Ada satu kejadian yang membuatku tak
bisa tidak tertawa geli jika kembali mengingatnya. Kejadiannya sepele saja
sebetulnya, dan saya sangat yakin, pasti kejadian itu sama sekali tak
disengaja, meski akibatnya lumayan fatal bagi orang yang menyadarinya.
Jadi begini kejadiannya…
Beberapa hari lalu saya pergi ke
warung yang ada di depan rumah saya untuk membeli sesuatu. Warungnya lumayan
besar dan menyediakan aneka sembako, gas, air isi ulang, dan jajanan anak-anak.
Pemilik sekaligus penjaga warung itu adalah seorang Bapak muda yang umurnya
kira-kira 35 tahunan, orang Sunda, ramah, dan baik hati dalam melayani
pelanggannya. Hanya memang si Akang Warung (begitu kami ibu-ibu di
kompleks menjuluki Bapak ini), orangnya polos banget, dan suka rada nggak
“ngeh”, kalau dibecandain sama ibu-ibu. Segimana dibecandainnya, si Akang
Warung ini bergeming, cuma terenyum dengan ekspresi wajah lempeng abis. Wah,
beruntung sekali ya istri Akang Warung, punya suami yang tak mudah tergoda oleh
ibu-ibu yang suka rada agresif saat mengharap seratus – dua ratus harga diskon,
he he … (tapi aku mah nggak suka agresiipp, beneran deh.)
Tiba- tiba ….
Saat itu di warung ada beberapa
ibu-ibu yang hendak berbelanja termasuk saya. Biasalah namanya juga ibu-ibu
nggak bisa to the point kalau berbelanja. Suka diselingi ngobrol, sebab kalau
nggak ketemu di warung, kami sangat jarang bertemu dan mengobrol. Lagi asyik
ngobrol gitu, tiba-tiba kami dikejutkan dengan kedatangan seorang perempuan
yang berprofesi sebagai PRT tetangga kami. Sebut saja namanya Ceu Lilis. Nah
Ceu Lilis ini rupanya sedang sangat terburu-buru, sampai harus menyeruak
kerumunan ibu-ibu, dan mengatakan sesuatu yang membuat jantung ibu-ibu hampir
copot saking kagetnya. Tapi kelihatannya dia tidak sadar dengan apa yang
diucapkannya, sebagaimana dia tak menyadari akibat dari ucapannya itu terhadap
ibu-ibu yang sedang berkumpul di warung itu. Apa sih yang dia omongin sampai
kami segitu terkejutnya?
Beli Penis
“Kang…! ada penis yang kecil, nggak?
Beli satu yang warnanya pink,“ gitu Ceu Lilis ngomong kenceng banget tanpa
tedeng aling-aling.
“Nggak ada Ceu, ada juga penis yang
besar.“
“Ya udah Kang, nggak apa-apa yang
besar juga, enakan yang besar, lebih awet. “
* * * * * guuubbrraaakkss….! Ibu-ibu
yang lagi ngeriung di warung langsung pada pingsan. !@#$%^&*^ !! * * * * *
*
illustration-feedio.net
Haduuhh… ampuunn Ceu Lilis. Sehabis
membuat kehebohan dan mendapatkan penisnya, dia langsung membayar, nyengir
sekilas kepada ibu-ibu yang sedang terpana, lalu balik kanan tanpa sedikit pun
meninggalkan rasa bersalah. Dan Si Akang Warung, asli wajahnya polos banget,
seolah-olah tidak ada kejadian istimewa yang baru saja berlangsung. Bayangkan!
Bagaimana dia tidak menyadari, bahwa sedetik lalu baru saja terjadi transaksi
jual-beli penis di tempat bisnisnya yang terhormat ini, dengan penawaran ukuran
besar dan kecil! wedeeeww…
Bukan Penis, tapi Vanish
Seusai kejadian yang mengejutkan
itu, ibu-ibu tak mudah begitu saja membubarkan diri. Sehabis berbelanja
keperluan masing-masing, kami masih merasa perlu membahas kejadian barusan,
tentu dengan bumbu di sana-sini, yang membuat kami semakin ngakak
terpingkal-pingkal. Maklum, namanya juga ibu-ibu, paling seneng kalau ngobrolin
yang kek gituan, hehe… (tapi aku mah enggak. Cuma dengerin doang, sumpe dee…).
Selidik punya selidik, ternyata Ceu
Lilis itu sedang mencuci dan disuruh membeli sesuatu oleh majikannya. Yang
dibeli Ceu Lilis itu adalah Vanish, sebuah merek produk pembersih noda
pakaian. Dasar Ceu Lilis, Vanish kok dibilang Penis. Ini kan fatal banget…
Maklum namanya juga orang Sunda,
memang sangat terkenal sulit melafalkan kata-kata yang mengandung huruf V
atau F. Semuanya diucapkan dengan konsonan P saja. Bahkan kadang
ada juga orang Sunda yang menuliskan sebuah kata yang seharusnya menggunakan
hurup F namun karena dia terbiasa mengucapkan kata tersebut dengan hurup
P, maka dia pun menuliskan kata tersebut dengan huruf P. Misalnya kata Efektif
ditulis menjadi Epektip, dst.
Tentu saja tak semua orang Sunda
seperti itu. Contohnya suamiku, normal-normal saja dan tak pernah keliru dalam
melafalkan mana huruf F dan mana huruf P. Saya juga punya banyak teman orang
Sunda yang tak pernah terbalik-balik dalam melafalkan kedua huruf tersebut.
Mengapa suku Sunda sering mengalam
kesulitan dalam mengucapkan huruf F dan V, lalu mengubahnya menjadi P? Dari
literatur yang saya baca, penyebabnya tak lain adalah faktor budaya, dalam hal
ini bahasa. Bahasa Sunda memang secara tradisi tidak mengenal konsonan F/V. Hal
ini terlihat dalam susunan alphabet Sunda yang memang tidak memiliki fonem yang
berbunyi F/V. Jadi wajar saja jika orang Sunda yang dalam kesehariannya hanya
berbicara dalam bahasa Sunda, semisal Ceu Lilis ini, tak terbiasa mengucapkan
kata berhuruf F/V, dan menggantinya dengan konsonan P.
Kalau begitu ini hanya soal
pembiasaan saja sebetulnya. Tak peduli orang Sunda atau orang manapun, jika
terbiasa, terlatih berbicara, mengeja, dan menulis dengan benar, tentu pada
akhirnya akan terbiasa dan mampu juga mengucapkan huruf F/V atau konsonan
apapun dengan benar.
Tapi bagaimanapun, saya tertarik
juga dengan insiden Ceu Lilis ini. Saya jadi semakin mengenal perbedaan dan
keunikan suku-suku di negeri tercinta ini, semakin memaklumi konteks
pembicaraan seseorang, dan semakin senang ke warung alih-alih ke swalayan,
karena selalu ada hiburan gratis yang menyegarkan. Vanish kok dibilang Penis.
Wqkqkqk ….
Semoga terhibur ya teman-teman, mari
sejenak melupakan harga gas yang melambung tinggi. No hard feeling, OK
Salam sayang,
No comments:
Post a Comment