tidak mau menulis...

Kala kumenulis,
Aku alirkan pikiranku melalui ketukan keyboard
ke dalam layar dunia virtual aku berkontemplasi ....
Aku tumpahkan perasaanku ke dalamnya ....
yang sebagiannya adalah jiwaku sendiri ....

Lalu ... aku menemukan duniaku yang indah ...
duniaku yang lugu dan apa adanya ......
duniaku yang sederhana .........
yang aku tak perlu malu berada di dalamnya .....
Karena aku adalah kesederhanaan itu sendiri .....

Aku suka dengan cara Allah menciptakanku ...
alhamdulillah .......

Tuesday, December 22, 2009

KALO NANYA YANG BENER ....

Pernah merasa kesal gara – gara nonton TV nggak ? bukan kesal karena materi acaranya yang tidak menarik, tapi karena gaya Presenter nya yang ngeselin ? aku pernah, sering malah.

Belakangan ini seluruh TV menayangkan program yang hampir sama dan sebangun, yakni program menelanjangi aib orang – orang penting yang sama sekali ( kemungkinan besar ) tidak kita kenal dalam kehidupan kita sehari – hari. Namun meski kita tidak kenal secara pribadi, bagiku mereka tetap orang penting di negeri kita. Bukankah –meski secuil – aku juga turut andil dalam mendudukkan mereka di meja birokrasi, misalnya dengan memberikan suaraku di hajatan PEMILU, yang menyebabkan tangan kekuasaan menempatkan mereka menjadi tokoh penting di Republik ini ?

Banyak sekali nama – nama berseliweran yang terkenal dan tidak terkenal, yang terpaksa kita simak sepak terjangnya itu dalam rekaman percakapan memalukan via telfon, yang ditayangkan oleh Mahkamah Konstitusi sebagai hasil sadapan tangan – tangan canggih nan iseng, entah legal atau illegal..

Lantas sontak, seluruh negeri menggunjingkan skandal tak bermoral itu, yang difasilitasi oleh beragam media massa, terutama oleh media layar kaca yang bernama televisi. Beberapa televisi swasta berlomba menayangkan issu itu sebagai program andalannya, yang ditayangkan di primetime, dengan harapan apalagi jika bukan mendongkrak rating pemirsa.

Sebetulnya kalau kita mengkaji dari sisi jurnalistik, hal tersebut boleh – boleh saja dilakukan, karena bagaimanapun salah satu fungsi media massa adalah mendapatkan, mengolah dan menyajikan informasi yang dapat mengobati dahaga masyarakat tentang perkembangan terkini. Seandainya saja semua berita memuakkan itu disajikan dengan cara yang proporsional dan santun, dengan mengedepankan etika jurnalistik, aku rasa tentu takkan ada penonton yang dibuat kesal dan menggerutu.

Sejak terkuaknya skandal itu, hampir setiap hari aku mendengar gerutuan dan komentar marah dari teman – teman ku, seusai menonton TV. Menanggapi kekesalan mereka, aku cuma tertawa saja, dan menjawab santai, ya sudah … jangan ditonton, gitu aja kok repot ! lha wong aku sendiri juga kesal, kok….

Namun dibalik itu aku tahu penyebab kekesalan mereka. Bukan skandal itu benar yang memarahkan mereka, namun lebih pada provokasi yang dilakukan para Presenter yang membawakan acara tersebut. Coba perhatikan gaya kebanyakan Presenter televisi kita. Ada presenter wanita yang kerjanya nanya melulu tanpa mendengarkan jawaban sang nara sumber. Belum selesai nara sumber menjawab, sang presenter yang berdandan menor bak artis sinetron itu sudah memotong jawaban yang dia pikir tidak penting, dan langsung memberondong dengan pertanyaan lain. Ketika sang nara sumber baru menjawab satu kalimat, eh itu presenter malah menyambung kalimat jawaban si nara sumber, dengan kalimatnya sendiri. Belum puas dia bertanya dan menjawab sendiri, dia muntahkan lagi peluru pertanyaan yang terkadang dilontarkan dengan nada tidak sopan. Begitu dan begitu terus sepanjang acara, siapa yang nggak kesal coba, menonton wawancara seperti itu ?

Kadang aku dibuat bingung, sebetulnya acara wawancara itu didesain seperti apa sih ? mengapa justru malah si Presenter yang mendominasi acaranya ? kita kan nggak butuh statement dari presenter yang nggak ada urusannya dengan kasus ini. Yang kita tunggu kan pernyataan, keterangan atau sanggahan dari nara sumber yang sebagian besar adalah orang – orang yang terlibat langsung dalam kasus yang sedang hangat tersebut. Akhirnya, kita seperti sedang menonton penghakiman Nara Sumber oleh presenter yang ingin menunjukkan tingkat intelektualitasnya, kecanggihannya dalam berkomunikasi, dan penguasaannya dalam public speaking. Namun alih - alih memukau, penampilan Presenter yang seperti ini malah jadi terkesan songong dan sok tahu, tanpa kita mendapatkan kata – kata kunci yang sangat kita tunggu dari nara sumber.
Sebagai pengecualian, akan berbeda kasusnya jika memang justru Presenternya diambil dari kalangan Pakar, yang karena kompetensinya, dia sangat pantas memberi warna dominan pada acara yang dibawakan.

Aku tidak tahu, apakah ini memang trend televisi kita sekarang ? yang penting ratingnya tinggi, namun kurang mengindahkan dampak psikologis bagi para pemirsanya dalam acara – acara yang ditayangkan. Apakah pihak perusahaan memang merestui gaya para presenter yang arogan, merasa pinter sendiri, bebas memprovokasi nara sumber dengan pertanyaan – pertanyaan yang tidak tuntas dijawab lantas dia simpulkan sendiri semaunya ? sikap mereka para presenter ini kadang sangat dingin dan tak berperasaan terhadap para nara sumber, terlepas dari status para nara sumber itu, apakah dia adalah seorang pakar, pengamat, korban atau si pendosa. Padahal para nara sumber itu adalah pihak yang mereka undang ke studio dan harus diperlakukan sebagai tamu yang terhormat, bukan ?

Kalau memang masalahnya terletak di durasi waktu yang sangat terbatas, semestinya dilakukan pembatasan dalam jumlah pertanyaan. Hanya yang esensial saja yang diajukan, hal – hal yang di luar itu seharusnya tidak perlu ditanyakan. Gak penting .
Itu kalau kita hanya fokus pada acara buka – bukaan rekaman itu. Di acara – acara lainnya pun aku sering merasa kesal karena ulah para presenter atau reporternya. Dari mulai yang ngomongnya belepotan nggak jelas artikulasinya, intonasinya yang monoton atau sangat gaul dan terkesan manja, terlalu banyak jeda karena kurang tangkas berfikir, dll.Tapi itu masih bisa dimaklumi, terutama bagi para reporter pemula. Namun biar pemula aku yakin mereka tentu sudah mendapatkan pelatihan jurnalistik atau mungkin justru mereka adalah lulusan FIKOM jurusan Jurnalistik. Jadi seharusnya mereka ini sudah tahu teknik wawancara dong ? bagaimana menggali jawaban dari orang yang kita wawancarai, trik menggiring ke jawaban yang esensial, dsb.

Sering aku jadi sebal sendiri karena ”kebodohan” sang wartawan dalam melontarkan pertanyaan. Supaya jelas, aku kasih ilustrasi ya. Dalam suatu kesempatan, seorang reporter bertanya kepada seorang ibu yang seluruh keluarganya tewas dan seluruh hartanya amblas dalam musibah gempa di Padang, dengan pertanyaan begini, ” Bagaimana perasaan ibu ? ”.
Coba bayangkan, seorang ibu yang berfikir lebih baik mati saja, ditanya soal perasaan. Ya jelas saja si ibu itu menangis menggerung –gerung di depan kamera, tanpa ada jawaban sepatahpun. Nah, reporter yang kurang cerdas, bukan ?

Ada lagi reporter yang sampai speechless gara – gara kurang lihay menggali jawaban dari serombongan anak-anak TK yang sedang mengikuti acara gerakan cuci tangan. Semua pertanyaan yang dilontarkan, dijawab oleh bocah – bocah cilik itu dengan ”YA” dan ”TIDAK”. Bukan karena anak-anak Indonesia tak pandai mengekspresikan pikirannya, anak-anak sekarang pintar – pintar lho. Yang salah reporternya, yang melontarkan pertanyaan yang memang cukup dijawab dengan YA dan TIDAK.
Coba, kalau anda adalah anak yang mengikuti acara cuci tangan itu, dan ditanya sama seorang reporter dengan pertanyaan ” adik sedang cuci tangan ya ? ”
” Adik sama bu guru ya, ke sini nya ? ” ,
” cuci tangan itu sehat ya, Dik ? ”
Nah, untuk pertanyaan yang seperti itu maka apa jawaban anda ? YA atau TIDAK, kan ?

Atau di kali lain, seorang reporter laki – laki yang masih muda , melontarkan pertanyaan super bodoh kepada seorang penduduk yang gardu listrik di kampungnya meledak sehingga menimbulkan kebakaran hebat. Tebak, bagaimana bunyi pertanyaannya ?
begini : ” Pak, bagaimana bunyi ledakkannya ? ”
Ooohh ...ampun Tuhan, jawaban apa yang diharapkan sang reporter dari si bapak yang pucat pasi itu ? dhuaarrr ?! bledaaagg ?! bledhuugg ?! mak klompraangng ?! atau apa ? pertanyaan macam apa itu ?

Dalam proses komunikasi, bertanya dan menjawab sama pentingnya, agar tidak terjadi miss komunikasi. Banyak kesalah pahaman timbul gara – gara salah bertanya atau salah menjawab. Namun, menjawab pertanyaan adalah pilihan dan hak sepenuhnya pihak yang ditanya, apakah dia akan menjawab atau tidak menjawab. Justru yang penting adalah pihak yang bertanya. Karena bagaimanapun, komunikasi bermula dari sebuah pertanyaan.

Bagaimana kita nggak berantem sama anak a be ge kita, kalau kita bertanya pada mereka dengan cara lugas dan menuduh, semisal ” kamu pacaran, ya ?! ” atau ” kamu merokok, ya ?! ”
Ya terang saja, anak – anak remaja memilih kabur dari rumah ketimbang menghadapi pertanyaan ortu yang nggak cerdas seperti ini.

Kembali ke tayangan televisi yang bikin emosi gara – gara presenternya yang serasa ngetop sendiri. Aku punya saran, lebih baik pindahkan saluran, dan cari acara lain yang lebih menyegarkan pikiran, lalu kita browsing saja di internet, atau baca koran, jika ingin mengikuti perkembangan beritanya lebih jauh lagi. Lebih tenang dan privat .

Jadi, jangan marah sahabatku ....
Sudah terlalu banyak kemarahan di negeri ini ....

salam sayang,

anni :)

WASPADAI CELANAMU ..... !!


Saya bukan  ahli fashion, bukan juga seorang fashionista. Saya  bukan pengamat mode apalagi korban mode. Sehari - hari  saya berpakaian sederhana saja. Yang penting bersih, rapi, nyaman, dan enak dipandang. Saya rasa teman-temanpun banyak yang seperti itu. Meskipun begitu, bukan berarti kita tidak menaruh perhatian pada dunia mode, bukan ?

Bukan karena sekarang umat Islam sedang menjalankan ibadah puasa maka saya menulis ini.  Saya hanya ingin menyuarakan kegundahan hati saya, melihat maraknya penggunaan pakaian yang sudah sangat melenceng jauh dari salah satu fungsi sejati sebuah pakaian, yakni melindungi kesehatan.
Bagi kita yang memiliki anak-anak remaja, masalah mode pakaian yang digunakan anak-anak  menjadi masalah yang penting. Mau tidak mau kita harus tahu  trend mode yang berkembang saat ini, karena kebanyakan anak remaja kita senang mengikuti mode, meski dengan level yang berbeda-beda. Mengapa kita harus concern dengan trend mode, karena hal tersebut berkaitan dengan gaya hidup, dengan kepantasan, dengan moral, dan ini yang tak kalah penting : dengan kesehatan anak-anak kita.  .

Hipster Jeans, si celana melorot

Ini tentang celana (panjang) berbahan jeans model Hipster. Sejak beberapa tahun yang lalu celana model ini  sangat booming. Nyaris semua orang memakainya, tak peduli umur, tak peduli pantas ataukah tidak. Bukan hanya orang yang tinggal di kota besar yang memakai celana model melorot ini, anak-anak remaja penghuni  perkampungan di kaki bukitpun, tak mau kalah memakainya. 

Setelah bertahan kurang lebih 10 tahun sejak booming pertama kali di awal - awal tahun 2000 an (cmiiw) , celana jenis ini masih saja bertahan sampai hari ini. Tahun lalu saya sejenak merasa senang karena saat itu sempat muncul model celana jeans dengan garis pinggang yang letaknya memang di pinggang (seperti celana jeans model remaja tahun 80 - 90 an). Namun entah mengapa, model celana sepinggang ini cepat sekali menguap, tiba-tiba sudah out of date tanpa sempat mengalami booming. Dan anak-anak remajapun, tetap saja kembali memakai jeans hipster si celana melorot.

1373750433138493121


Yang menarik dari dari celana hpster adalah garis pinggangnya yang melorot sedemikian rupa sampai  jauh mencapai dasar pinggul,  hanya berjarak tiga jari saja diatas garis kemaluan. Benar-benar melorot dalam arti yang sesungguhnya. Tak hanya melorot, pipa kaki celana inipun sangat ketat dan menyempit ke bawah (model pensil). Ini artinya, anak-anak remaja yang memakai celana hipster ini, selain harus menggunakan trik khusus untuk memakainya (konon katanya, ada anak-anak yang harus membungkus kakinya dengan kantong plastik agar kakinya bisa lolos dengan licin ke dalam kaki celana. ck ck …), juga harus siap setiap saat membetulkan celananya yang sedikit-sedkiti melorot, dan buat anak perempuan sebisa mungkin dilarang kebelet pipis, mengingat sempitnya celana ini.

Celana yang kehilangan fungsinya

Ada banyak fungsi pakaian yang hilang dengan munculnya model Hipster ini. Namun yang ingin saya bicarakan disini hanyalah fungsi kepantasan dan fungsi kesehatan.

1. Fungsi kepantasan

Anak-anak remaja yang mengenakan celana jeans hipster (model pensil), seringkali terlihat berantakan dan canggung dalam bergerak, tidak lepas bebas sebagaimana seharusnya seorang remaja. Dan ini akan diperparah lagi, manakala gadis remaja yang mengenakan hipster ini masih juga memakai sepatu atau sandal bertumit tinggi. Semakin canggung saja geraknnya.

Saking melorotnya, sebentar-sebentar mereka harus menaikkan celananya ke posisi semula. Dan tentu kita semua paham, bahwa dalam etika pergaulan, gerakan menaikkan celana, apalagi  terlampau sering, adalah gerakan yang kurang elok, kurang pantas dilakukan di depan umum, terlebih   jika berulangkali dilakukan.
Masih tentang terlalu melorotnya celana hingga ke batas bawah  garis pinggul, kondisi ini akan menyebabkan (maaf) celana dalam yang seharusnya tersembunyi, menjadi menyembul dan terpapar dengan bebasnya ke luar.

Kerap kali kita melihat anak-anak remaja perempuan  yang menggunakan celana model ini, harus merelakan (entah disengaja atau tidak), celana dalamnya terlihat, manakala dia harus membungkuk, berjongkok, atau duduk diatas boncengan sepeda motor.  Ini jelas pemandangan yang tidak pantas tampak di keramaian.
Bapak-bapak saja, yang biasanya senang dengan pemandangan perempuan yang bening-bening, kalau harus melihat pemandangan seperti ini di tempat umum, kebanyakan akan merasa jengah juga, dan memilih memalingkan wajah pura-pura tidak melihat.

Masih mending kalau celana dalamnya bagus, masih baru, apalagi yang warnanya dibuat serasi dengan warna hipster jeans yang dikenakannya,  masih bisa dimaafkanlah. Meskipun begitu, anak-anak harus tahu, bahwa sesuai dengan namanya, celana dalam harus tetap berada di dalam. Tidak patut ditampakkan begitu saja.  Ini tidak ada hubungan dengan bulan puasa atau bukan, sekali lagi ini tentang kepantasan dan kepatutan.
Tapi nyatanya banyak sekali  remaja perempuan atau remaja laki-laki yang tidak “aware” dengan kepantasan itu, dan tidak peduli dengan area yang seharusnya menjadi privacy nya itu.

Sembarangan saja mereka mengenakan pakaian dalamnya. Celana dalam yang sudah usang dipakai juga. Terlihat bolong di sana-sini, renda yang sudah keriting, jahitan yang dedel, motif dan warna celana dalam  super norak yang warnanya sudah luntur, dsb, yang semuanya, jika nongol begitu saja dari tempat yang seharusnya, sangat menyakitkan mata orang yang memandangnya.
Yang paling parah itu, kalau si gadis merelakan tali G-Stringnya terlihat dengan bebas, saking melorotnya sang hipster. Aihh, bisa batal nih puasanya bapak-bapak.

2. Fungsi kesehatan

Sudah banyak ahli kesehatan yang. mengeluhkan bahaya celana jeans hipster yang terlampau ketat ini.
Dr Lisa Stern, seorang pakar kesehatan dari USA mengungkapkan bahwa sindrom yang ditimbulkan celana ketat model hipster sudah menjadi semacam epidemi. Bagi perempuan yang sering mengenakan celana ini, resiko yang paling sering timbul adalah gangguan kesehatan terhadap alat reproduksi. Bisa berupa perubahan cairan vagina, iritasi kulit, hingga radang rongga panggul. Dalam beberapa kasus, sindrom celana ketat disertai dengan penyakit menular seksual seperti infeksi jamur, kram menstruasi, serta gangguan pencernaan.
Sementara Dr Octaviano Bessa, masih dari USA mengungkapkan, penggunaan celana yang terlalu ketat dapat menimbulkan motilitas usus. Hal ini menyebabkan seseorang merasa tidak nyaman dan sakit pada bagian perutnya dua atau tiga jam setelah makan. Namun jarang ada orang yang menyadari bahwa gangguan tersebut disebabkan pemakaian celana yang sempit . Celana ketat juga menyebabkan gangguan pada syaraf yang disebut gangguan meralgia paresthetica. Jika penggunaannya digabungkan dengan pemakaian sepatu model stiletto, maka akan menyebabkan tekanan pada syaraf fermonalis, yang menyebabkan rasa tertekan dan nyeri seperti terbakar di daerah kaki. (healthdetik.com)

Busana mencerminkan peradaban 

Saya tidak sedang membicarakan fungsi pakaian dari sudut pandang Islam agama saya. Karena dalam agama kami, tata cara berpakaian bagi laki-laki dan perempuan sudah jelas aturannya. Disini saya berbicara sebagai seorang pendidik dan seorang warga negara yang menaruh concern pada mode pakaian yang berkaitan dengan pertumbuhan dan kesehatan anak-anak (remaja) Indonesia. Lebih jauh lagi saya yakin, semua agama mengajarkan agar penganutnya menggunakan pakaian sesuai dengan kepantasan, kesopanan, dan tidak membahayakan kesehatan.

Anak-anak yang tumbuh di lingkungan keluarga yang kondusif, yang mendapatkan kasih sayang dan didikan memadai dari orang tuanya,  tentu sudah terbiasa menggunakan pakaian dengan sewajarnya. Artinya, meskipun mengikuti mode, pemilihan pakaian pun tetap memperhatikan faktor kenyamanan, perlindungan, keindahan, kepantasan, dan kesehatan.

Namun di luar sana, begitu banyak anak-anak remaja yang sangat asal-asalan dalam memilih pakaiannya.  Asal modis, asal menuruti kata hatinya, tanpa mempedulikan apakah busana yang dikenakan cocok dengan dirinya, dan apakah baik bagi kesehatannya ataukah tidak. Mereka tidak menyadari bahaya yang sedang mengancam dirinya, karena tak ada orang dewasa yang memberitahu mereka.

Tentu  kita tidak dapat begitu saja melarang anak-anak memakai jeans hipster yang ketat, karena masalah mode adalah masalah selera. Tak bisa pula kita melarang para penggiat mode dan pebisnis mode untuk terus memproduksi jenis jeans model  ini, karena itu juga hak mereka.
Yang bisa kita lakukan adalah mendidik anak-anak remaja kita dengan sungguh-sungguh, memberi pemahaman yang baik dan benar tentang mode busana yang baik dan tidak baik, yang pantas dan yang tidak pantas bagi perkembangan fisik dan mental mereka.

Mungkin sudah saatnya meningkatkan frekuensi diskusi dan dialog dengan anak-anak remaja di lingkungan kita. Karena bagaimanapun sudah seharusnya setiap orang dewasa berperan sebagai guru dan teladan yang baik bagi anak-anak dan remaja di lingkungannya. Hal ini sangat penting, karena busana yang dikenakan suatu bangsa menunjukkan tingkat kemajuan peradaban dan akhlak suatu bangsa.
Nah teman-teman, selamat mendidik yaa .. :)


Salam sayang,

Anni


http://lifestyle.kompasiana.com/urban/2013/07/13/ayo-dik-naikkan-celanamu--576500.html