Memang asyik kalau punya Ibu yang
menjadi saksi banyak peristiwa bersejarah di negeri ini. Ibuku berusia 76
tahun, dan mengalami kehidupan di enam masa yang berbeda. Masa penjajahan
Belanda, pendudukan bala tentara Jepang, masa agresi militer Belanda, masa orla,
masa orba, dan hingga kini masa reformasi. Meski sudah sepuh tapi ibu saya
tidak pikun. Ingatannya masih jernih, terutama ingatan tentang masa mudanya.
Saya kan ibu guru yang mengajar mata pelajaran Kewarganegaraan dan mata pelajaran Sejarah untuk kelas XII di sekolah. Kadang saya bertanya pada ibu saya tentang
suatu peristiwa sejarah tertentu. Sebagai jawabannya Ibu akan menjelaskan
dengan detail, dari sudut pandang dirinya sebagai rakyat kecil yang jujur dan
apa adanya, tanpa dipengaruhi oleh isme politik tertentu. Dari penuturan
ibuku itu, saya mendapat banyak sekali sudut pandang yang berbeda namun sangat
menarik, yang tidak saya temui dalam buku-buku referensi sejarah yang digunakan
di sekolah. Ini salah satu contohnya. Ceritanya bikin malu bangsa Indonesia
lho, meski menurut saya sih lumayan menarik.
Awal kisah …
Ibu saya suka menggoda-goda anak
atau cucu-cucunya yang bergaya dengan kaca mata hitam , dengan kalimat, ” wah
gaya banget, kaya Markonah “. Mendengar itu mulanya saya tak acuh saja.
Saya menganggapnya sebagai guyonan biasa. Tetapi. Setelah beberapa kali
mendengar itu, akhirnya saya bertanya pada ibu, siapa itu Markonah. Dan inilah
cerita beliau yang presisi dengan kisah Markonah yang saya dapatkan dari hasil
Googling.
Akhir tahun 50-an. Pemerintah
Kerajaan Belanda masih belum juga menyerahkan Irian Barat seperti yang telah
dijanjikan dalam Konferensi Meja Bundar di Den Haag pada 1949. Bung Karno jadi
geram dengan kebijakan Belanda yang selalu mengulur-ulur waktu itu. Tak pelak
lagi, pada 1961 kesabaran Sang Putra Fajar telah habis. Ia pun menabuh
genderang perang melawan mantan penjajah, dengan mengobarkan komando “Trikora”
. Ini adalah operasi tempur yang lebih dikenal dengan operasi pembebasan Irian
Barat.
Demi mensukseskan perjuangan
tersebut, Bung Karno membutuhkan dukungan dari seluruh rakyat Indonesia. Untuk
itu sebagaimana galibnya gaya bung Karno, prograndapun disebar ke seluruh
pelosok tanah air, bahkan beliau sendiripun sampai blusukan ke daerah-daerah
untuk berpidato dan bertemu langsung dengan rakyatnya.
Kedatangan Ratu Markonah dan Raja
Idroes, penguasa suku Anak Dalam
Syahdan di tengah menghangatnya suhu politik di dalam negeri, dan gelora di
dada para pemuda yang sudah tak sabar ingin segera terjun ke medan laga
menghajar musuh bebuyutan, beberapa daerah di Indonesia digemparkan dengan
kedatang sepasang ratu dan raja yang mengaku sebagai pemimpin tertinggi suku
anak dalam dari rimba belantara Jambi. Ratu dan raja itu bermaksud berkeliling
Indonesia untuk melihat-lihat daerah di luar wilayah kekuasaan mereka. Para
pejabat di daerah -daerah yang mereka sambangi, dibuat blingsatan tak keruan
dengan kunjungan mendadak ini. Sambutan penuh kebesaranpun dilaksanakan dengan
secepat kilat demi menghormati saudara yang selama ini terisolasi secara budaya
dari saudara-saudaranya yang lain di tanah air Indonesia.
Di Ibu kota sendiri, ( menurut
Sejarawan Universitas Indonesia - Anhar Gonggong ) tak ada hujan tak ada angin,
tiba-tiba salah seorang pejabat setempat tergopoh-gopoh menemui Bang Karno dan
mengabarkan bahwa telah tiba di Jakarta ratu dan raja penguasa suku Anak Dalam
dan ingin bertemu dengan bung Karno.
Tak menunggu lebih lama lagi, Bung
Karnopun segera memerintahkan penyambutan besar-besaran bagi tamu agung yang
datang dari jauh. Hotel berbintang, restoran mewah, dan wisata ke pulau
Dewata pun telah disiapkan, demi mengajuk hati sang ratu dan raja yang
terhormat, dengan harapan agar seluruh suku Anak Dalam turut mendukung
sepenuhnya perjuangan Trikora.
Dan inilah Ratu Markonah dan Raja
Idroes yang ditunggu-tunngu itu. Menurut ibu saya, yang ketika itu tinggal di
Jakarta dan turut bersama penduduk Jakarta menonton kedatangan pasangan ratu
dan raja itu dari pinggir jalan, Ratu Markonah dan Raja Idroes berdandan sangat
mewah dan berpenampilan sangat meyakinkan. Ratu Markonah mengenakan kaca mata
hitam yang tak pernah dilepasnya. Konon kaca mata ini untuk menutupi luka
(cacat ?) pada salah satu bola matanya. Tapi, masih menurut ibu saya, (dan
ibu-ibu yang ketika itu turut menontonpun berpendapat sama) meski berpenampilan
mewah, tapi herannya mereka itu kesannya kampungan banget alias norak abis.
Entah apa yang menyebabkan kesan itu, pokoknya norak saja.
Ternyata mereka adalah Ratu dan Raja
Palsu
Masih menurut ibu saya, beberapa
hari kemudian, penduduk Jakarta dan seluruh rakyat Indonesia dibuat tercengang
dan heboh setengah mati, dengan kabar yang menyebutkan bahwa Markonah dan
Idroes sama sekali bukan ratu dan raja. Mereka hanyalah ratu dan raja palsu
alias bohong-bohongan !
Lho, bagaimana itu bisa terjadi ? Ya
bisa saja. Begini pasalnya. Setelah beberapa hari berada di Jakarta dan
kerjanya cuma makan-minum dan tinggal di hotel berbintang dalam gelimang
kemewahan, sang ratu dan raja abal-abal berkeliling Jakarta untuk
melihat-lihat. Nah disanalah kedok mereka terbongkar. Salah seorang penduduk
mengenali Idroes sebagai seorang penarik becak di sana, dan dipanggil-panggilah
si Idroes itu oleh penduduk tadi. Ya sudahlah, bubar semua sandiwara indah
selama ini. Ya nasib, ya nasib, mengapa begini …
Mana mungkin kisah ini tertulis
dalam buku sejarah
Ya ampun, jadi si Markonah sama si
Idroes itu bukan ratu dan raja ? Ya bukan, sama sekali bukan ! Idroes
adalah penarik becak di Jakarta, sementara Markonah adalah seorang perempuan
PSK dari daerah Tegal Jawa Tengah. Halah parah …
“ Malu-maluin banget “,
komentarku. ” Heran deh. Kok bisa-bisanya bung Karno yang sehebat itu diperdaya
sama orang -orang gokil kayak mereka “.
” Ya bisalah “, jawab Ibu. Kan dulu nggak ada TV, nggak ada internet. Koran
juga masih sedikit. Bagaimana orang tahu, yang mana raja asli dan mana raja palsu”.
Apapun pendapat masyarakat kala itu,
begitulah yang terjadi. Bung Karno dan para pejabat tinggi negara RI yang
pandai -pandai dan berwibawa itu, telah ditipu mentah-mentah oleh
Markonah dan Idroes, rakyat jelata yang terbukti punya taktik lebih cerdas,
kreatif, dan jitu ( meski jelas - jelas ngaco dan nyebelin ) dalam
mengelabui orang pintar sekelas presiden. Apa boleh buat 1- 0 untuk Markonah
dan Idroes.
Akhir kata, karena ini adalah
peristiwa yang bikin malu, maka jangan harap kisah ini akan ditemui dalam
buku-buku sejarah anak-anak kita. Nggak bakalan. Sebab kalau ditulis, apa kata
duniaa …
Begitulah sekilas lintas peristiwa
bersejarah yang masih dikenang oleh ibu saya. Moral ceritanya cukup jelas : yang
pertama, jangan gampang percaya pada orang-orang di sekitar kita.
Tetaplah bersikap tenang, waspada, dan cermat. Yang kedua,
jangan mudah tertipu oleh penampilan serba gemerlapan. Yang ketiga,
mbok ya mikir, memangnya suku anak dalam itu kerajaan apa ? kok ada ratu dan
rajanya segala ? makanya belajar Geografi yang bener ! . Dan yang keempat,
wahai para pemimpin, jangan sekali-kali menganggap remeh rakyat jelata. Karena
kami bisa lebih pintar dan berbahaya dari anda semua. Oleh kerena itu,
waspadalah, waspadalah !
Salam sayang,
Anni
No comments:
Post a Comment