" Sepanjang jalan kenangan, kita slalu bergandeng tangan.
Sepanjang jalan kenangan kau peluk diriku mesra. Hujan yang
rintik-rintik di awal bulan itu, menambah indahnya malam syahdu... ".
Masih ingatkah teman-teman pada syair lagu yang sangat indah itu ? Lagu
jaman dahulu yang dinyanyikan biduanita bersuara merdu Tety Kadi.
Ya betul sekali, lagunya berjudul " Sepanjang Jalan Kenangan ". Lalu
apa hubungannya dengan kita? Ohh bukan, saya bukan ingin menuturkan
kisah saya bergandengan tangan dengan kekasih di sebuah jalan yang
romantis. Bukan itu. Saya hanya ingin berbagi kenangan tentang sebuah
jalan yang terletak di Bandung Barat, yakni jalan Holis. Selamat
menyimak ya teman-teman, siapa tahu memori saya ini ada kesamaannya
dengan kenangan teman-teman semua :)
*****
Ketika
(alm ) Ayah saya baru saja pensiun dari PJKA ( sekarang PT KAI ), kami
pindah rumah dari rumah dinas berarsitektur Belanda di kompleks PJKA
jalan Garuda, ke rumah yang lebih kecil di sebuah gang di jalan Holis
Bandung. Kala itu tahun 1974, dan saya masih duduk di bangku Sekolah
Dasar.
Dulu ketika rumah kami masih di kompleks, jarak antara
rumah dengan sekolah di SD IWKA di jalan Rajawali sangat dekat. Namun
ketika kami pindah ke jalan Holis, jarak yang harus saya tempuh jadi
lumayan jauh, dan itu harus ditempuh dengan berjalan kaki, karena waktu
itu belum ada angkot. Yang ada hanyalah Bemo yang kebetulan trayeknya
tidak melewati jalan Holis dan jalan Rajawali.
Setiap pagi
dan petang saya bersama kakak perempuan saya, berjalan kaki pergi dan
pulang sekolah menyusuri jalan Holis. Saya ingat betul, ketika itu jalan
Holis masih sangat sepi dan asri. Pohon-pohon besar dan kecil berjajar
meneduhi sepanjang badan jalan. Di beberapa tempat saya melihat parit -
parit kecil atau selokan yang lumayan lebar, yang airnya masih jernih
dan mengalir deras tanpa hambatan sampah. Kadang jika merasa lelah
berjalan, kami beristirahat sambil berjongkok di salah satu parit itu,
sengaja ingin melihat segerombolan ikan liar kecil-kecil yang berwarna
warni seperti pelangi, berenang kian kemari di beningnya air parit.
Setiap aku mencoba menangkapnya, pasti kakakku akan melarangnya. Pernah
suatu saat ketika berjalan seorang diri, saya nekad mencebur ke parit
menangkap ikan-ikan itu untuk kupelihara di dalam toples di rumah.
Ikannya memang sukses tertangkap, tapi akibatnya Ibu jadi ngomel-ngomel
panjang lebar karena baju seragamku kotor dan basah semua, padahal
besok seragam itu masih harus dipakai lagi. He he ..
Ada lagi satu pemandangan menarik yang saya jumpai di sepanjang jalan Holis semasa saya kecil dulu. Pemandangan itu adalah Gerobak Sapi
yang kerap hilir mudik mengangkut berbagai muatan. Dari mulai kayu
gelondongan, beras, sayuran, drum minyak tanah atau minyak goreng,
sampai besi-besi tua, apa saja bisa diangkut oleh gerobak yang sederhana
ini. Saya sangat senang berjalan dibelakang gerobak yang berjalan
sangat lambat itu. Saya tidak tahu, apakah karena memang Sapi adalah
hewan yang tak bisa berjalan dan berlari cepat seperti Kuda, ataukah
karena sarat muatannya yang membuatnya berjalan sangat lamban ? Lucu
deh melihat sais gerobak itu tertidur pulas di atas tumpukan muatan,
sementara sapi-sapi itu berjalan sendiri seolah sudah hafal arah yang
akan ditujunya. Tak pernah sekalipun kudengar lecutan cemeti atau
hardikan sang Sais Gerobak. Gemeretak roda gerobak, detak langkah kaki
Sapi, sampai berkelontangnya bel yang tergantung di leher sapi, seolah
irama lagu merdu yang membuat Pak Kusir semakin terlelap dalam mimpinya
hingga terjaga di tempat tujuan. Semua bunyi-bunyian khas yang merdu
itu, masih sangat terngiang di telingaku hingga kini.
Kini 38 tahun kemudian, ketika saya kembali menyusuri jalan Holis,
sungguh tak terbayangkan, pemandangan khas perkampungan Bandung tempo
dulu pernah singgah di tempat ini. Sama sekali tak ada parit berair
sejuk bening dengan ikan Pelangi berenang kian kemari. Air selokan yang
dulu jernih mengalir deras, telah berganti warna menjadi keruh, kadang
merah, hijau, biru, hitam, atau warna apapun, tergantung apa warna
limbah yang dibuang pabrik-pabrik ke selokan itu. Bau menyengat menguar
dari selokan yang tercemar logam berat itu. Dan gerobak sapi ? jangan
ditanya lagi. Semuanya sudah hilang lenyap, berganti dengan segala macam
angkot berwarna hijau dan oren, puluhan mobil, ratusan sepeda motor,
juga masih ada becak yang saling tak mau kalah memadati badan jalan.
Padahal rasanya dari tahun ke tahun lebar jalan Holis tetap seperti itu,
tak pernah berubah. Akibatnya mudah diduga. Kemacetan tak dapat
dihindarkan lagi. Bunyi klakson memekakkan telinga, sumpah serapah para
pengendara berhamburan ke udara. Sungguh pemandangan semrawut yang
sangat mengesalkan.
Apa daya, jalan
Holis yang indah dan penuh kenangan, kini tak ada lagi. Semua sudut
sudah berganti wajah menjadi pemandangan jalan-jalan pada umumnya di
kota Bandung yang selalu jauh dari perencanaan tata kota yang baik.
Jalan Holis yang hawa dinginnya menusuk hingga tulang di pagi hari, kini
hanya tinggal kenangan. Sekarang di rumah ibuku di jalan Holis itu,
musim hujan atau musim kemarau sama saja gerahnya. Sungguh terenyuh
hati ini melihat lenyapnya sekeping puzzle masa kecilku. Namun sampai
kapanpun, jalan Holis – nama Holis diambil dari nama pahlawan lokal yang
gugur setelah bertempur habis-habisan melawan tentara Belanda pada masa
Revolusi – akan tetap saya kenang. Jalan Holis yang sepi dan asri tak
kan pernah hilang dari ingatanku. Di sepanjang jalan itulah, saya
bersama teman-teman yang saling berdekatan rumah, meretas jalan menuju
kedewasaan. Pergi dan pulang sekolah, menuntut ilmu ke berbagai tingkat
pendidikan.
Salam sayang,
Anni – Sukabumi