Bermula dari wacana tes keperawanan bagi
seluruh siswi SMA di wilayah kota Prabumulih yang dilontarkan oleh pihak Dinas
Pendidikan setempat, tes keperawanan jelas merupakan topik panas yang sangat
menarik untuk diperbincangkan. Saya sangat antusias mengikuti arus
pemikiran para penulis mengenai hal ini. Bukan masalah pro dan
kontranya, namun argumentasinya yang memang sangat memikat untuk dicermati.
Saya berkesimpulan bahwa baik penulis yang setuju maupun tidak setuju dengan
gagasan tes keperawanan itu, sama-sama memandang bahwa ada sebuah persoalan
krusial yang menimpa moralitas bangsa kita, yang coba diselesaikan oleh pihak
pemerintah melalui sebuah kebijakan yang dinilai sangat sumir dan terkesan
panik. Namun saya memiliki pendapat saya sendiri tentang hal ini.
Wacana
Basi Bernama Tes Keperawanan
Saya masih ingat betul, di tahun
80-an warga kota Bandung termasuk kedua orang tua saya, dibuat senewen dengan
kabar akan dilaksanakannya tes keperawanan bagi semua siswi yang akan memasuki
jenjang SMA. Saya yang pada waktu itu baru lulus SMP dan tengah bersiap-siap
mendaftar ke sebuah SMA Negeri, sempat ciut hati melihat kegelisahan orang
tuaku, meski sebetulnya saya tak mengerti betul, apa yang akan saya lalui nanti
dengan tes tersebut, dan apa sesungguhnya yang dikhawatirkan oleh orang tuaku.
Syukurlah rencana menghebohkan yang sempat dibahas berhari-hari di harian
Pkiran Rakyat itu tak jadi dilaksanakan. Saya tak tahu pasti apa alasannya,
namun boleh jadi sebab terlalu derasnya kritikan dari masyarakat.
Lalu di pertengah tahun 1990 an,
saat saya duduk di bangku perguruan tinggi, kembali saya mendengar wacana tes
keperawanan dilontarkan oleh seorang pejabat publik di kota Bandung, entah oleh
siapa saya tak ingat lagi. Kala itu rencana inipun kembali memicu perdebatan
sengit di kalangan masyarakat, baik dari kubu pro maupun kontra. Kami para
mahasiswa pun turut terimbas heboh berdiskusi panas dengan topik ini, meski
akhirnya rencana itu dibatalkan pihak pemerintah.
Tak selesai sampai disitu, awal
tahun 2000 dan 2006 kembali publik diresahkan oleh pemberitaan tentang rencana
berbagai daerah yang mewajibkan setiap siswi yang telah duduk di bangku SMP dan
SMA untuk menjalani tes yang terdengar musykil itu. Dan lagi-lagi kesemuanya
berakhir dengan pembatalan entah mengapa.
Ketika kemudian saya membaca sebuah
berita yang menyebutkan pihak Dinas Pendidikan kota Prabumulih berencana
mewajibkan semua siswi SMA menjalani tes keperawanan, tentu saya sudah tidak
merasa terkejut lagi. Saya hanya bisa menghela nafas yang semakin berat
menyesaki dada saya.
Bukan rencana tes keperawanan bodoh
itu benar yang membuat sesak dada saya, namun masalah maha besar yang ada
dibalik semua kehebohan itu. Sebuah kerusakan moral yang dahsyat telah
melumatkan sebagian besar generasi muda bangsa ini. Kerusakan yang sangat
sistemik, yang sangat sulit dicarikan solusinya, ditengah ketiadaan teladan
dari para pemimpin, ditengah kian tergerusnya nilai-nilai agama dan budaya di
tengah-tengah bangsa kita. Wajar saja jika pihak pemerintah yang merasa gagal
membina generasi muda, merasa galau lantas berpikir untuk menyelesaikan masalah
besar itu dengan segera, meski akhirnya mereka malah tampak terkesan gegabah
dan tak mengedepankan logika.
Tes
Keperawanan Merupakan Teror Mental Bagi Anak-anak Gadis Kita
Mencoba untuk berempati dengan
kagalauan dan ketakutan yang dirasakan anak-anak perempuan siswi SMP dan SMA
menghadapi tes keperawanan, kembali saya terkenang saat pertama kali mendengar
kabar tentang rencana akan digulirkannya tes keperawanan bagi calon siswi SMA
di kota Bandung tahun 80 an dulu.
Tes keperawanan. Apa pula itu ? aku
mau diapakan nanti ? apakah aku akan disuruh membuka semua seragamku di depan
dokter-dokter dan membiarkan mereka memeriksa dan meneliti kemaluanku ? apakah
rasanya sakit saat diperiksa nanti? apakah nanti saya malah akan kehilangan
keperawanan sama sekali ?. Begitulah berbagai pertanyaan dan ketakutan
menghinggapi hati saya. Saya yang ketika itu masih berumur 15 tahun, remaja
yang tahunya hanya pergi dan pulang sekolah, latihan pramuka, lalu menghabiskan
waktu selebihnya dengan membaca buku , bermain bersama adik , dan menonton TV
bersama keluarga di rumah saja, merasa ketakutan setengah mati membayangkan tes
yang sangat mengerikan itu.
Meski saya tak pernah sekalipun
disentuh oleh laki-laki, saya sungguh tak tahu bagaimana kondisi selaput
daraku. Apakah masih berada di tempatnya dengan baik, ataukah sudah hilang ?
bukankah saya sering bermain sepeda ? bukankah tak sekali dua kali saya
terjatuh saat berlatih Pramuka dulu ? bukankah saya sering berlari, meloncat
dan bergerak pecicilan saat berolah raga senam di halaman sekolah ?. Kata orang
– orang pandai yang tulisannya saya baca di koran-koran, selaput dara bisa
rusak juga akibat gerakan seperti itu, tak hanya oleh hubungan seksual semata.
Nah, bayangkan saja ketakutan yang menghantuiku dan teman-temanku saat itu.
Padahal kami ini gadis baik-baik, manatah lagi ketakutan yang melanda perasaan
teman-teman kami yang termasuk anak gaul dan bandel-bandel.
Membayangkan kami harus duduk dalam
antrian panjang yang beku dan bisu, lalu nama kami disebut satu demi satu,
memasuki ruangan yang dipenuhi peralatan medis yang menyeramkan, lalu membuka
pakaian di depan tatapan tajam para dokter, membentangkan kaki lebar-lebar di
hadapan mereka dan membiarkan segala peralatan memasuki kemaluan kami, adalah
sebuah teror yang tak sanggup kami tanggungkan. Kami ini masih sangat belia,
baru 15 tahun, 16 tahun, 17 tahun ! kata orang tua kami, bahkan kami ini masih
kecil ! apa salah kami sehingga kami diperlakukan seperti itu ,seolah kami
adalah gadis nakal ? . Baru membayangkannya saja perutku sudah mual dan mau
muntah. Ketakutan , cemas, gelisah, dan marah, begitu menguasai hati dan
menekan perasan kami para gadis yang saat itu akan memasuki jenjang SMA.
Jangan
Hinakan Anak- Anak Perempuan Kita
Kini sebagai seorang Ibu dan seorang
Ibu Guru, kembali perasaan- perasaan negatif itu menguasai pikiranku lagi.
Apalagi yang akan mereka lakukan terhadap jutaan anak perempuan baik-baik di
negeri ini ?. Anak- anak perempuan yang serius bersekolah menuntut ilmu, yang pandai
menjaga diri dan kehormatannya dalam pergaulannya, yang hanya memilih kegiatan
positif untuk mengisi waktu senggangnya, yang taat beribadah dan berusaha
sekuat tenaga menjaga nama baik diri dan keluarganya ?.
Mengapa mengusik ketenteraman
anak-anak gadis yang baik –baik ini dengan rencana yang sangat potensial
menjatuhkan mental mereka ?. Tak dapatkah sedikit berempati, betapa jutaan
anak-anak gadis kita hidup dalam kemiskinan, lantas pemimpin kita alih-alih
meringankan beban kehidupan mereka , malahan menambah lagi beban pikiran
anak-anak gadis yang tak bersalah itu. Jika sudah begini, rasanya tak ada lagi
yang dapat diharapkan dari pemimpin negeri kita.
Tak hanya anak-anak gadis itu yang
merasa ketakutan dan marah. Kita para orang tua dan gurupun merasakan hal sama,
bukan ?. Tak ikhlas dan merasa terluka jika anak-anak gadis kita dijadikan
objek sebuah kebijakan pemerintah yang tak jelas konsep dan arahnya. Tes
keperawanan jika benar-benar dilaksanakan, akan merupakan sebuah pelanggaran
HAM yang berat, melecehkan harkat kemanusiaan anak-anak kita, serta hanya akan
mengakibatkan seluruh dunia mentertawakan betapa “ hebat ” nya cara pemimpin
kita memperlakukan warga negaranya.
Tentu saja kita tak menutup mata
dengan kenyataan begitu banyaknya remaja yang telah terjerumus begitu rupa
dalam pergaulan bebas tanpa batas. Ini adalah sebuah permasalah besar, yang
harus dihadapi dan diselesaikan bersama. Mengapa harus anak-anak yang
menanggung semua resikonya ?. Jangan sampai kita berkelakuan bak pepatah “ Buruk rupa cermin dibelah “.
Pertanyaan sederhana yang seharusnya dijawab adalah, sampai dimana peran orang
tua, keluarga, guru, masyarakat, dan pemimpin negeri ini mendidik, membina, dan
mengawasi anak-anaknya ? mengapa anak-anak sampai terjerumus ke dalam pergaulan
hitam seperti itu ? ataukah jangan-jangan kita orang dewasa memang sudah tak
punya muka lagi di hadapan anak-anak itu, sebab kitapun berkelakuan tak jauh
berbeda dengan mereka , para remaja yang belum pandai benar menggunakan akalnya
?
Hentikan
segala kebijakan yang menyakiti hati anak-anak
Wahai kalian para pemimpin yang kami
beri amanah, jangan pernah melontarkan lagi wacana tes keperawanan tak
berperasaan itu sampai kapanpun. Hentikan menyakiti hati anak-anak kita
sekarang juga. Anak-anak itu, berkelakuan baik atau buruk, adalah makhluk yang
harus dilindungi, yang jika melakukan kesalahan harus segera dibantu, bukannya
semakin digelapkan masa depannya. Jangan pernah menghakimi anak-anak kita,
apalagi menempelkan cap negatif kepada anak-anak yang berbuat salah, karena
boleh jadi kita sebagai orang dewasa turut andil dalam kesalahan itu.
Tes keperawanan itu, jika memang
jadi dilaksanakan, akan membuat anak-anak gadis kita terpecah dalam tiga status
: perawan, tidak perawan karena hubungan
seksual, dan tidak perawan karena sebab yang halal. Yakinkah anda dapat
menanggung gejolak yang dahsyat dengan timbulnya strata sosial baru yang anda
ciptakan itu ?. Jangan pernah lagi mencalonkan diri menjadi pemimpin jika anda
tidak mampu berpikir seratus tahun kedepan seperti Soekarno – Hatta – Syahrir
dan lain-lain para pendiri negara kita ! .Kami tak sudi punya pemimpin yang tak
membela dan melindungi warga negaranya. Bukan untuk menyakiti hati anak-anak,
kami memberi anda kepercayaan dan membayar anda dengan gaji yang besar !
Menjaga
Moral Adalah Tanggung Jawab Bersama
Memang tak mudah menjaga moral
bangsa di tengah kusut masainya permasalahan bangsa dan ditengah dahsyatnya
pengaruh budaya luar yang tak sesuai dengan nilai-nilai moral kita. Namun sulit
bukan berarti tak mungkin.
Jika kita beruntung memilik
anak-anak yang baik dan pandai menjaga diri dan kehormatannya, maka jagalah
terus mereka, karena menjaga keluarga adalah tanggung jawab kita sampai mati.
Dan jika anak-anak kita terlanjur bersentuhan dengan pergaulan negatif,
segeralah bantu mereka memulihkan fisik dan terutama mentalnya agar kembali ke
jalan yang benar. Mengembalikan kepercayaan diri, dan memanusiakan anak-anak
yang salah jalan, adalah cara terbaik yang bisa dilakukan, bukan dengan menguji
apakah mereka masih perawan, masih perjaka, ataukah tidak.
Bukannya sama sekali kita ini buta
akan latar belakang wacana tes keperawanan yang kerap dilontarkan. Siapa
orangnya di Republik ini yang tidak merasa prihatin, merasa miris, melihat
angka-angka prosentase pergaulan bebas di kalangan remaja yang terus meningkat
dari waktu ke waktu ? .Mengapa tidak kita jadikan saja latar belakang itu untuk
merancang sebuah kebijakan yang komprehensif, yang merangkul semua kalangan ?
sebuah kebijakan yang lebih menentramkan dan relatif mudah dilaksanakan ?
Bukankah bertabur cerdik pandai
negeri ini ? mengapa tidak melibatkan mereka lebih jauh lagi. Lagipula bukankah
pemerintah dilengkapi dengan sejumlah kementrian yang seharusnya dapat bekerja
lebih efektif ketimbang hanya sibuk mengurusi pencitraan diri ?
Jangan lagi bicara soal ketiadaan
dana. Silahkan hitung sendiri uang rakyat yang ditilap para pejabat publik.
Uang dalam jumlah besar yang seharusnya lebih dari cukup untuk menggulirkan
berbagai program yang dapat lebih melindungi dan memberdayakan anak-anak kita
!. Atau jangan-jangan, justru disitulah letak permasalahannya ! para pemimpin
pemerintahan dan pemuka agama negeri ini sudah melupakan ajaran bahwa pemimpin
yang tidak amanah, hanya akan menyebabkan kehancuran negerinya !
Salam sayang,
anni
Bila ada tes keperawanan harusnya ada tes keperjakaan juga ya bu...?
ReplyDeletePadahal saya tadina mau daftar jadi petugas tes nya