Beberapa hari terakhir ini media berita online sedang
banyak menyiarkan kabar tentang para
selebriti baik dari kalangan dunia hiburan maupun kalangan atlet, yang berpindah agama karena berbagai sebab. Seseorang berpindah agama sebetulnya
bukan barang baru lagi. Sejak dulu juga sudah ada kasus seperti ini. Hanya
saja, jika kasus ini menimpa selebriti, maka beritanya akan dibuat lebih
menghebohkan.
Sebagaimana lazimnya jika kita membaca suatu berita
dengan topik tertentu, maka kita akan melihat ratusan tautan berita dan artikel
yang topiknya berkaitan dengan topik berita yang sedang kita baca. Karena topik
berita yang sedang saya baca berkaitan dengan tema pindah agama, maka link yang
terpampangpun, memiliki kata kunci serupa, yakni : pindah agama, ganti
keimanan, berpindah keyakinan, murtad, dll yang bermakna kurang lebih sama.
Di era teknologi informasi yang sudah canggih seperti
sekarang ini, entah untuk menarik minat pengunjung atau alasan lainnya,
media online selalu tampil dalam format interaktif. Artinya, untuk setiap
berita yang ditampilkan, media online yang bersangkutan akan menyediakan kolom
komentar bagi para pembaca. Para pembaca yang kebanyakan anonim dipersilahkan
mengomentari berita-berita yang telah dipublish. Meskipun telah dicantumkan
disclaimer oleh admin tentang ketentuan berkomentar, namun siapa yang mampu
mencegah seorang anonim untuk berkomentar sesuka hatinya sendiri ? kalaupun
admin akan menghapus komentar – komentar yang dinyatakan melanggar disclaimer,
seumpama karena komentar tersebut penuh dengan kata-kata umpatan, maki-makian,
hujatan, pornografi, menghina SARA, dsb, siapa pula orangnya yang bisa menjamin
bahwa komentar tersebut tidak terlanjur dibaca oleh pembaca lainnya ?
Dan ketika saya membaca berbagai
pendapat yang mengomentari
berita atau artikel tentang pindah agama, bukan main sesak dada saya. Betapa
komentar-komentar itu sarat dengan sumpah -serapah, kebencian, kemarahan, dan
kutukan. Seolah saya sedang menyaksikan perang antar agama telah pecah di
negeri ini, melalui sekotak kecil kolom komentar di media online . Seringkali
perdebatan akhirnya memanjang dan melebar kesana-kemari tanpa arah tujuan lagi.
Kadang jadi bingung, apa yang sebetulnya sedang diperdebatkan ? fokusnya sudah
tak jelas sama sekali. Yang penting bisa saling hujat, saling mencaci -maki,
saling mengejek sepuas hati. Tak peduli tuntunan moral tentang adab berbicara
dengan sesama manusia yang diajarkan agama.Tak
peduli dengan segala
sopan santun yang diajarkan orang tua di rumah dan guru di sekolah, tak peduli apapun. Yang penting bisa
saling serang, bisa bersikap garang, dan menabuh
genderang perang !
Perang kata-kata yang lebih tak beradab lagi bisa kita
dapatkan jika kita mengakses situs Youtube yang mengunggah video-video dengan
topik pindah agama. Lebih dahsyat lagi caci- maki dan saling hujat yang
dilontarkan disana. Lihat saja lagak orang – orang yang ada di video – video
itu. Mereka yang berpindah keimanan itu,
dengan lantang dan fasih membangga-banggakan agama barunya seraya
menjelek-jelekkan agamanya yang lama. Sampai
kesal saya dibuatnya. Apa maksud dia memprovokasi sampai seperti itu ? apa dia
pikir dengan begitu dia sudah menjadi pahlawan bagi agamanya yang baru ? nanti
dulu !
Agama adalah hak asasi manusia yang dilindungi konstitusi
Di negara
Indonesia memeluk suatu agama sesuai dengan keyakinan pribadi adalah hak asasi
yang dilindungi dan dihormati oleh konstitusi. Konsititusi tertulis negara kita
yakni Undang – Undang Dasar 1945 dalam pasal 29, secara tegas menyebutkan :
Negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa (ayat 1), dan negara menjamin
kemerdekaan tiap- tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing- masing dan untuk
beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu (ayat 2).
Lebih jauh lagi, dasar negara Pancasila pun mencantumkan
kalimat “ Ketuhanan Yang Maha Esa “ dalam sila pertamanya. Berdasarkan premis
kebebasan memeluk agama sebagaimana yang tercantum dan tersirat dalam konsitusi
UUD 1945 dan dasar negara Pancasila, maka kesimpulan yang harus diambil adalah,
memeluk suatu agama sesuai dengan keyakinannya, bukan hanya merupakan hak,
namun sekaligus merupakan kewajiban bagi seluruh rakyat Indonesia. Ini yang
menyebabkan paham atheisme tidak memungkinkan untuk secara legal tumbuh dan
berkembang di Indonesia.
Masalahnya,
bangsa Indonesia bukanlah tipe masyarakat yang mudah patuh begitu saja pada
aturan yang telah disepakati demi kepentingan bersama. Hanya ada satu bangsa di dunia ini yang
punya semboyan “ Aturan itu dibuat untuk dilanggar “, yaitu bangsa kita, bangsa Indonesia.
Entah nenek moyang yang hidup di zaman mana yang mengajarkan kita falsafah hidup tersebut. Yang jelas, kenyataan di masyarakat menunjukkan
hal serupa itu memang benar terjadi. Setiap ada suatu peraturan dibuat, maka
yang pertama kali dipikirkan adalah mencari titik lemah aturan tersebut, agar
dapat disiasati ( aka : jika melanggar tidak terkena
sanksi hukum ) demi kepentingan pribadi dan golongannya.
Begitu pula halnya dengan aturan mengenai kebebasan beragama.
Alih – alih mengartikan kebebasan beragama sebagai sebuah lahan yang subur bagi
kita untuk beragama secara benar, beribadah sesuai dengan tuntunan agama kita, dan menjalankan kehidupan toleransi antar umat beragama
dengan harmonis, makna kebebasan beragama malah dipelintir sedemikian rupa
menjadi “ Bebas dari Agama”. Bukannya memaknai kebebasan beragama sebagai “Freedom of Religion“ , melainkan “ Freedom From
Religion “. Ini adalah kesesatan berpikir yang sangat khas masyarakat
Indonesia. Senang dengan formalitas, senang
bermain kata-kata, hingga melupakan substansi. Logika
dipermainkan hingga seolah – oleh benar, padahal salah kaprah. Akibatnya
makin banyak
saja masyarakat Indonesia terutama dari
kalangan generasi muda yang menyatakan tidak lagi beragama alias Atheis. Hal ini dapat dilihat
dari maraknya situs-situs bertema atheis di dunia maya. Padahal Atheisme jelas
– jelas bertentangan dengan dasar negara Pancasila dan konstitusi UUD 1945.
Kesesatan berpikir yang kedua adalah, memelintir kata “ kebebasan beragama “, dengan “bebas
memeluk agama semaunya sendiri “. Kalau sudah bosan dengan satu agama,
boleh diganti dengan agama lain, berganti sebanyak yang dia mau. Namanya juga
kebebasan beragama. Tak usah heran jika semakin hari
semakin makin banyak saja orang yang gonta – ganti agama layaknya berganti pakaian. Kalau sudah begini, saya jadi berpikir, ini yang salah bahasa Indonesianya,
atau cara berpikir masyarakat kita ? mengapa benar dan salah menjadi begitu tipis batasnya ? mengapa begitu mudah berganti agama seolah agama bukanlah sesuatu yang sangat berharga bagi
kehidupan manusia ?
Pegang erat –erat keimananmu hingga engkau mati
Pada umumnya kita beragama karena faktor keturunan. Jika keluarga kita beragama B, maka otomatis kitapun akan
beragama B juga. Di satu sisi, kita patut merasa bahagia dan bersyukur karena
keluarga kita telah memilihkan agama terbaik bagi kita, telah mewariskan agama
yang sangat kita banggakan. Betapa besar jasa keluarga bagi keimanan kita.
Namun ketika kita beranjak dewasa, kita
seharusnya menyadari bahwa agama sudah tidak cukup lagi dianggap sebagai warisan
keluarga semata. Harus ada upaya untuk memahami agama kita lebih dalam lagi,
agar kita betul – betul yakin dengan kebenaran agama yang kita anut. Bukan sesuatu yang mudah untuk mempelajari dan menghayati
nilai-nilai keagamaan, jika kita tidak memiliki modal keimanan yang memadai.
Modal keimanan ini seyogyanya ditanamkan oleh setiap keluarga kepada
anak-anaknya sejak mereka berusia dini.
Dilain pihak,
tak sedikit orang yang luput dari keinginan mendalami agama, padahal usianya
sudah kian merangkak tua. Boleh jadi dia tetap taat beragama dan menjalankan
ibadah atau ritual seusai dengan yang diajarkan oleh
agamanya. Namun semua itu dijalani tanpa pemahaman dan penghayatan yang benar, hingga
akhirnya semua ibadah yang dijalani terasa hambar dan kering dari nikmatnya
keimanan. Seseorang memeluk suatu agama dan
menjalankan ibadah karena merasa harus dan wajib, bukan sebagai hak dan kebutuhan spiritual yang mendasar.
Jika ada orang yang bertahan dengan kondisi
gagal paham agama namun tetap taat beragama hingga akhir hayatnya, maka ada juga sebagian orang yang akhirnya tiba pada titik
jenuh, dan mulai bertanya-tanya tentang makna keberagamaan yang selama ini
dijalaninya. Manakala dia datang kepada seseorang yang
tepat, yang akan membimbingnya pada pemahaman agama yang lebih baik,
maka beruntunglah dia. Kemungkinan besar dia akan tetap memeluk erat agamanya
seraya memahami dan menghayati agamanya dengan keimanan yang bertambah hingga
akhir hidupnya. Namun jika tidak, maka akan fatal
akibatnya. Bukannya keimanan yang meningkat yang dia dapatkan, melainkan
kemurtadan yang akan dia jalani.
Di negara kita memang tidak ada larangan untuk berpindah
agama. Namun ada satu hal yang harus digaris bawahi, negara boleh saja
membebaskan kita berganti agama, namun agama MELARANG kita berganti
agama, karena keluar dari agama adalah sebuah dosa yang sangat besar !. Sekali kita memeluk agama, maka peganglah agama kita itu sampai ajal menjemput kita. Pertahankan sekuata tenaga, apapun yang terjadi.
Taatlah dan patuhlah pada ajaran agama kita, jika kita ingin selamat di dunia
dan di akhirat nanti. Yakinilah kebenaran agama kita, dengan jalan
mempelajarinya dan banyak bertanya pada ahli agama yang akan banyak membantu
kita. Jangan datang pada orang yang salah, karena bisa fatal akibatnya.
Bukannya peningkatan keimanan yang kita dapatkan,malah justru agama kita
lepas sama sekali.
Murtad
dan mendapat Hidayah ( petunjuk ) adalah dua sisi mata uang yang saling
berdekatan
Lalu bagaimana jika seseorang sudah berketetapan hati
untuk berpindah agama ke agama yang baru ? Ya kita kembali lagi ke konsep awal,
bahwa agama adalah hak asasi setiap manusia, dan setiap manusia
berhak mencari jalan keimanannya sendiri. Hanya saja ada satu hal yang harus
diingat : janganlah membiasakan memandang segala sesuatu dengan kaca mata kuda
, atau menilai sesuatu dengan dua warna hitam dan putih semata.
Murtad (keluar
dari agama) dan Hidayah (petunjuk) itu ibarat dua muka mata uang yang bersisian,
tergantung dari sudut mana kita memandangnya.
Sebagai contoh sederhana, seseorang katakanlah bernama Bayu, keluar dari agama B lalu berpindah ke agama C. Apakah Bayu termasuk seseorang
yang murtad, atau seseorang yang mendapat petunjuk ? kemungkinan jawabannya
bisa banyak, bukan ? namun akan ada dua kutub ekstrem yang menilai Bayu sebagai
seseorang yang murtad, dan di sisi lain sebagai seseorang yang mendapat
petunjuk.
Dalam kasus ini, umat yang memeluk agama B tentu akan
memandang Bayu sebagai seorang yang murtad, seorang pendosa yang telah
menukarkan keimanannya demi alasan yang tidak dapat diterima apapun itu.
Sebaliknya, umat yang beragama C tentu akan memandang Bayu sebagai seseorang
yang telah mendapat hidayah, mendapat petunjuk, yang selayaknya diterima dengan
tangan terbuka dan senang hati, sebagai saudara seiman yang baru.
Berdasarkan contoh tersebut, dapat disimpulkan bahwa
penilaian terhadap Bayu sangat relatif, tergantung di kubu mana kita berdiri,
dan kita berhak menilai Bayu sesuai dengan subjektifitas kita. Saya berhak
menilai Bayu murtad, sebesar anda yang berbeda agama dengan saya, berhak
menilai Bayu sebagai seorang yang mendapat petunjuk.
Yang tidak ada hak adalah jika Bayu atau siapapun itu,
setelah berganti agamanya, lantas menjelek-jelekkan dan menghujat agama lamanya
kesana-kemari, seolah ingin menunjukkan bahwa dia kini sudah menjadi orang yang
paling beriman. Dia rekam kesaksiannya dalam berbagai kesempatan, lalu dia
unggah video itu ke situs-situs yang dapat dengan mudah diakses oleh jutaan
pemirsa. Tujuannya untuk mengumumkan tentang keimanannya yang baru, seraya
menunjukkan betapa buruknya ajaran agamanya yang lama. Alih-alih berkhotbah atau
berdakwah untuk kebaikan, justru kebencian dan kemarahan yang telah dia
sebarkan kepada umat yang tadinya tak memiliki kebencian apapun terhadap agama
lainnya.
Sudah terlalu banyak kemarahan dan kebencian di negeri ini
Ketika seseorang berpindah agama, hendaklah dia tidak
menyebarkan kebencian terhadap umat beragama yang dahulu dia peluk. Tak ada
manfaatnya sama sekali. Sekarang umat beragama sudah tak lagi mudah dibodohi.
Apakah dia mengira dengan semakin gencar dia mengobarkan kebencian, maka akan
semakin besar juga simpati yang dia peroleh dari saudara seimannya yang baru ?
belum tentu ! bukan tidak mungkin justru rasa antipati dan teguran keras yang
dia dapatkan.
Orang-orang sekarang sudah muak, sudah gerah dengan segala
perpecahan, dengan segala pertikaian di negeri ini yang seolah tak ada ujung
pangkalnya. Mayoritas masyarakat Indonesia lebih mengidamkan kehidupan yang
tenang, tenteram dan damai.
Jika anda berpindah keimanan, tak perlulah menghujat,
menjelek-jelekkan agama lama anda, karena sama sekali bukan begitu cara yang
benar dalam menunjukkan keimanan. Tunjukkan saja dengan perilaku yang santun,
dengan kesalehan, dengan ketaatan beribadah, dengan berbuat baik kepada sesama,
tak perlu lagi banyak bicara. Nanti juga orang-orang akan menilai sendiri
bagaimana keimanan anda yang sesungguhnya. Dan jika anda memang benar orang
yang beriman, anda toh tak membutuhkan penilaian dari sesama manusia.
Sudah terlalu banyak kemarahan dan kebencian di negeri ini.
Kami tak membutuhkan lagi kebencian dan kemarahan baru yang anda tebarkan.
Semakin gencar anda menghujat, akan semakin tampak jelas kebodohan dan
kepicikan anda. Jika anda masih belum juga mengerti, harap diingat saja, bahwa
diantara umat beragama yang anda jelek-jelekkan dan hujat itu, masih ada Ayah-Bunda,
kakak-adik, sanak -saudara, sahabat, dan teman yang sangat menyayangi anda.
Pikirkan saja perasaan mereka, jika anda menghujat keimanan mereka.
Semoga bermanfaat, dan selamat menanamkan keimanan pada
anak-anak tercinta. Salam damai buat semuanya, mohon maaf sebesar – besarnya
jika ada kekeliruan dalam artikel ini, tak ada maksud apa-apa selain karena
terbatasnya pengetahuan saya.
Salam sayang,
anni
No comments:
Post a Comment