Sewaktu aku
mengunjungi ibuku di Bandung, aku bertemu dengan adik iparku di sana dan
kamipun asyik mengobrol karena rindu sudah lama tak bertemu. Sedang asyik
ngobrol gitu, tiba-tiba keponakanku (anak adik iparku itu) yang baru berumur 2
tahun berlari-lari keluar dari toilet tanpa celana dalam. Spontan aku
menegur bocah perempuan kecil itu. ” Eh Ade, kok nggak pakai celana ? iih malu
dong. Ayo, pakai celana dulu. Sini dipakein sama Bude ! “
Mendengar kata-kataku itu, kakak si Ade yang juga anak perempuan balita berumur
4 tahun, dengan kalem menimpali, ” iya Ade, malu kan nggak pake celana, nanti
vagina nya kelihatan ! “
Dhegg !!
Spontan jantungku serasa mencelot keluar saking kagetnya. Untung saja
nggak sampai berhenti berdetak. Hampir aku tak mempercayai telingaku, mendengar
bocah cilik yang baru berumur 4 tahun, dengan lancar dan fasih menyebut kata VAGINA. Refleks aku melotot ke arah
adik iparku - mama para bocah itu - dan dia membalas memandangku dengan tatapan
” ada yang aneh ?”
Haduh, ini siapa yang error sih. Aku atau adik iparku ya? Akhirnya setelah
terbengong sejenak, buru-buru aku memakaikan celana dalam kepada ponakan
cilikku itu, kemudian sang Mama meminta mereka bermain di ruang TV.
“Kenapa kamu
ngajarin si Kakak ngomong seperti itu ?” Tanpa basa-basi aku langsung
menginterogasi adikku.
” Lho, memangnya kenapa ? ada yang salah ?”, jawabnya.
” Salah sih enggak, cuma nggak lazim aja anak segede itu ngomongin istilah yang
serem kaya gitu “. Jawabku dengan ekspresi heran. Kok bisa-bisanya adik iparku
ini nggak ngerti ada yang salah dengan omongan si Kakak tadi.
” Kalau begitu, si Kakak harus diajarin istilah apa dong untuk menyebutkan alat
vitalnya ?”, balas adikku. Dia terlihat mulai serius. Dibetulkannya letak kaca
mata minusnya, seraya kedua tangannya membenahi kerudung panjang warna krem
bermotif bunga kecil-kecil cokelat yang meliliti leher dan kepalanya.
“Kenapa
nggak diajarin kata KEMALUAN aja ?”
Jawabku yakin.
” Kemaluan ? Itu kan nggak jelas jenis kelaminnya”, sanggah adikku.
“Istilah kemaluan itu tanpa gender, karena dapat digunakan untuk kedua jenis
kelamin, laki-laki dan perempuan. Sementara anak-anak sedari kecil sudah harus
diajari perbedaan antara kelamin laki-laki dan perempuan yang memiliki nama
berbeda. Si Kakak dan si Ade sudah tahu kok, kalau kelamin laki-laki itu
namanya penis, dan kelamin perempuan itu namanya vagina. Mereka juga sudah tahu
bagaimana perbedaan bentuknya “. Begitu adikku menjelaskan panjang lebar. Sampai
terbelalak aku dibuatnya.
Aih, oalah,
OMG, Gustiii … dunia sudah mau kiamat nih keknya ! Tapi gimana ya,
omongan adikku itu memang bener kok. Sangat bisa diterima oleh akalku. Memang
begitulah seharusnya.
” Oke, kamu benar kalau begitu. Tapi ingat, sekarang tugas kamu adalah menjaga
agar si kakak dan si ade nggak sembarangan mengumbar kata-kata itu, di
sembarang tempat dan di depan orang banyak, karena ini Bandung, karena
ini Indonesia, dan karena kata-kata itu masih berkonotasi sangat saru. OK ? “.
Begitulah aku menasihati adikku, yang dibalas dengan senyuman bandel adik
iparku yang masih muda dan cerdas itu. Setelah itu aku memutuskan mengganti
topik pembicaraan. Ogah berpanjang-panjang eh berlama-lama membahas soal
kemaluan. Malu kan.
Adik iparku
memang sudah benar. Dan begitulah seharusnya para ibu muda atau para orang tua
muda memberikan pendidikan seks kepada anak-anaknya. Zaman sudah menjadi
sedemikian maju, dan anak-anak harus dipersiapkan beradaptasi dengan perubahan
yang sangat cepat itu. Pendidikan seks harus diberikan sejak dini. Anak-anak
berhak mengetahui nama-nama anggota tubuh dan fungsinya, termasuk dalam bahasan
ini adalah mengenal organ genitalnya. Mereka berhak mengetahuinya, karena
dengan demikian, kelak di kemudian hari mereka diharapkan dapat menjaga,
merawat, dan menghargai organ genitalnya itu dengan baik.
Saya jadi
teringat pada kata-kata salah seorang dosenku. Kata beliau, ketika kita
bermaksud memberikan pendidikan seks kepada anak-anak yang berusia masih sangat
muda, maka biasakanlah menggunakan nama-nama ilmiah untuk menyebut organ
intim. Penyebutan kata “Kelamin” atau “Kemaluan”, hanya akan menyebabkan
kebingungan pada anak tentang fakta perbedaan gender. Kata-kata tersebut boleh
digunakan untuk bahasa formal, atau untuk alasan sopan santun. Dan ini yang
penting dicamkan, hindarkan mengajari anak nama-nama jenis kelamin dengan
bahasa daerah, karena entah apa alasannya, penggunaan bahasa daerah untuk organ
kelamin akan memberikan kesan porno. Juga jangan menggunakan analogi untuk
menyebut alat kelamin, semisal “burung” sebagai pengganti kata penis, dan
sebagainya, karena anak akan mengalami mispersepsi.
Yang penting
diingat juga oleh para pasangan muda ketika memberikan pendidikan seks pada
anak adalah, berikan penjelasan tentang masalah seksual ini dalam koridor
ajaran agama yang kita anut. Hal tersebut sangat urgen mengingat anak-anak
diharapkan berkembang menjadi pribadi yang bertanggung jawab dan memegang teguh
norma agama dalam kehidupan seksualnya ketika mereka dewasa nanti.
Selanjutnya,
pendidikan seks tidak sama dengan pendidikan bercinta. Jadi jangan ajari anak
umpamanya teknik foreplay, cara memuaskan istri, posisi bercinta, dsb, karena
bukan itu tujuan pendidikan seks bagi anak-anak, disamping memang belum saatnya
mereka mengetahui sejauh itu.
Yang ini juga
penting lho, lakukan pendidikan seks ini dengan serius. Artinya, serius suasana
dan serius pula ekspresi wajah ketika kita memberikan penjelasan. Sekali kita
menjelaskan sambil bercanda, bergurau, main-main, maka sejengkal lagi kita akan
memasuki dunia pornografi bersama anak-anak kita. Naudzubillah …
Nah, itulah
petuah Bapak dosenku yang masih aku ingat sampai sekarang. Selebihnya, aku
yakin banyak diantara teman-teman kompasianer yang lebih berkompeten untuk
membahas tuntas masalah sex education bagi anak-anak ini.
Masalah
seksualitas memang tak pernah habis dibahas. Baik secara terang-terangan atau
diam-diam. Sambil cekikikan atau bisik-bisik. Di hotel berbintang, di bangku
sekolah, di kantor, di angkot, atau di gang-gang sempit. Semua dengan motifnya
sendiri-sendiri. Jika tidak hati-hati, bukan mustahil anak-anak kita akan
terpapar “pendidikan” seks yang salah kaprah. Pastikan mereka mengetahui
informasi seputar seks dari tangan pertama yang bertanggung jawab, yakni dari
orang tua dan guru. Pastikan agar mereka tidak malu bertanya yang membuat
mereka harus berselancar di dunia maya dan tersesat di situs mesum.
Jangan juga terlalu percaya pada buku pegangan yang tidak selektif,
seperti LKS bermasalah tempo hari yang mengungkap soal nikah siri,
istri simpanan, selingkuh, dll. Itu sih jelas-jelas ngaco.
Dan ini yang
tak kalah pentingnya : bekali diri kita dengan ilmu pendidikan seks yang benar,
kemudian menyingkirkan semua rasa jengah, rikuh dan malu. Ingat, zaman sudah
berubah, dan yang kita hadapi adalah buah hati kita sendiri. Mengapa harus
malu.
Nah, selamat
mendidik ya teman-teman :)
Salam sayang,
Anni
sumber
ilustrasi gambar :
www.wide-wallpapers.net
www.mahalo.com
No comments:
Post a Comment