Ini bukan kisah tentang perempuan
jadi-jadian bermake up tebal menor yang menyanyi berlenggak-lenggok menangguk
uang receh di lampu merah. Bukan juga tentang saudara-saudara kita kaum
transgender yang tak beruntung memiliki jiwa perempuan dan terjebak dalam tubuh
laki-laki. Ini kisah tentang perempuan sejati, perempuan baik hati, yang
mendapat hinaan tak terperi, padahal tak sedikitpun ia melakukan kesalahan yang
keji.
Sebuah pesan singkat masuk melalui
ponselku. Dari seorang sahabat lama yang sudah lama tak berjumpa. Pesannya singkat
saja. Namun menimbulkan rasa perih di hatiku, ketika membacanya. ” Anni,
sahabatku sayang, benarkah aku seorang perempuan abal-abal ? Seorang perempuan
palsu, karena rahimku tak berhasil melahirkan bayi sebagai keturunan kami ? “.
Perlu waktu cukup lama bagiku untuk
menjawab pesannya. Lagi, dan lagi kubaca pesan itu. Semakin kubaca, semakin
terbayang wajah sahabatku ini. Senyumnya, pandainya, kebaikan hatinya. Dan
bersamaan dengan itu, terbayang pula seraut wajah manis yang dirundung
kesedihan karena celaan yang sangat melukai hatinya. Betapa banyak perempuan
yang bernasib sama dengannya. Bertahun-tahun mendambakan kehadiran jabang bayi
dari rahimnya, namun tak kunjung jua sang buah hati datang menjelang. Sementara
di tempat lain, tak sedikit pula perempuan yang begitu mudah hamil, namun
mencampakkan begitu saja bayinya sesaat setelah dilahirkan, seolah mereka baru
saja melahirkan sampah.
1.
Mandul itu bukanlah sebuah kesalahan
Ketika kita masih dalam keadaan
gadis, masih bujangan, masih single, apakah kita dapat mengetahui, bahwa suatu
saat nanti kita bakal memiliki keturunan ataukah tidak ?. Jika tubuh kita
baik-baik dan sehat-sehat saja, tak satupun diantara kita benar-benar dapat
mengetahui kondisi kesuburan kita. Tak akan ada pikiran buruk yang melintasi
pikiran kita tentang kemungkinan tak memiliki keturunan dalam pernikahan kita
nanti.
Berbeda halnya jika sejak jauh-jauh
hari kita memang sudah mengetahui kondisi kesuburan kita melalui serangkaian
pemeriksaan medis yang ketat dan teliti. Seumpama ada penyakit di rahim kita,
ada kelemahan dalam sel sperma kita, atau ada gangguan-gangguan lain dalam alat
reproduksi , dsb, yang menyatakan bahwa kita tak mungkin memiliki keturunan,
barulah kita boleh merasa yakin bahwa kita akan sulit mendapat keturunan,
meski itupun belum tentu pasti akan seperti itu hasilnya. Buktinya, keponakan
saya yang oleh dokter dinyatakan memiliki kelainan rahim dan sangat kecil
kemungkinannya memiliki anak, baru satu bulan menikah langsung hamil, dan
sekarang bayinya sudah besar.
Ketika kita menikah dulu, sangat
wajar jika salah satu tujuan pernikahan kita adalah regenerasi, memiliki
keturunan. Keturunan yang akan menghiasi hidup dengan keceriaan, kesibukan, dan
kebahagiaan. Dengan cinta dan harapan akan masa depan yang lebih baik. Puji dan
syukur kita panjatkan pada Allah jika keinginan kita terkabul. Selanjutnya,
sayangi, rawat, dan didiklah titipan terindah dari Tuhan itu dengan
sebaik-baiknya dan dengan sepenuh hati. Namun jika kenyataan yang terjadi
adalah sebaliknya, jika belasan tahun telah berlalu, dan benih itu belum juga
bersemi di rahim kita, apakah itu sebuah kesalahan? sebuah dosa ?
Sahabat saya itu telah menikah 20
tahun. Dan selama itu dia dan pasangannya tak kenal lelah berupaya untuk
memperoleh keturunan. Segala cara telah ditempuh, dari medis hingga pengobatan
alternatif, bahkan berobat hingga ke luar negeri. Semua hasil pemeriksaan
menunjukkan bahwa kondisi badan dan kesehatan pasangan itu baik-baik saja, tak
ada yang salah, dan masih mungkin untuk memiliki keturunan. Dokter menyarankan
untuk bersabar dan menunggu. Sebuah nasihat yang tentu saja sudah mereka
lakukan sejak 20 tahun lalu. Dokter juga menyarankan untuk mencoba program bayi
tabung, namun entah bagaimana kelanjutannya.
2.
Hati- hatilah jika berbicara
Hinaan tentang perempuan abal-abal
itu datang dari ibu mertuanya. Ibu Mertua adalah seseorang yang seharusnya
menjadi ibu kedua bagi seorang menantu. Seseorang yang seharusnya dapat menjadi
teladan karena sikap dan kata-katanya.
Kita semua akan menjadi Ibu dan
Bapak Mertua bagi menantu-menantu kita, kelak di kemudian hari. Kita akan
menjadi orang tua kedua bagi orang-orang yang mencintai dan dicintai anak- anak
kita. Menyakiti hati menantu, berarti secara langsung menyakiti hati anak-anak
kita. Menghina dan memusuhi menantu, hanya akan menempatkan anak kita pada dua
pilihan yang sulit : antara memilih orang tua, atau pasangan yang sama-sama
sangat dicintai.
Menghina menantu dengan kata-kata
“perempuan abal-abal”, hanya karena sang menantu belum melahirkan seorang
bayipun, tidak hanya menyakiti hati sang menantu, namun juga melukai hati
suaminya yang nota bene adalah anaknya sendiri. Dan saya juga yakin, jika ada
orang lain yang turut mendengarkan hinaan itu, tentu merekapun akan turut
tersakiti dengan kata-kata yang tak pantas itu.
Bagi kami yang muslim, kata-kata
adalah doa. Oleh karenanya setiap muslim wajib hanya mengeluarkan kata-kata
yang baik dan tidak melukai perasaan orang lain. Jika kami terlanjur
mengeluarkan kata-kata yang buruk, maka kami wajib memohon ampun kepada Allah
dan meminta maaf kepada orang lain yang telah tersakiti. Begitulah agama Islam
mengajarkan kami etika berbicara. Saya yakin, agama lainpun tentu mengajarkan
etika yang serupa, namun dengan cara dan kemuliaan yang berbeda.
Mengeluarkan kata-kata yang buruk,
apalagi hinaan kepada seseorang, bukan hanya akan berakibat dosa, namun
sekaligus menunjukkan buruknya akhlak sang pemilik kata-kata. ” Perempuan
abal-abal “, adalah hinaan yan sangat menusuk hati dan sangat merendahkan
martabat kemanusiaan. Tak seorangpun pantas mengucapkan kata-kata seburuk itu,
dan tak seorangpun layak menerima hinaan serupa itu. Tak seorang
perempuanpun mengharapkan dirinya dalam keadaan mandul. Memiliki keturunan atau
tidak, benar-benar di luar kekuasaan manusia. Allah yang menciptakan manusia.
Bukan kita, bukan pula ayah-ibu kita.
Sudah terlalu banyak keburukan
di dunia ini. Marilah kita tidak menambahnya lagi dengan keburukan-keburukan
baru. Jika kita tidak dapat memperindah dunia ini, setidaknya tahanlah lisan
kita dari berkata keji, kepada siapapun juga. Dan kepada sahabatku yang kurang beruntung itu, saya hanya dapat mengirimkan
seuntai kalimat yang berisi permintaan agar dia bersabar lagi, tak putus
memohon dan berdoa. Karena nasib manusia tak ada yang tahu. Karena keajaiban
selalu ada bagi siapa saja yang mau mendekatkan diri pada Sang Pemilik segala
keajaiban dan mukjizat di alam semesta ini. Semoga Allah selalu menyayangi dan
memberikan kekuatan kepada sahabatku itu, dan kepada teman-temanku Kompasianer
yang budiman, yang sampai saat ini masih menanti momongan dengan penuh
kesabaran. Semoga kisahku ini bermanfaat ya … :)
Salam sayang,
Anni
No comments:
Post a Comment