Aku penulis yang autis, setidaknya itulah yang aku rasakan. Aku punya dunia sendiri, berpikir sendiri, dan asyik sendiri.
Aku menulis di Kompasiana yang punya anggota puluhan ribu orang, namun
tak satupun yang aku kenal. Kadang aku berinteraksi dengan beberapa
orang yang kebetulan membaca atau sekedar mengklik tulisanku (lalu
dengan segera mengklik icon backwards) yang memberi komentar. Aku jawab
dengan penuh kehati-hatian, karena aku takut, kalau-kalau kata-kataku
akan melukai hati mereka, karena aku tak kenal mereka secara pribadi.
Namun bagiku, mereka yang mencoba berinteraksi denganku, bagaikan
malaikat atau setidaknya bagaikan teman-teman dari negeri di atas awan
yang sangat baik hati. Meski tak mengenalku mereka mau bermurah hati
menyapaku
Aku penulis yang autis. Aku memiliki dunia dan perasaanku sendiri.
Sesekali aku memperhatikan para penulis yang hebat itu. Kadang timbul
kekagumanku ketika kubaca buah pikiran mereka yang begitu mempesona.
Namun tak jarang timbul rasa jijikku, manakala aku baca serangkaian
kata-kata kotor, kasar dan jorok, yang dengan ringan dituliskan di ruang
publik. Tapi tetap saja aku tak peduli, aku tak bereaksi, karena aku
punya duniaku sendiri, karena aku punya pendapatku sendiri. Aku tak
pernah berkomentar manatah lagi merespons, karena aku ingin menyimpan
semua pendapat dan perasaanku untukku sendiri.
Aku penulis yang autis. Aku beranikan diri mengarungi dunia Kompasiana
yang kadang sikap serta kebijakan para adminnya tak dapat kumengerti
sedikitpun. Seringkali aku mendapat perlakuan yang menurutku
mengherankan. Namun aku tak peduli. Bukankah mereka adalah Dewa di dunia
Kompasiana ini? Jadi ya terserah mereka saja, karena aku tak mau ikut
campur, aku tak mau memprotes apalagi beradu mulut dengan mereka,
karena aku punya duniaku sendiri.
Aku penulis yang autis. Pernah sekali kubaca sebuah tulisan yang sangat
naif tentang curahan hati seorang penulis pemula, yang merasa patah
hati akibat tulisan-tulisannya dihina, dihujat sedemikian rupa oleh
temannya yang telah terlebih dahulu menjadi penulis profesional (?).
Aku merasa iba, karena kurasa nasibnya mirip denganku. Namun aku tak
mau melakukan kontak dengannya, karena dia orang asing, dan orang asing
tak boleh masuk dalam duniaku, karena aku punya duniaku sendiri.
Aku penulis yang autis. Pernah kubaca sebuah artikel yang dibaca oleh
puluhan ribu orang, dan alih-alih merasa kagum, aku malah merasa takut
terhadap penulis itu. Aku merasa bahwa orang itu pasti sakti
mandraguna, karena meski dia menulis sesuatu yang sama sekali kosong
makna, namun dia mampu menarik ribuan pembaca. Sebaliknya, aku pernah
membaca tulisan yang sangat indah, namun hanya dibaca 12 orang. Dan aku
merasa sayang padanya, karena tulisannya membuat air mataku mengalir
tanpa terasa. Dia seperti tahu perasaanku. Namun demikian, tetap saja,
aku tak melakukan interaksi dengan keduanya. Baik dengan penulis sakti
itu, atau dengan penulis sunyi itu. Karena aku tak mau terlibat terlalu
jauh, karena aku punya duniaku sendiri.
Aku penulis yang autis, dan aku lebih sering terdiam di duniaku yang
sepi. Duniaku yang sunyi, namun sarat dengan imajinasi dan keindahan.
Keindahan yang hanya dapat kupahami sendiri, yang aku tak ingin
membaginya denganmu. Meskipun begitu, aku menyukai kehidupan ini, dan
aku bisa juga menyayangi orang-orang .
Salam sayang,
anni
sumber gambar : www.probinglife.blogspot.com, www.morror.co.uk
No comments:
Post a Comment