Menulis itu media katarsisku ...

Blog Pribadi Puji Nurani :

Sketsa sederhana tentang hidup yang sederhana ...

Menulis itu Media Katarsisku ....

Aku sangat suka .. sangat suka menulis .....
Aku tak memerlukan waktu khusus untuk menulis ..
Tak perlu menyepi untuk mendapatkan ilham ........
Atau menunggu dengan harap cemas pujian dari orang lain
agar tak jera menulis ......

Ketika aku ingin menulis, aku akan menulis tanpa henti...
tanpa merasa lelah ...
tanpa merasa lapar ...
Namun jika aku tidak menulis,
maka itu artinya aku memang sedang tidak mau menulis...

Kala kumenulis,
Aku alirkan pikiranku melalui ketukan keyboard
ke dalam layar dunia virtual aku berkontemplasi ....
Aku tumpahkan perasaanku ke dalamnya ....
yang sebagiannya adalah jiwaku sendiri ....

Lalu ... aku menemukan duniaku yang indah ...
duniaku yang lugu dan apa adanya ......
duniaku yang sederhana .........
yang aku tak perlu malu berada di dalamnya .....
Karena aku adalah kesederhanaan itu sendiri .....

Aku suka dengan cara Allah menciptakanku ...
alhamdulillah .......

Tuesday, June 7, 2011

I SEE YOUR TRUE COLORS SHINING THROUGH

" Catatan tentang Perempuan dan Kecantikannya "

Teman-teman, simak deh satu bait lagu ini : …. “And I'll see your true colors shining through , I see your true colors and that's why I love you ,so don't be afraid to let them show Your true colors, true colors are beautiful, like a rainbow …. “

Ada yang masih  ingat lagu itu ? ya, tentu saja itu adalah lagu yang berjudul “ True Colors “, yang popular di era 80-an. Entah berapa kali sudah lagu yang ditulis oleh Billy Steinberg dan Tom Kelly ini dirilis ulang dan dibawakan dengan versi yang berbeda-beda, namun versi yang menarik menurut saya tetap versi aslinya yang dibawakan oleh penyanyi senior Cindy Lauper, meski versi Phil Collins juga sangat memikat. Ada yang menarik menurut saya, mengenai lagu ini. Tidak sekedar diciptakan dengan nada-nada yang impresif, berkesan klasik karena cocok dinyanyikan hingga jaman sekarang, lagu ini  juga disajikan dengan lirik yang sederhana dan sarat makna. Menurut penulisnya, lagu True Colors ini berkisah tentang Mama nya yang entah mengapa tidak berbahagia dalam kehidupan rumah tangganya, dan selalu berupaya menutupi kesedihannya itu dengan make up yang tebal. Mama nya ini merasa tertekan dengan lingkungan pergaulan yang berat, serba hedonis yang kurang menghargai keunikan individu.

Lagu ini tercatat pernah menjadi  theme song dalam beberapa event bertema kemanusiaan dalam skala internasional. Sebut saja yang terbesar adalah event kampanye Hak Asasi Manusia oleh PBB tahun 2007. Liriknya memang bersemangat anti diskriminasi : diskriminasi gender, ras, budaya, bahkan diskriminasi orientasi seksual. Tak mengherankan jika lagu ini pada akhirnya dapat menjadi multitafsir, diinterpretasikan dengan sudut pandang yang beragam, tergantung komunitas atau kaum apa yang ingin memaknainya.

Ketika saya membuka-buka situs Youtube, saya sangat tertarik dengan sebuah iklan sabun kecantikan yang cukup terkenal, menggunakan lagu ini sebagai theme song atau jingle iklannya. Visualisasi iklan yang berdurasi tak lebih dari dua menit itupun sangat menyentuh hati. Menggambarkan beberapa gadis dari beragam ras dan warna kulit, yang selalu merasa resah, gelisah dan tak berbahagia dengan penampilannya. Anak-anak gadis ini seolah terobsesi dengan penampilan gadis-gadis impian yang mereka lihat saban hari berseliweran di televisi : Kurus, tinggi, putih, rambut lurus, pirang atau hitam mengkilat, mata biru, langkah melayang , dan senyum yang menggoda. Betapa lekatnya gambaran itu di benak jutaan gadis muda di seluruh dunia. Jika penampilan mereka tak seperti itu, atau kurang satu saja dari syarat    “ gadis cantik dan sempurna ” seperti yang selalu dicitrakan oleh produk iklan kecantikan, maka mereka merasa langit di atas kepala mereka akan runtuh dan hidup akan segera berakhir.


Seolah tak ada tempat di dunia ini bagi gadis yang bertubuh tak terlampau tinggi, berbodi montok, berambut ikal keriting, berkulit hitam atau cokelat, atau berotot, dan bergigi gingsul. Seolah tak bakal ada pemuda yang melirik mereka yang berwajah bulat alih alih oval, berhidung datar alih-alih bangir, bermata sipit tak secemerlang sepasang mata milik  Kajol Devgan, berdahi sempit nggak nonong  seksi seperti jidatnya Angelina Jolie, atau tak berwajah sejelita  Emma Watson sang pemeran  Hermione Granger. Sungguh  sayang sekali ..

Gadis-gadis muda di seluruh dunia dengan mudah mempercayai begitu saja segala standar kecantikan yang dijejal paksakan oleh berbagai merek kosmetik, mulai dari produk-produk perawatan kulit, sabun, shampoo, aneka make up wajah, bahkan produk pelangsing, penurun selera makan, parfum,dan masih banyak lagi. Semua iklan itu menampilkan gadis-gadis muda dengan penampilan nyaris seragam, kurus tinggi langsing berwajah molek elok bak boneka Barbie.

Padahal dalam kenyataannya, berapa banyak gadis yang bernampilan serba cling seperti itu ? sebut nama daerah atau nama negara apapun yang ada di dunia ini, lebih banyak perempuan yang diciptakan dengan tubuh, rambut dan wajah yang biasa-biasa saja, yang kecantikannya sedang-sedang saja, bahkan lebih banyak lagi yang dikaruniai bentuk fisik unik (untuk tidak menyebut buruk rupa), belum lagi jika harus menyebut berapa juta di dunia ini perempuan yang dikarunia keterbatasan fisik, yang membuat mereka harus terus berada di kursi roda, dan semacamnya ? apakah dengan segala keadaan ini lantas perempuan-perempuan itu tidak berhak menyandang gelar “cantik”, “menarik”, atau “menawan” ??

Banyak sudah artikel yang ditulis oleh para pakar kecantikan , yang menyebutkan bahwa standar kecantikan di dunia ini sesungguhnya tidak ada yang baku, betapa kecantikan yang sejati justru tak nampak dari  luar, dari kulit yang putih mulus, rambut lurus yang berkibar, atau bodi yang seperti manekin yang dipajang di mall-mall.
Semua pendapat para ahli itu memang banyak benarnya. Tak dapat dipungkiri, kecantikan yang mudah terlihat adalah kecantikan lahiriyah, dan perempuan yang dikarunia keindahan ragawi ini sangat patut bersyukur.
Namun sama sekali tak beralasan jika seorang perempuan yang berpenampilan biasa-biasa saja lantas merasa berkecil hati, karena merasa kehilangan kesempatan untuk tampil menawan.

Saya harus menyebut beberapa nama sebagai ilustrasi, bahwa sangat banyak perempuan yang sanggup menarik perhatian dunia, dikagumi banyak pria, bahkan diidolakan pula oleh kaum wanita, bukan karena kecantikan fisiknya, namun karena kekuatan kecantikan yang memancar dari dalam pribadinya. Sebagai contoh adalah Michelle Obama. Tentu semua orang sepakat bahwa kecantikan luar biasa dari first Lady Amerika Serikat ini bukan terletak pada kecantikan wajah atau keindahan rambutnya, namun pada kecerdasan otaknya, pada kesantunan sikapnya, keanggunan tingkah lakunya, pada senyumannya yang tulus, ketegasan gaya bicaranya, bahkan pada peranannya sebagai ibu dan istri yang sukses. Melihat sosok Michelle Obama, orang langsung terpikat, tertegun, bahkan menteri Tifatul Sembiring pun tak dapat menahan diri untuk tidak berjabat tangan langsung dengannya. Semua orang seolah melupakan wajahnya yang jujur tidak bisa dibilang cantik, rambut yang kaku, dan badan yang tinggi besar. Semua kekurangan jasmaniah itu hilang tertelan pesona inner beauty yang memancar, bersinar begitu mengagumkan, dan membuat semua kekurangan fisik menjadi tak ada artinya lagi.

Itu baru Michelle seorang, masih banyak lagi perempuan atau gadis seperti ini yang menawan hati dunia, justru karena pesona kecantikan yang memancar dari dalam, sebutlah misalnya  Hillary Clinton, Aung San Syu Kyi, mendiang Mother Theresa, Oprah Winfrey, mendiang Benazir Bhutto, Corry Aquino, Margaret Tatcher, atau Sri Mulyani Indrawati yang kini menjabat sebgai direktur World Bank, dan masih banyak nama lainnya. Tapi kelihatannya saya harus meminta maaf, jika anda tidak sependapat dengan saya tentang nama-nama itu, karena penilaian orang memang berbeda-beda.
Namun satu hal yang saya rasa semua orang sepakat, bahwa seseorang bisa tampil dengan kepribadian yang begitu mempesona, mengatasi pesona fisiknya.


Betapa pentingnya orang tua dan para pendidik menanamkan pengertian kepada anak-anak gadisnya, bahwa keindahan fisik bukanlah harga mati bagi sebuah keberhasilan dan kebahagiaan. Yang terpenting adalah bagaimana seseorang menerima dirinya sebagaimana apa adanya, berdamai dengan kekurangan-kekurangan  itu, lalu menutup kekurangan fisik itu dengan akhlak yang mulia, budi pekerti yang baik, dengan senyum yang ramah, dan dengan tegur sapa yang santun.

Kecantikan perempuan sungguh tak layak distandarisasikan, apa lagi ditentukan oleh para pengiklan produk kosmetik yang jelas-jelas hanya menginginkan keuntungan dari impian perempuan. Standar kecantikan sangat bergantung pada selera manusia, pada nilai-nilai yang dianut oleh suatu bangsa, pada pemahaman suatu bangsa terhadap kecantikan itu sendiri, pada kearifan lokal suatu masyarakat, dan sebagainya. Percayalah, gadis-gadis yang ramping menawan yang berlenggok memperagakan produk Givenchy, tak akan mendapat tempat di hati pria bangsa Maori yang memandang bahwa kecantikan perempuan terletak pada kegendutan tubuhnya. Bibir tipis menggoda milik para bintang film, tak kan cukup memenuhi selera laki-laki Nigeria yang mensyaratkan bibir tebal menyonyor sedikit maju bagi kecantikan perempuan. Dan pria –pria di seantero Amerika Serikat dan Eropa, justru tergila-gila pada perempuan yang berwarna kulit coklat mengilap, alih-alih putih pucat seperti lobak ! Jadi, mengapa mesti tak percaya diri ? Allah tak pernah salah dalam menciptakan perempuan !

Salam sayang,
anni - Sukabumi

PAMAN TAK LAGI TINGGAL DI DESA

" Kemarin Paman datang. Pamanku dari desa. Dibawakannya rambutan pisang dan sayur mayur segala rupa. Bercerita Paman tentang ternaknya, berkembang biak semua... ". Itulah sebait lagu "Paman Datang" ciptaan Pak AT Mahmud, sebuah lagu humanis yang masih kuingat hingga kini. Lagu yang diajarkan ibuku dulu sekali ketika aku masih kecil. Lagu yang bercerita tentang kegembiraan karena datangnya sanak keluarga dari desa, seorang petani yang sangat rajin dan sayang pada keponakannya di kota.

Kini aku bisa saja mengajarkan lagu itu kepada anak-anakku, namun aku harus siap menjawab segala pertanyaan anakku, karena isi lagu itu tak sesuai dengan fakta dan realita yang mereka lihat.Paman tak lagi tinggal di desa. Jika datang berkunjung, bukan buah-buahan atau hasil kebun yang dibawa, bukan ternak yang berkembang biak yang diceritakannya, namun beberapa keping CD game, beberapa komik Jepang, dan kisah tentang aktifitasnya sebagai pengurus BEM di kampusnya nya.

Sejak beberapa dekade lalu penduduk desa berduyun-duyun pindah ke kota. Kota seperti magnet yang menarik mereka sangat kuat, hingga sawah di kampung halaman tak lagi digarap, irigasi tak lagi asyik untuk menggembala itik, kebun tak lagi ditanami buah, sayur, dan bunga. Desa kian sunyi ditinggalkan anak-anak mudanya. Mereka yang tadinya diharapkan membangun dan memajukan desa, malah silau oleh gemerlap lampu kota. Alih-alih memajukan perekonomian desa, mereka malah menyesaki kota, berjejalan di mana-mana. Hanya sedikit dari mereka yang dapat meraih mimpi hidup serba enak. Namun sebagian besar menjadi penduduk kota yang miskin dan terpinggirkan.

Tak semua anak muda desa pergi ke kota tentu. Ada banyak sebab yang membuat mereka masih bertahan tinggal di desa. Namun demikian, mereka hidup serba gelisah dan gamang. Pengaruh kisah sukses teman-teman di kota, menempel kuat di benak mereka, masuk ke alam bawah sadar, dan mempengaruhi pola pikir dan perilaku mereka. Tak usah heran jika kita melihat anak-anak gadis tanggung di desa terpencil di kaki gunung, berpenampilan bak gadis dari Bandung. Bercelana jins ketat model pensil, T Shirt yang dibuat menempel di bagian dada, rambut di rebonding dengan cat warna – warni. Dan tak lupa menggenggam ponsel kemanapun mereka pergi. Lalu para pemudanya ? ya tentu saja mereka berpenampilan setali tiga uang, berdandan bak penyanyi Andika dari Kangen band yang sangat digemari di desa. Anak-anak muda ini hidup serba malas, konsumtif, dan banyak gengsi.

Sangat-sangat sulit mengharapkan anak-anak muda dengan gaya dan pola pikir seperti itu, sudi menanam padi di sawah, menggembala kerbau, menanam wortel dan sawi di kebun. Gengsi dong, penampilan begini keren kok harus belepotan lumpur ? apa kata duniaaa …

“ Membajak sawah, menanam ketela, memberi makan ternak, biarlah emak dan bapak saja yang mengerjakannya. Mana sempat aku mengerjakannya, menjawab komen di pesbuk saja sudah seharian, belum menjawab es em es dari teman-teman! Jadi yah sori sori sori Jek, kerjaan di sawah mah gak lepel ”, begitu mungkin mereka akan menjawab, jika ditanya mengapa tidak turut bekerja di sawah.

Jika kebetulan aku bepergian ke luar kota , maka pemandangan yang paling sering membuatku nelangsa dan hanya bisa diam seribu bahasa adalah pemandangan hamparan sawah yang kian waktu kian terdesak oleh jajaran pabrik dan perumaha penduduk, yang tak segan-segan didirikan di tengah-tengah areal pesawahan. Sejatinya ini adalah hamparan tanaman padi yang menghasilkan bulir beras wangi yang pulen. Beras Cianjur yang kelezatannya sudah termasyhur hingga ke manca negara. Dengan kian sempitnya lahan pesawahan, jangan lagi mengharapkan harga beras Pandan Wangi atau beras Cianjur dapat murah dan terjangkau. Tak hanya itu buah-buahan lokal pun semakin sulit ditemui di pasar-pasar tradisional, apalagi di swalayan. Jika pun ada, harganya dua kali lipat harga buah impor, begitupula halnya dengan sayuran.

Sayang aku bukan dilahirkan dari keluarga petani yang memiliki lahan sendiri untuk diolah. Akupun sama sekali tak memiliki pengetahuan yang memadai tentang pertanian. Kalaupun aku punya hobi menanam, paling banter aku menanam kembang di dalam pot, atau menanam tomat, cabai, yang aku rawat sekedarnya. Namun tanpa harus menjadi insinyur pertanianpun, kurasa kekurangan tenaga dan kekurangan sumber daya manusia adalah salah satu faktor penyebab pertanian kita tak semaju Negara tetangga. Aku pernah menyaksikan, betapa ibu penyuluh pertanian sampai serak memberikan penjelasan kepada para petani, tentang teknik menanam sayuran tertentu di lahan yang tak begitu luas. Namun aku hanya melihat tatapan kosong para petani. Mungkin yang ada di benak mereka adalah, dari mana harus mendapat uang untuk memperoleh pupuk yang harganya kian melangit ? dari mana harus mendapat pinjaman untuk membayar hutang sisa pembelian bibit padi di musim tanam yang lalu, dsb. Mengolah lahan pertanian sudah bukan pekerjaan yang murah meriah lagi sekarang ini.

Aku tinggal di lingkungan yang bersebelahan dengan desa. Namun tak ada suasana desa yang aku temui. Sungguh aku rindu suasana desa seperti yang diceritakan ibuku, semasa kecil dulu. Cerita tentang Paman yang mengirim ketela dan jagung hasil bumi, cerita tentang anak-anak berenang di parit irigasi, kisah tentang menggiring kerbau di senja hari, kisah tentang berburu udang di balik batu kali. ah .. semua itu tak kulihat lagi kini. Bagaimana dapat melihat para petani memanen padi, sawah sepetakpun tak nampak lagi. Para petani beralih profesi menjadi supir angkot dan pengojek motor. Para pemudi pun tak mau kalah, berbondong-bondong pergi ke TKW di negeri Saudi.
Semoga tak tinggal menghitung hari, desa-desa di Indonesia hanya tinggal kenangan yang terlukis di buku –buku dongeng anak-anak. Negara yang maju, Negara yang kuat, adalah negara yang tak hanya berkonsentrasi pada pembangunan di kota-kota besar, sementara tempat-tempat yang terpencil dibiarkan tetap terbelakang dan terbengkalai. Di Negara-negara maju, jalan-jalan ke pedesaan merupakan salah satu objek wisata yang sangat menarik. Namun di negeri kita, jalan-jalan ke desa hanya akan membawa oleh-oleh hati yang masygul, benak yang dipenuhi pertanyaan dan penyesalan, akankah desaku hilang ditelan waktu ?


Salam sayang, anni - Sukabumi