Menulis itu media katarsisku ...

Blog Pribadi Puji Nurani :

Sketsa sederhana tentang hidup yang sederhana ...

Menulis itu Media Katarsisku ....

Aku sangat suka .. sangat suka menulis .....
Aku tak memerlukan waktu khusus untuk menulis ..
Tak perlu menyepi untuk mendapatkan ilham ........
Atau menunggu dengan harap cemas pujian dari orang lain
agar tak jera menulis ......

Ketika aku ingin menulis, aku akan menulis tanpa henti...
tanpa merasa lelah ...
tanpa merasa lapar ...
Namun jika aku tidak menulis,
maka itu artinya aku memang sedang tidak mau menulis...

Kala kumenulis,
Aku alirkan pikiranku melalui ketukan keyboard
ke dalam layar dunia virtual aku berkontemplasi ....
Aku tumpahkan perasaanku ke dalamnya ....
yang sebagiannya adalah jiwaku sendiri ....

Lalu ... aku menemukan duniaku yang indah ...
duniaku yang lugu dan apa adanya ......
duniaku yang sederhana .........
yang aku tak perlu malu berada di dalamnya .....
Karena aku adalah kesederhanaan itu sendiri .....

Aku suka dengan cara Allah menciptakanku ...
alhamdulillah .......

Saturday, August 15, 2009

Kasus Marshanda : Anak - Anak Kita Bukan Mesin Pencetak Uang !!



Andriani Marshanda. Demikian nama gadis cantik berusia 20 tahun itu.
Siapa yang tidak kenal dengannya. Nama itu begitu berkibar dan kerap menghiasi acara - acara sinetron di semua stasiun TV di Indonesia. Entah berapa sinetron yang sudah dia bintangi.

Sejatinya Marshanda adalah anak Indonesia yang cerdas, aktif, berprestasi dan potensial. Beginilah seharusnya anak-anak Indonesia, mampu menggali semua bakat yang mereka miliki untuk kemajuan dirinya.

Aku bukan penggemar Marshanda,, dan Aku juga tidak menyukai sinetron yang ditayangkan di negeri ini. Aku hanya menyaksikan satu sinetron "Si Doel, Anak Sekolahan ". Namun aku ingat betul, aku pernah sering menyaksikan akting gadis manis ini, ketika semasa kecil dia membintangi sinetron kesayangan anakku, BIDADARI. Selepas itu, yang aku dengar hanya sekilas - sekilas gosip nya saja di acara infotainment yang sering ditonton oleh pembantuku.

Yang aku tahu tentang Marshanda hanyalah, dia anak Indonesia yang terlalu belia untuk mencari uang, sebagaimana ratusan anak-anak muda lainnya di dunia hiburan, yang harus bekerja ekstra keras, melampaui kemampuan tenaga yang tersimpan di tubuh mungil mereka. Aku sering mendengar, anak-anak ini, yang seharusnya belajar dengan asyik di bangku sekolah, aktif di OSIS, menjadi anggota Paskibra, tertawa bercanda bersama teman-temannya, belajar bergaul dan bersosialisasi agar menjadi warga Negara yang baik, harus kehilangan semua kesempatan itu, karena kaki dan tangan mereka terikat dengan erat oleh sesuatu keharusan yang bernama KONTRAK. Demi bergepok uang, tentu saja.

Seorang anak yang baru berusia 3 tahun, 7 tahun, belasan tahun, harus dari pagi buta hingga larut malam berada di lokasi syuting untuk menyelesaikan sebuah acara, entah sinetron atau acara hiburan lain. Bayangkan betapa tidak kondusifnya suasana di tempat syuting itu. Makan tidak teratur, kurang istirahat, kurang bermain, kurang belajar. Belum lagi dengan pemandangan kurang sehat yang tentu harus menjadi konsumsi mereka sehari – hari. Entah adegan nyata atau sekedar acting.

Mereka harus berkumpul dengan orang dewasa yang banyak diantara mereka adalah perokok berat, berkumpul dalam suasan serba permisif, dalam hubungan yang serba longgar. Anak-anak yang masih sangat muda itu, tentu belum dapat membedakan, mana ciuman yang sungguhan, dan mana ciuman yang hanya sekedar acting. Namun mereka toh harus menyaksikannya sebagai sebuah keniscayaan yang tak bisa dielakkan lagi. Aku hanya khawatir, mereka akan tumbuh dengan kesadaran bahwa orang dewasa boleh berciuman dengan siapa saja yang dia inginkan, dan dimana saja tanpa harus merasa malu.

Lebih memprihatinkan lagi, banyak diantara anak-anak itu yang kemudian harus meninggalkan bangku sekolahnya, sebab mengundurkan diri karena tak sanggup mengatur jadwal yang super ketat di tempat kerja, atau memang dikeluarkan oleh pihak sekolah, karena sekolah bersikap tegas terhadap siswanya yang terlalu sering meninggalkan jam pelajaran. Lalu mereka beralih memasuki Home Schooling, dengan alasan pendidikan model ini lebih fleksibel dalam mengatur jadwal belajar. Apa mereka pikir Home Schooling adalah lembaga yang bisa mereka atur seenaknya sendiri hanya karena mereka populer ? perlu diketahui, Home Schooling adalah sebuah institusi pendidikan yang memerlukan komitmen yang sangat kuat dari para guru dan siswa untuk belajar melebihi cara belajar di sekolah-sekolah konvensional.

Siang ini aku mendengar kabar mengejutkan tentang sakitnya Marshanda. Bukan sembarang sakit. Dia mengalami ganguan jiwa, akibat depressi berat. Belum lagi sederet pernyakit yang harus dia tanggungkan di tubuhnya yang cantik itu. Inilah deretan penyakitnya : Tyfus, penyakit lambung, castritis kronis, maag kronis, serta penyempitan tulang leher yang kian menjepit syarafnya !
Menurut manajer nya, dokter yang merawat, dan orang tuanya, gadis itu menderita sakit karena tidak tahan terhadap beratnya tekanan pekerjaan. Selain itu dia merasa stress karena kini dia tak sepopuler dulu, ditambah tekanan dari banyak pihak yang menghendaki kesempurnaan penampilannya.

Masyaallah, Marshanda cuma anak Indonesia biasa, seperti anak-anak kita juga ... !
Sungguh tidak seharusnya orang – orang dewasa memperlakukan seorang anak sekeras itu. Usianya baru 20 tahun, seharusnya dia sedang asyik mendengarkan kuliah dari dosennya di kampus, belajar berorganisasi, dan bukannya menghabiskan empat per lima waktunya di tempat syuting dan seperlima waktu lainnya di tempat dugem karena alasan sosialisasi tuntutan pekerjaan !
Ya terang saja dia jatuh sakit. Memangnya ada, anak sebelia ini sanggup menanggung beban seberat itu ?
Aku sangat heran dengan sikap para orang tua yang menjadikan anaknya bak mesin pencetak uang, hingga abai terhadap kesehatan mental dan fisiknya putra- putrinya, yang seharusnya mereka lindungi.

Aku sangat yakin, Marshanda hanyalah fenomena gunung es, yang jika kita dapat menyibak fakta yang sesungguhnya, niscaya kita akan dibuat terperangah karena miris dan ngeri. Betapa gemerlap dunia hiburan yang menjanjikan limpahan materi, kepopuleran dan keistimewaan, di satu sisi menjadi mesin pembunuh yang sangat efektif bagi jiwa ribuan anak-anak Indonesia yang seharusnya dilindungi.

Derasnya kocek yang bakal menyesaki kantong, serbuan fans yang histeris, kini menjadi iming-iming yang sangat mujarab bagi sejumlah rumah produksi untuk membuat acara – acara reality show yang dapat membuat pesertanya menjadi mendadak terkenal. Dan aku sangat kecewa, banyak diantara acara itu, yang ditujukan untuk anak-anak...
Lihat saja, ribuan anak diantar oleh orang tuanya yang sangat ambisius, memenuhi ruangan audisi, demi sekeping harapan : meraih popularitas yang dapat mengangkat mereka ke jenjang kehidupan yang lebih mapan.

Kadang seseorang itu menjadi orang tua karena kebetulan saja dia memiliki anak. Namun banyak sekali orang tua di negeri ini yang sama sekali tidak memiliki kapasitas sebagai orang tua dalam arti yang sesungguhnya. Alih – alih mendidik dan mengayomi, mereka justru melihat anak-anak yang dilahirkannya itu sebagai aset yang sangat berharga untuk menambah kocek mereka, karena mereka sendiri tak mampu untuk melakukannya. Aku banyak melihat, bagaimana seorang ibu yang karena tak berhasil menjadi artis di masa mudanya , lantas mendadani anak kecilnya semenor mungkin, agak segera menjadi artis sebagai pengganti impiannya yang tidak tercapai.

Kegenitan para orang tua ini terasa mendapat saluran yang pas, dengan semakin maraknya acara – acara televisi yang dapat mengekspresikan ambisi mereka. Semakin banyak saja acara TV yang tidak bermutu akhir - akhir ini. Aku malas membahasnya. Aku lebih suka meninggalkannya saja, dan mengajak anak-anakku membaca buku, sebagai ganti menonton acara sinetron yang hanya membusukkan jiwa. Percuma saja meneriakkan anti pati terhadap acara murahan di televisi, karena pihak-pihak yang berwenang atas kualitas penyiaran, rasanya sudah kian buta dan tuli saja akhir-akhir ini.

Marshanda, dan jutaan anak Indonesia lain, yang bekerja demi segudang uang atau hanya demi dua ribu rupiah sehari dilampu – lampu merah, harus dilindungi. Mereka adalah penerus kita di masa depan, manakala usia kita sudah semakin uzur dan tenaga kita kian melemah. Apa yang dapat kita harapkan dari anak-anak yang sedari usia dini sudah tidak utuh lagi jiwanya. ? berlubang di sana – sini karena tercerabut dari akar masa kecilnya ? sangat sulit mengharapkan anak- anak Indonesia akan memiliki rasa empati terhadap sesama, berjiwa social tinggi, gemar menolong, mudah iba, santun dalam bersikap, jika sedari kecil ditempa dengan kekerasan hidup yang tak terperi.

Biarkan anak – anak Indonesia, anak-anak kita hidup dalam dunianya. Biarkan mereka bebas belajar, bermain, menimba ilmu kehidupan, hingga mereka tumbuh menjadi pribadi yang dewasa dan mandiri, bukannya pribadi yang kecil - kecil sudah pacaran bak orang dewasa yang besok mau menikah saja, sombong, egois, selalu ingin diistimewakan dan bebal.

Bukan dengan gratis Allah mengamanahkan anak kepada kita. Kehadiran mereka melalui rahim kita atau istri kita, adalah berarti sederet kewajiban dan keharusan yang harus kita laksanakan dengan penuh kesadaran dan tanggungjawab. Bukan hanya sekedar segumpal hak yang bisa diperlakukan sekehendak hati kita. Mari selamatkan anak- anak Indonesia dari orang tua dan penguasa uang yang sangat serakah tanpa belas kasih di negeri kita tercinta.

salam sayang,

anni :)

No comments:

Post a Comment