Setiap kali memasuki bulan suci
Ramadhan, ibu-ibu yang keluarganya menjalankan ibadah puasa, tentu akan mulai
disibukkan dengan merencanakan menu berbuka dan menu makan sahur. Ini adalah
saat yang tepat bagi para ibu untuk memanjakan keluarga lewat lidah dan perut.
Bagi ibu- ibu yang jago masak, serasa mendapatkan medan pembuktian. Sementara
bagi ibu- ibu yang belum lihai memasak, sedapat mungkin berupaya mengolah
makanan sendiri, meski hanya satu macam. Yang penting buatan sendiri, dan
keluarga merasa senang.
Masakan Ibu selalu nikmat. Benarkah
?
Entah dari mana asalnya, sangat
sering kita mendengar ungkapan, “ seenak-enaknya makanan di restoran
berbintang, atau di pesta-pesta pernikahan yang megah, atau bahkan dibandingkan
dengan kuliner tersohor dari luar negeri sekalipun, makanan negeri
sendiri tetap lebih enak” . Dan pernyataan itu lebih dipersempit lagi dengan, ”
makanan di kampung halaman tetap lebih sedap”, lalu masih dikerucutkan lagi
menjadi, ” masakan ibu di rumah tetap paling nikmat “.
Benarkah memang begitu kenyataannya
? benarkah masakah ibu di rumah jauh lebih lezat dibanding masakan terlezat di
dunia ? hmm … Mari kita telisik …
Seingat saya, saat kami kecil dulu,
ibu selalu memasak sendiri makanan bagi kami sekeluarga. Ibu bukan ahli
masak apalagi jago masak sekelas chef di restoran ternama. Kemampuan masak Ibu
saya biasa saja, cuma bisa masak makanan standar, semacam sayur bayam, sayur
asem, sayur lodeh, soto, ayam goreng, ikan goreng, nasi goreng, ya
standar makanan yang biasa tersaji di meja makan orang Indonesia pada umumnya.
Tidak ada bumbu istimewa dalam
masakan ibu saya. Racikan bumbu masakannya sama saja seperti racikan orang
lain. Tapi rasanya itu lho, istimewa banget ! setidaknya menurut saya,
kakak-adik saya, dan Ayah saya. Rasa masakan ibu saya itu gimana ya. Perpaduan
antara sedep, khas, nikmat, enak, dan ini yang aneh : kangen. Bingung
kan? mana ada rasa kangen dalam makanan ? .Tapi memang benar, menurut saya ada
rasa kangen dalam makanan, ya masakan ibuku itu. Susah deh menjelaskannya.
Pokoknya, kurang lebih rasa yang selalu menimbulkan rasa ingin mencoba
lagi dan lagi. Rasa yang selalu menimbulkan rasa ingin pulang.
Cara Memasak yang ” nggak neko- neko
“
Kalau saya perhatikan cara ibu saya
memasak, lebih tidak istimewa lagi. Ibu saya melakukan segalanya serba cepat,
maklum anaknya banyak, jadi segala sesuatunya harus dijkerjakan secepat kilat.
Misalnya nih, saat masak sayur Bayam. Bayamnya nggak dipetik setangkai demi
setangkai seperti cara saya memasak, tetapi segenggam sekaligus, diseleksi mana
yg tua dan berserat, dipetik dengan asal, dan selesai sudah 10 ikat bayam
dipetik rapi. Lalu soal bumbu. Merajang, memblender, semuanya serba cepat.
Begitu juga saat memberi garam dan gula, sama sekali tidak menggunakan takaran,
semuanya serba feeling, pakai takaran perasaan saja. Tapi hasilnya, haduh,
sayur bayam ternikmat dan terlezat sedunia ! perpaduan kelembutan daun bayam,
manisnya jagung muda, segarnya kuah, tak ada duanya ! anak-anak yang pada nggak
doyan makan sayur pun mendadak doyan makan sayur kalau dimasak sama ibu saya.
Tentu saja sekarang setelah menjadi
ibu rumah tangga, saya mengcopy paste habis-habisan cara ibu saya memasak,
tentu saja ditambah dengan modifikasi dan kreatifitas tertentu. menurut suami
dan anak-anak saya, rasa masakan saya enak banget, meski menurut saya rasanya
biasa-biasa saja, tak seenak masakan ibu saya.
Kadang saya berpikir, apakah pujian
keluarga saya itu tulus, ataukah basa-basi semata ? namun setelah berulang kali
melakukan uji coba, dan hasilnya sama saja, akhirnya saya berkesimpulan,
masakan saya memang enak rasanya, setidaknya menurut keluarga saya. Uji coba ?
ya saya melakukan uji coba. Begini caranya :
Setiap kali berkesempatan makan di
luar dan mencicipi suatu menu tertentu di restoran, saya sengaja memesan satu
menu yang sering disajikan di rumah sebagai pembanding, dan sebab saya ingin
mendengar komentar mereka. Hasilnya, selalu ada komentar yang sama yang
diucapkan suami dan anak-anak saya. Komentarnya adalah, ” Masih enakan ayam
goreng buatan ibu “. Atau, ” sambal bikinan ibu lebih enak ” , atau, ” nasi
gorengnya kok gini ya, enakan bikin di rumah “.
Nah itulah uji cobanya. Mendengar
itu tentu saja saya merasa bersyukur dan tersanjung, karena keluargaku lebih
menyukai rasa makanan yang saya masak sendiri.
Ini masalah suasana
hati
Percayakah teman-teman, bahwa rasa
masakan ibu di rumah jauh lebih nikmat daripada rasa masakan hasil racikan ahli
masak di restoran ? ya tentu saja semua itu tergantung sejauh mana sang ibu
memiliki kecakapan memasak, bukan ? kalau si ibu nyeplok telor saja
gosong, menggoreng ikan saja berbau amis, mana bisa rasa masakan ibu melebihi
rasa masakan di restoran. Tapi sebaliknya, boleh jadi sang ibu hanya memiliki
kemampuan masak biasa-biasa saja, namun menurut keluarganya rasanya lezat bukan
main, koki saja kalah. Bagaimana ini ? sangat tidak rasional bukan ?
Sekarang saya tahu jawabannya. Ini
bukan semata-mata masalah rasa, namun masalah hati, masalah kedekatan emosi,
masalah suasana rumah yang penuh dengan kehangatan, yang mampu membangkitkan
selera makan yang luar biasa, yang melebihi selera makan di hotel berbintang.
Suasana makan berkumpul bersama
keluarga, sungguh tak tergantikan. Makanan apapun yang disajikan, sesederhana
apapun menunya, selalu habis, licin tandas, hanya menyisakan rasa lega dan
bahagia sang Ibu, karena hasil olahannya diterima dengan antusias oleh
orang-orang tercintanya. Habis pupus semua rasa lelah, semua keringat yang
deras mengucur selama berkutat di dapur.
Bukan hanya saya seorang rupanya
yang selalu merindukan masakan ibunda tercinta. Merindukan sajiannya yang
istimewa dalam kesederhanaan, yang luar biasa lezat dalam keterbatasan.
Teman-teman saya pun, mengaku memiliki perasaan yang sama, selalu rindu masakan
rumah, yang diracik dengan tangan-tangan yang digerakkan oleh rasa sayang
kepada belahan jiwanya.
Dimana mendapatkan bumbu cinta ?
“Masakan bunda enak, karena pakai
bumbu cinta”, begitu celoteh si kecil Nadine (4 tahun) putri sahabatku, mengomentari
Nasi Goreng Keju masakan bundanya, yang saya tahu persis, sang bunda yang
masih terhitung pengantin baru itu, masih tersandung - sandung dalam soal
memasak. Nah, ibu-ibu yang tidak lihai memasak saja mendapat pujian, apalagi
ibu-ibu yang rajin memasak. Sungguh lucu
dan pandai sekali si kecil Nadine. Bumbu Cinta ya ? dimana gerangan kita bisa
membeli bumbu cinta ? berapa harganya ?
Tentu saja kita tidak dapat membeli
bumbu cinta dengan mudah, karena memang bumbu cinta sangat sukar didapatkan dan
dan sangat mahal harganya. Bumbu cinta letaknya jauuh sekali di dasar hati
seorang bunda yang menyayangi keluarganya, dan mau bersusah payah mengolah
makanan di dapur untuk disajikan kepada seluruh keluarga tercinta. Dan sangat
mahal harganya, sebab hanya ibu spesial saja yang memilikinya. Dan Ibu spesial,
sungguh tak dapat dinilai dengan harga seberapapun tingginya.
Mari teman-temanku yang cantik, para
remaja putri calon ibu yang budiman, marilah kita memasak menu kegemaran
keluarga. Tak apa sederhana, yang penting keluarga senang, perut yang lapar
menjadi kenyang, dan hatipun menjadi riang. Memangnya siapa yang dapat
menandingi kelezatan aroma dan cita rasa sup ayam hangat buatan ibu, di sore
yang dingin berangin, dengan rintik gerimis di luar jendela, di saat berbuka
puasa bersama keluarga ?
Salam sayang,
anni
No comments:
Post a Comment