clipartof.com
Anak gadisku yang paling besar sudah
jadi mahasiswi sekarang . Kuliah di perguruan tinggi negeri yang berbeda kota
dengan kami orang tuanya. Seusai UTS beberapa waktu lalu, kampusnya diliburkan,
dan anak gadisku itu menyempatkan diri untuk pulang. Dan ini lah salah satu
cerita yang dia tuturkan, yang membuatku semakin mencemaskan pergaulan
anak-anak muda zaman sekarang.
Ternyata sahabatnya seorang gay
” Aku punya teman, namanya Miranda
(nama samaran) “, kata Ufi (begitulah nama anakku ) memulai ceritanya.
” Miranda itu satu kelas dengan aku,
dan sering duduk deketan kalau lagi kuliah “
” Trus aku juga punya teman, namanya
Andre ( juga nama samaran ). Aku, Miranda, sama Andre, sering jalan
bareng, karena kami sering satu kelompok untuk beberapa mata kuliah. Sering
belajar bareng, dan kalau pas istirahat, suka makan siang bareng juga di warung
tenda dekat kampus “
” Oke, trus kenapa dengan
teman-temanmu itu ? “, tanyaku.
” Miranda naksir Andre buu …”
” Ooh … ya nggak apa-apa dong ? “
” Iya bu, tapi Andre gak nanggapin “
” Kenapa ? “
” Andre nggak cinta sama Miranda “
” Ooh, biasa itu sih. Yang namanya
cinta kan kemungkinannya kalau nggak diterima ya ditolak “
” iya sih Bu, Miranda juga
kelihatannya nggak masalah tuh cintanya ditolak sama Andre ..”
” Ya sudah, baguslah. Selesai kan
masalahnya ? “
” iih, belum buu … ! dengerin dulu
…”
” Kan dari tadi juga ibu dengerin “
” Si Andre itu, kayak menjauh dari
Miranda, tapi malah ngedeketin aku “
” Lahh ? jadi si Andre itu
sebenernya naksir kamu to, Fi ? “
” Tadinya aku pikir juga gitu buu
..”
” Trus, kamu naksir Andre nggak ? ”
” Andre itu ganteeeng deh bu ! “
” Iyaa, kamu naksir dia nggak ? “
” Enggak “
” Ooh, ya sudah, selesai kan
masalahnya ? “
” iih, belum buu … ! dengerin dulu
…”
” Kamu ini, kan dari tadi juga ibu
dengerin .. “
” iih, ibu mahh .., si Andre itu Gay
! “
” Hah ?! apa kamu bilang ? Gay
? Astaghfirullah .. “
” Iyaa, dia sendiri yang bilang
gitu. Kan aku bilang sama dia, jangan terlalu deket-deket sama aku, nggak enak
sama Miranda. Eh dia malah bilang, santai aja lagi, gua kan gay …”
————————
Begitulah kurang lebih sepenggal
obrolan saya dengan Ufi. Ngobrolnya sebentar, sudah 2 minggu yang lalu juga,
tapi efeknya membuat saya berpikir dan merenung dan agak cemas sampai detik
ini. Bagaimana mungkin anak gadis saya yang selama ini adalah anak rumahan, dan
hanya bermain dan aktif di sekolah, tiba-tiba harus berteman dengan seorang
gay. Sesuatu yang sangat jauh dari bayangan saya.
Berteman dengan siapa saja
Sejak kecil Ufi selalu menjadi anak
yang berani dan mandiri. Sifat-sifat anak sulungnya sangat menonjol. Penuh
inisiatif, jiwa kepemimpinannya tinggi, suka mengatur, suka mengambil keputusan
dengan cepat, dsb. Kelihatannya dia tahu apa yang terbaik bagi dirinya, bisa
berpikir sangat dewasa, meski umurnya baru masuk 18 tahun.
Saat aku bertanya lebih jauh soal
teman gay nya itu, anakku menjawab kalem,
” Aku tetap berteman sama dia, berteman kan boleh dengan
siapa saja, Bu. Tapi terus terang aku mulai nggak cocok sama dia. Sama
gaya hidup dia, dengan pemikiran-pemikiran dia, apalagi kalau dia sudah
mulai curhat soal cowok-cowok yang naksir dan dia taksir, udah males aja
dengerinnya. Sekarang aku jadi banyak nggak nyambungnya sama dia. Yaa,
aku sih sekarang cenderung sekedar berteman aja , gak terlalu deket lagi
kayak dulu ”
Mendengar ungkapan anakku yang panjang
lebar itu, terus terang saya tidak yakin dengan perasaan saya, apakah saya
harus merasa lega, karena pada akhirnya anakku dapat menentukan sendiri
orang-orang seperti apa yang cocok untuk dijadikan sahabatnya, ataukah
justru iba pada anak-anak muda itu. Iba dalam arti, kasihan anakku harus
“kehilangan” teman gara-gara temannya itu seorang homo seksual, tipe cowok yang
jelas-jelas sangat dihindari oleh anakku. Rasa kasihanku yang kedua, jelas
tertuju pada Andre. Melihat fotonya, anak ini tampak ganteng sekali, macho, dan
kelihatannya anak baik. Tipe cowok yang digandrungi banyak mahasiswi. Saya
yakin Andre tentu termasuk anak yang cerdas, karena bukan perkara yang mudah
untuk dapat menembus Perguruan Tinggi Negeri ternama di Semarang itu.
Anak-anak kita hidup di zaman yang
lebih keras dari zaman generasi orang tuanya.
Di zaman saya bersekolah dahulu,
seks bebas termasuk perilaku homo seksual sudah ada, namun hanya sedikit
terlihat, bahkan nyaris tidak muncul ke permukaan sama sekali. Saat itu
kontrol masyarakat masih lumayan ketat terhadap anak-anak dan remaja, sehingga
segala perilaku yang dinilai bertentangan dengan agama dan adat istiadat dapat
segera diatasi dan lokalisir sehingga tidak merembet menyebar kemana-mana.
Ditambah dengan belum maraknya perkembangan teknologi informasi pada saat itu,
sehingga sebuah perilaku yang dinilai buruk tidak mudah tersebar luas.
Zaman sekarang keadaan sudah berubah
drastis. Perilaku seks bebas dan homoseksualitas sudah semakin dianggap sebagai
sebuah kelaziman yang tak perlu diributkan. Faham Demokrasi (dari dunia Barat)
yang mengusung issu sentral Hak Asasi Manusia dan kebebasan berekspresi (aka
Liberalisme ), menyatakan bahwa masalah seksualitas termasuk orientasi seksual,
adalah masalah pribadi, masalah privacy, yang orang lain bahkan negara
tidak boleh ikut campur. Manusia harus diberi kebebasan untuk
mengungkapkan perasaan cinta dan libidonya, kepada siapapun yang disukai,
sepanjang tidak merugikan orang lain.
Namun bagi saya, seorang ibu yang
memiliki dua anak perempuan, makin banyak populasi homoseksual di Indonesian
makin saya merasa cemas. Bagaimana tidak, sudahlah katanya jumlah laki-laki
sedikit, ditambah. Sekarang laki-lakipun mengejar laki-laki. Jadi anak-anak
gadis kita tak hanya harus bersaing ketat dengan sesama anak perempuan, namun
juga dengan anak laki-laki, untuk mendapatkan pujaan hatinya. Kasihan sekali ..
Jika anggota keluarga kita seorang
Homoseksual
Berbicara tentang Homoseksualitas,
bisa panjang urusannya. Tidak bisa hanya dibahas dari sudut pandang atau opini
pribadi. Masalah ini lumayan pelik, dan harus melibatkan pembicaraan lintas
ilmu agar ada kesimpulan yang terintegrasi. Dalam tulisan ini saya hanya ingin
mengemukakan perasaan saya sebagai seorang ibu dan seorang ibu guru yang merasa
khawatir dengan makin bebasnya pergaulan anak-anak muda zaman sekarang dan
sangat mudahnya pengaruh buruk tersebar di antara mereka akibat derasnya
arus informasi . Apapun alasannya, saya ingin anak saya kelak menikah dengan
lawan jenisnya, bukan dengan perempuan sesama jenisnya.
Saya seorang yang konvensional.
Sangat takut kepada Allah, dan taat kepada aturan adat istiadat di tempat saya
berasal, yang melarang keras perilaku homo seksual. Namun demikian, menurut
hemat saya, seorang homo seksual tetaplah manusia biasa seperti manusia yang
lainnya. Dia hanya berbeda dalam orientasi seksualnya saja, sementara
sisi-sisi hidupnya yang lain, tak jauh berbeda dari kita. Artinya kita tetap
harus menghargai prestasi belajarnya, prestasi kerjanya, menghargainya
sebagai teman, tetangga, dsb.
Siapapun tak akan dapat mengira apa
yang akan terjadi dalam kehidupannya di masa yang akan datang. Jika ternyata
suratan takdir memilih anak yang sangat kita cintai memiliki perilaku
homoseksual, dan kita berpandangan bahwa perilaku homoseksual adalah perilaku
yang menyimpang, maka hanya ada satu jalan yang harus ditempuh, yakni tetap
memberi kasih sayang yang besar kepada anak - anak itu, memperbaiki hubungan
orang tua - anak dan membangun dialog sesering mungkin, mendengarkan permasalahannya,
membantunya, sambil terus mengupayakan jalan keluarnya. Membawa anak kepada
profesional seperti Psikolog sejauh ini masih merupakan langkah yang tepat.
Mengucilkan, mengasingkan, apalagi menghujat anak-anak yang
kebetulan berbeda dengan anak lainnya, hanya akan melukai perasaan anak
dan menyakiti hati kita sendiri sebagai orang tua. Sekecil apapun hinaan yang
keluar dari mulut orang tua tentang “kelainan” yang dimiliki seorang
anak, akan semakin memperparah kelainannya tersebut.
Anak itu amanah dari Tuhan kepada
orang tua. Dan perilaku seorang anak adalah cermin yang sangat jernih dari
perilaku orang tua terhadap anak-anaknya. Jadi sebelum menghina dan memarahi
anak sendiri, sebaiknya berkacalah dahulu, barangkali selama ini kita sudah
salah memperlakukan anak kita sendiri. Tetaplah menjaga, mendidik, dan
menyayangi anak-anak dengan baik dan benar, beri pengertian kepada anak-anak
agar memilih lingkungan pergaulan yang benar, seraya tak lupa untuk senantiasa
menanamkan nilai-nilai keagamaan, taat kepada Allah dan menjauhi larangan Nya
semenjak usia dini. Nah sampaikan salam saya pada anak-anak tercinta ya
teman-teman. No hard feeling, OK. semoga bermanfaat.
Salam sayang,
Anni
No comments:
Post a Comment