Ada
pemandangan berbeda yang kulihat di sepanjang perjalanan, saat pergi dan pulang
mudik kemarin.Pemandangan khas yang selalu berulang setiap tahun menjelang
tanggal 17 Agustus. Pemandangan semarak, yang selalu mempengaruhi suasana
hatiku. Suasana hatiku yang tak pernah hilang, meski telah puluhan kali kulihat
pemandangan serupa itu.
Kota-kota
yang kami lalui, tampil lebih meriah dari biasanya. Para penduduk rupanya telah
mempercantik kotanya dengan hiasan bendera dan kain berwarna Merah – Putih
serta hiasan aneka rupa, seakan sebuah perhelatan besar akan segera berlangsung
di setiap sudut kota-kota itu. Kulihat juga orang-orang mulai menghiasi gapura
di mulut-mulut gang dengan segala hiasan dan tulisan-tulisan yang berisi
rangkaian kalimat yang klise, namun masih menyisakan gelora semangat di dada
kami.
Bendera
dan kain berwarna Merah – Putih itu dipasang melingkar, berpilin, berpita,
melengkung, atau melambai dengan anggun di atas tiang bendera dari besi atau
sebatang bambu, gagah menentang langit yang biru. Aku senang merasakan
kegembiraan dan sebersit semangat yang tersemat diantara lipatan-lipatan dan kibaran
bendera itu. Tak sabar rasanya untuk segera tiba di hari yang ditunggu-tunggu
itu.
Jangan
ganti bendera negara kita dengan bendera kelompokmu
Aku
senang
melihat bendera kebanggaan negeriku terpasang, terpancang, tersemat di setiap
jengkal dinding kotaku. Tak hanya senang, namun juga ikhlas. Ini adalah
bendera kami, bendera kita, lambang kedaulatan bangsa kita, lambang harga diri
dan kehormatan kita sebagai sebuah komunitas manusia yang disebut bangsa.
Bersama-sama dengan Bahasa Indonesia, mata uang Rupiah, lambang negara Garuda
Pancasila, lagu kebangsaan Indonesia Raya, dan konstitusi UUD 1945, Bendera
Merah –Putih adalah lambang negara yang tak boleh diganggu gugat bangsa lain.
Kami
rakyat jelata, boleh saja hidup sangat sederhana , kurang berpendidikan, tak
mempunyai pekerjaan yang patut dibanggakan, dan kurang berbudaya. Tak mengapa
kami dianggap seperti itu, yang penting kami masih setia kepada Negara
Indonesia yang sangat kami cintai ini. Namun ada satu hal yang kami ingin
engkau mengingatnya baik-baik. Meski kami hanya rakyat kecil yang lemah, jangan
sekali-kali mengganggu bendera Merah- Putih kami, atau kami akan berperang
mengangkat senjata demi membela harga diri kami. Kami rakyat kecil yang
sehari-hari mencari nafkah di jalan raya, di pertambangan nan jauh di bawah
tanah, di pengeboran minyak tengah samudera, menjaga hutan belantara , dan
menjaga wilayah negara di tapal batas, tak takut mati ! karena kami sudah
terbiasa sangat dekat dengan kematian. Apalagi jika kematian itu berarti membela
kehormatan dan kebenaran, kami lebih tidak takut lagi. Camkan itu !
Kami
tak takut melawan musuh sekuat apapun, namun sungguh, kami sangat takut jika
harus berhadapan dengan saudara kami sendiri. Lihatlah sebagian saudara kami
yang ada diujung satu dan di ujung satunya lagi negeri ini. Mereka berniat
mengganti bendera Merah- Putih dengan bendera mereka sendiri. Kami hanya dapat
bersedih. Kami tak ingin berperang menumpahkan darah melawan mereka. Mereka
saudara sekandung kami, tak mungkin kami berhadapan senjata dengan mereka.
Kami
hanya berharap para pemimpin kami, tak hanya pandai berasyik masuk dengan
syahwat politik mereka yang sangat rakus akan kekuasaan, namun juga cekatan
dalam menyelesaikan konflik diantara bangsa ini. Bukan tanpa alasan
saudara-saudara kami itu marah dan mengambil sikap bermusuhan. Saudara- saudara
kami itu, sudah sejak lama merasa ditelantarkan oleh pemerintah, merasa
diabaikan di kampung halamannya sendiri. Jika kalian rakyat besar tidak segera
mengakhiri ketidak adilan ini, bukan mustahil, saudara- saudara kami itu akan
benar-benar memisahkan diri dan mendirikan negara sendiri. Tentu saja kami tak
ingin hal itu sampai terjadi.
Hanya
kedamaian, ketenteraman, dan keamanan yang kami harapkan dari negeri ini. Atau
apakah harapan kami itu terlampau besar ? kalau benar begitu , lalu harus
kepada siapa lagi kami menggantungkan harapan, jika tidak kepada engkau para
pemimpin kami ?
Jangan
ganti juga bendera kami dengan baliho bergambar wajah caleg
Oh
ya, kami juga tak berdaya melawan saudara kami yang ini, yang kami tak tahu
siapa mereka. Mereka yang wajahnya terpasang di baliho-baliho berukuran raksasa
di sepanjang jalan raya. Kata orang, mereka itu calon wakil rakyat, yang
nantinya akan duduk di lembaga yang terhormat untuk mewakili dan membela kami
rakyat kecil. Itu sebabnya wajah mereka terpajang disana, agar kami dapat
mengenali mereka, menghafal nama, nomor urut, dan partai mereka. Meski
sebetulnya, semakin memandang foto mereka semakin ingin muntah saja rasanya
kami ini.
Tak
tahan kami memandangi wajah mereka berlama-lama. Wajah-wajah yang bening,
licin, berkilat, sehat , cantik dan tampan, khas wajah rakyat besar yang kaya
dan berpendidikan. Namun entah mengapa, selalu saja tertangkap senyum yang
terlampau dibuat-buat, kaku dan tidak tulus. Tak jarang juga kami menangkap
sorot mata culas dan senyuman tamak yang begitu gamblang terlukis di wajah
mereka. Kami tahu, sungguh tak adil kami menilai mereka, hanya karena kami tak
mengenal mereka , hanya sekedar memandang foto, atau hanya karena mereka bukan
sanak saudara dan teman kami. Kami hanya sudah muak dengan politik yang
dipermainkan oleh para pemimpin kami. Kami hanya sudah hilang harapan kepada
para pemimpin yang selalu ingkar janji dan tak dapat dipercaya.
Ada
perasaan tak ikhlas menyelusupi hati kecil kami, saat kami dapati pemandangan
kota kami yang tadinya indah, jadi tercemar oleh wajah-wajah yang terpampang di
baliho-baliho itu. Perasaan yang tak kami miliki manakala kami memandang
manakala kota kami disemaraki oleh hiasan bendera merah putih di sana-sini.
Namun apa daya kami ? kami tak bisa berbuat apa-apa dengan baliho-baliho itu.
Meski tak senang, kami tak berani menurunkannya, atau kami akan ditangkap
polisi atau dipukuli orang-orang berseragam entah apa. Tapi tak mengapa, meski
tak berdaya kami punya cara sendiri untuk melawan mereka : tak akan kami
datangi TPS hanya untuk mencoblos gambar mereka ! jangan harap, meski mereka
telah memberi kami amplop berisi uang 50 ribu. Suara kami tak bisa dibeli
semudah itu. Kami hanya akan memilih orang yang terbukti dapat dipercaya, meski
wajahnya tak kami dapati di baliho-baliho itu. Jangan pernah mengira kami
bodoh, hanya karena kami miskin.
Jangan
ejek cara kami merayakan hari kemerdekaan
Kami
rakyat kecil boleh saja tak terlalu mengerti arti kata nasionalisme manatah
lagi patriotisme. Yang kami tahu, setiap tanggal 17 Agustus kami boleh berlibur
sehari. Boleh tidak bekerja dan tidak bersekolah, lalu kami boleh bermain,
berlomba dengan teman sekampung, dalam sebuah acara yang sangat kami tunggu-
tunggu. Acaranya sederhana saja dan selalu berulang itu-itu saja dari tahun ke
tahun, namun kami tak pernah bosan memainkannya. Tarik tambang, balapan makan
kerupuk, balap karung, lomba membawa kelereng dalam sendok, lomba memasukkan
benang ke dalam jarum, lomba menangkap dan memasukkan Belut ke dalam botol,
lomba panjat pinang berhadiah sandal jepit baru, kaos bagus, mie instant,
termos air panas dan masih banyak lagi. Ah ingin sekali kami mendapatkan semua
barang-barang itu, meski wajah dan tubuh kami harus belepotan oli. Tak ada
kegembiraan melebihi kegembiraan kami di sehari itu.
Tapi
kami dengar orang-orang besar mengejek cara kami merayakan 17 Agustusan. Mereka
bilang, apa hubungannya lomba makan kerupuk dengan kemerdekaan bangsa ini ? apa
kaitannya panjat pinang berlumur oli dengan jiwa nasionalisme ? ah mana kami
tahu, kami kan rakyat kecil. Mereka sendiri pasti sudah tahu jawabannya, karena
mereka pintar. Jadi buat apa bertanya, macam orang bodoh saja.
Mereka
terus mengejek kami, tapi tak pernah kami dengarkan ocehan mereka. Untuk apa
kami peduli ? lihat saja mereka yang mengejek kami itu. Kata mereka, semua
lomba-lomba itu tak ada hubungannya dengan makna proklamasi. Yang penting
tunjukkan karya nyata. Tapi kelihatannya mereka hanya pandai berbicara saja,
karena karya yang nyatapun mereka tak punya. Masih jauh lebih baik kondisi
kami. Setiap hari belajar dan bekerja membanting tulang, berbuat sesuatu yang
berguna untuk negeri ini meski kecil saja artinya, lalu setahun sekali
bergembira memperingati hari kemerdekaan.
Orang-
orang besar yang mengejek kami itu, mungkin hanya sesekali merayakan hari
kemerdekaan. Itupun di kantor- kantor mereka yang mewah. Mengikuti upacara
bendera dengan setengah hati seraya terus melirik Blackberry nya ketika bendera
dikerek ke atas tiangnya, dan tergagap saat harus menyanyikan lagu kebangsaan
Indonesia Raya sebab tak hafal syairnya.
Dan
kini lihatlah akibatnya, mereka orang-orang kaya dan pintar –pintar yang
mengejek kami itu, bersorak –sorai kegirangan ketika kemarin kesebelasan yang
hebat-hebat dari negeri Inggris membobol dan mencukur habis gawang PSSI di
depan matanya sendiri. Sampai heran kami dibuatnya. Apakah mereka ini sudah tak
waras lagi ?. Merekapun hanya bisa menghina TNI ketika tentara kita itu menjaga
lautan kita yang sangat luas dengan kapal patrol yang sederhana, kalah canggih
di banding kapal nelayan negeri tetangga. Dan orang – orang besar itupun hanya
bisa tertawa mengejek saat menunjukkan indeks korupsi negera ini yang masih
sangat memprihatinkan. Padahal boleh jadi, justru merekalah pelaku korupsi itu.
Sangat memalukan. Itulah akibatnya kalau hanya pandai mengejek tapi tak punya
solusi.
Untung
ada lomba-lomba, kalau tidak anak-anak kami akan menjadi manusia anti sosial !
Apakah
cara kami yang naïf dalam merayakan hari kemerdekaan masih juga akan engkau
ejek ? terserah ! Tapi kami akan tetap melaksanakannya setiap tahun. Kami akan
tetap mengajak anak-anak kami mengikuti semua lomba-lomba yang ceria dan
menyehatkan badan itu. Anak-anak kami sudah lama terbelenggu oleh segala macam
permainan virtual dan sosialisasi semu di dunia maya. Kami harus kurangi itu.
Kami
harus memperkenalkan kepada mereka, bahwa di negeri ini ada permainan rakyat
yang jauh lebih menarik dan manusiawi. Akan kami ajari mereka cara
bersosialisasi secara manusia kepada manusia secara nyata. Akan kami tanamkan
kesadaran kepada mereka bahwa ada teman mereka yang nyata, yang tinggal
bertetangga RT, bahkan bersebelahan rumah, yang tak pernah saling bertegur sapa
sebab mereka lebih asyik berinteraksi dengan gadgetnya masing-masing. Jika
dibiarkan terus berlarut, sejengkal lagi anak-anak kami akan menjadi makhluk
yang anti sosial.
Kami
akan terus menyelenggarakan dan mengikuti semua lomba- lomba itu, meski acara
itu dianggap tidak relevan dengan makna kemerdekaan. Mereka tidak tahu saja,
bahwa justru melalui permainan dan lomba-lomba sederhana inilah, kami rakyat
kecil dapat benar-benar merasakan arti kemerdekaan. Kami bebas sejenak dari
kesibukan yang begitu membelenggu, kami bebas berinteraksi dan memperbaharui
persaudaraan dengan para tetangga kami, kembali merasakan arti kata gotong
royong . Gotong royong menyelenggarakan semua perlombaan ini, bergotong royong
menyediakan dana sebab kami tak bisa mengharapkan bantuan dari pemerintah.
Gotong royong menyediakan hadiah sederhana bagi anak – anak yang memenangkan
lomba. Gotong royong. Ah benar- benar kata yang kian asing saja dari
perbendaharaan bahasa kami.
Di
hari kemerdekaan yang hanya satu hari itu, kami sungguh berbahagia, dan merasa
benar-benar menjadi rakyat Indonesia yang merdeka. Sederhana sekali bukan ? ya
begitulah, kami memang rakyat kecil yang sederhana. Kami rakyat kecil, akan
tetap menyelenggarakan dan mengikuti semua lomba untuk memperingati hari
kemerdekaan negeri ini, dan meresapi atmosfer kebahagiaan yang menyeruak hingga
langit-langit perkampungan dan kota tempat tinggal kami. Kami cinta negeri ini,
dan kami akan tetap setia pada negeri ini, selamanya. Merdeka !
Salam
sayang,
Anni
No comments:
Post a Comment