ilustrasi gambar : www.redding.com
"Bu Anniii, pengen ngobrol sama
bu Anni boleh nggak buu ...", begitu Dzikra, anak kelas XI muridku mengejutkan aku yang siang itu sedang
berjalan santai di koridor kelas menuju kantor. "Boleh dong, ayo mau
ngobrol apa?" Jawabku seraya menuju kursi panjang untuk sejenak
beristirahat sambil melayani (pasti curhatan) murid abege ku itu. Dan tanpa
menunggu punggungku lurus dan posisi dudukku nyaman, Dzikra sudah
membombardirku dengan banyak pertanyaan, yang kesemuanya sebetulnya mudah saja
aku jawab, tapi jadi sulit kuungkapkan mengingat yang bertanya masih berusia 16
tahun. Salah sedikit bicara, dapat berarti aku menyesatkan muridku.
"Bu, kalau kita gak bisa move
on, gimana bu ?"
"Bu, kalau aku udah punya cewek
nih, trus suka lagi sama cewek lain, boleh gak bu ?
"Bu, tanda-tandanya cewek yang
setia gimana bu ?"
"Bu, tandanya seseorang itu
jodoh kita gimana bu ..?"
"Bu, cara nolak cewek yang
nembak biar dia gak sakit hati, gimana bu ?"
"Bu, cara tau cewek itu masih
virgin ato enggak, gimana Buu ..?"
"Bu, kalo kita modus in cewek,
biar gak dianggap PHP, gimana bu ?"
Dan masih banyak lagi sederet
pertanyaan naif soal cinta yang dia lontarkan kepadaku, lengkap dengan
istilah-istilah khas anak abege jaman sekarang,yang kadang sangat
membingungkan. Untung aku punya anak abege, jadi sedikit banyak aku mengerti
omongan mereka. Ciyus deh ...
Hmh .. Dzikra,Dzikra....
Aku jawab satu persatu pertanyaan
anak itu dengan cermat, santai, dan tak lupa tersenyum, agar dia tak merasa
dinasihati, karena aku jawab semua pertanyaan itu dengan menyelipkan humor dan
tentu saja nasihat-nasihat.
Ketika dia merespons jawabanku, aku
pandangi wajah anak itu, dan wajah 20an orang teman-temannya yang tiba-tiba
sudah duduk dan berdiri merubungiku, Ibu guru yang sudah mereka anggap sebagai
Ibunya sendiri. Rasa sayangku semakin bertambah kepada anak-anak didikku ini.
Mereka ini anak-anak yang sangat bersemangat, penuh rasa ingin tahu, cerdas,
namun sangat polos. Belum banyak mengerti tentang kehidupan ini, mengingat usia
mereka yang masih sangat belia.
Dari pikiran-pikiran tentang cinta
yang mereka ungkapkan, aku dapat menyimpulkan bahwa pemahaman mereka tentang
cinta, 100 persen dipengaruhi oleh pandangan-pandangan mengenai cinta yang
mereka lihat di jagad hiburan. Dari sinetron, film, video klip, lagu, novel
teenlit, jejaring sosial, dll, yang kesemuanya sangat dangkal, instant, sumir,
dan terkesan sangat gampangan.
Aku tak akan membahas tentang cinta
yang remeh temeh dan naif yang Dzikra dan teman-temannya tanyakan kepadaku
itu. Insyaallah aku dapat menjawabnya dengan baik, lagi pula bukan itu tujuan
aku menulis ini. Sudah banyak orang membahas soal cinta,bukan ? Aku hanya
sedang berfikir soal anak didikku yang bernama Dzikra dan teman-temannya itu.
Kebanyakan murid- muridku datang dari
keluarga kaya, yang Ayah Bundanya sama-sama sibuk beraktifitas di luar rumah.
Meski sebagian besar dari para orang tua ini sangat concern pada pendidikan
anak-anaknya, namun mereka memiliki keterbatasan waktu untuk memberikan
perhatian penuh pada putra-putrinya itu.
Sebagai contoh ya Dzikra ini. Sejak
bayi sampai duduk di bangku SMP boleh dibilang dia anak Baby Sitter. Ketika
masih bayi merah, dari mulai bobok dikelonin, ngompol, minum susu, disuapi,
semua Baby sitternya yang mengurusinya. Dan asuhan baby sitter ini terus
berlanjut sampai usia Dzikra menginjak remaja. Ketika akhirnya Baby sitternya
berhenti bekerja, sekarang Dzikra diurusi oleh beberapa pembatu rumah tangga
di rumahnya yang bak istana. Orang tua Dzikra sebagaimana orang tua lainnya
kadang mengungkapkan rasa bersalahnya kepadaku. Betapa sebagai orang tua,
perhatian mereka terhadap anak sangat minim. Ingin hati memperhatikan mereka
seratus persen namun apa daya, tugas pekerjaan tak dapat ditinggalkan.
Akhirnya, alih-alih perhatian, pendampingan, dan pembinaan, para orang tua
super sibuk ini melimpahi anak-anaknya dengan gadget terkini, dan fasilitas
serba melimpah.
Akibat minimnya perhatian orang tua
sudah kita ketahui bersama. Banyak anak-anak yang akhirnya berkelakuan liar,
tidak tahu sopan santun, melanggar norma, sampai ke tahap yang menyedihkan
yakni terjerembab ke dunia hitam semisal menjadi pecandu narkoba, melakukan
seks bebas, pornografi, melakukan bullying, tawuran, dan hal-hal negatif
lainnya.
Beruntung Dzikra dan teman-temannya
adalah anak yang baik. Meski terkesan anak gaul, perilaku mereka cukup
terkendali. Tutur katanya sopan, dan tidak terlibat perbuatan yang negatif
sekecil apapun termasuk merokok dan mencontek yang dilarang keras di sekolah
kami.
Aku kadang berpikir dan merenung,
mungkin itulah sebabnya anak-anak ini sangat sering minta curhat padaku dan
kepada guru-guru lainnya. Di sekolah berasrama seperti sekolah kami (boarding
School) guru adalah pengganti orang tua. Semua siswa tinggal di asrama. Kami
selalu ada bersama mereka, dengan frekuensi kehadiran yang jauh melebihi
keberadaan orang tua kandung disisi mereka. Anak-anak ini sangat merindukan
perhatian dari orang dewasa. Sangat ingin dipahami, setidaknya didengarkan isi
hatinya.
Kami para guru memperlakukan mereka
tidak sekedar sebagai murid sekolah. Kami mendidik ketaatan kepada Allah,
mengajari ilmu, membina akhlak, mendampingi, menemani, melatih keterampilan,
dan menyayangi mereka seolah mereka adalah anak-anak kami sendiri. Bayangkan
betapa besarnya tanggung jawab kami. Namun demikian, Aku dan teman-temanku
dengan senang hati melakukannya. Masalahnya berapa banyak anak di negeri ini
yang seberuntung Dzikra, mendapat pendidikan yang baik dan guru-guru yang
penuh perhatian ? Lebih banyak anak-anak remaja di luar sana yang hidup di
jalan, padahal bukan anak jalanan, berkeliaran di mall-mall di jam sekolah,
terlibat pergaulan yang tidak baik yang memadamkan masa depan mereka. Sedih
sekali hatiku jika mengingat itu.
Jika kita meluaskan pandangan ke
depan, anak-anak seperti Dzikra ini sangat perlu dibantu. Jika orang tuanya
tidak dapat memperhatikan dan membina, maka masyarakatlah yang harus
melakukannya, dalam hal ini para guru dan siapa saja yang merasa orang dewasa
yang menaruh perhatian terhadap masa depan anak-anak muda di negeri ini.
Kita harus lebih banyak meluangkan
waktu untuk peduli pada kehidupan anak-anak di sekitar kita, dengan segala
upaya sekecil apapun. Karena ini sangat penting agar anak-anak muda pengganti
kita kelak, tidak menjelma menjadi generasi hedonik yang lemah dan anti sosial.
Mengapa aku tidak menghimbau orang tua ? Aku rasa sungguh terlalu jika orang
tua harus dihimbau-himbau. Bukankah itu sudah otomatis menjadi tanggung jawab
mereka ? Mengapa tidak bisa memperhatikan anak ? Kalau gak bisa ngurus anak ya
jangan punya anak dong, jangan bikin anak dong ! Ups ..
Akhir kata, aku hanya ingin
mengatakan bahwa tugas sebagai pendidik ternyata sangat menyenangkan, meski
tanggung jawabnya sangat berat. Aku merasa memiliki andil-meski kecil- dalam
membesarkan dan memandirikan mereka. Aku hanya bisa tersenyum sambil meneteskan
air mata haru, kala anak-anak didikku yang telah menjelma menjadi guru, dosen,
dokter, pengacara, akuntan, bersilaturahmi ke almamaternya dan mencium tangan
kami para gurunya. Itulah kebahagiaan terbesar kami para guru : menyaksikan
murid-muridnya sukses dan bahagia dalam hidupnya.
Kedepan, tanggung jawab kami para
Pendidik akan semakin besar. Zaman semakin sulit dan kurikulum pun sebentar
lagi akan mengalami perubahan. Teman-teman sudah pada tahu kan, bagaimana
perubahan dan eksesnya ? Nah sebesar itulah tantangan yang kami hadapi. Tapi
kami tidak takut. Kami sudah berpengalaman menjadi pion pendidikan yang carut
marut, bukan ? Yang penting kami laksanakan semua tugas kami dengan lurus hati,
penuh tanggung jawab, dengan sikap profesional, dan didorong kecintaaan yang
besar terhadap anak-anak Indonesia.
Selamat mendidik !
Salam sayang,
Bu anni - Sukabumi
Ps : kata Dzikra, "menikah
dengan siapa itu soal nasib yang kita bisa upayakan sendiri. Tapi jatuh cinta,
itu masalah takdir yang kita tidak bisa mengelak. Kita cuma bisa bedoa ".
Hmm .. Kadang anak sebelia Dzikra bisa sangat benar ya. Jadi jangan
sekali-sekali sepelekan anak-anak muda. Atau mereka akan hilang dari kehidupan
kita.
No comments:
Post a Comment