Aku
mengenalnya sebagai seorang teman yang baik. Cara bicara dan sikapnya wajar dan
sopan. Dia juga seorang Suami dan Ayah yang baik kurasa. Hanya saja aku tak
pernah melihatnya dalam keadaan ceria. Perilakunya seperti orang yang sedang
merenung, atau memikirkan sesuatu yang sangat berat. Seolah ada mendung hitam
yang menggelayuti raut wajahnya.. Pandangan mata Diki (sebut saja namanya
seperti itu ) kadang begitu hampa, kosong menatap ruang yang sangat jauh entah
dimana.
Bukan
karena orangnya pendiam makanya aku jarang ngobrol dengannya. Tapi memang karena
dia terlihat seolah selalu berusaha menciptakan jarak diantara dia dengan kami
teman-temannya.
Dalam
sebuah kesempatan menghadiri sebuah acara seminar, kebetulan aku duduk
berdekatan dengannya. Ketika waktu rehat tiba, sejenak aku beristirahat sambil
menikmati teh dan kue-kue yang disediakan panitia, begitu juga Diki yang duduk
di sebelahku. Dia tersenyum padaku, dan mengajakku berbincang. Tadinya aku
tidak menanggapi terlalu serius sapaannya. Kukira hanya basa-basi biasa,
karena memang kami saling mengenal. Sungguh tak kusangka, obrolan selanjutnya,
betul-betul membuat perutku mual, sampai tak sanggup lagi aku menelan rainbow
cake hidangan panitia yang sebetulnya sangat lezat itu.
Di
pertengahan tahun 90-an, Diki baru saja menyelesaikan studi nya di salah satu
institut negeri yang dikenal sebagai lembaga pencetak guru di indonesia. Karena
berkeinginan menjadi pegawai negeri sipil, Diki pun mengikuti tes CPNS, yang
kemudian dinyatakan lulus. Tak lama berselang, keluarlah surat tugas yang
berisi penempatan tugas mengajar di kabupaten Poso. Sebuah daerah yang sama
sekali asing di telinga Diki.
Alih-alih
bingung karena harus mengajar di daerah antah berantah, Diki malah menyambut
dengan antusias tugas tersebut. Berbekal semangat dan idealisme yang tinggi
sebagai seorang fresh graduater, berangkatlah Diki ke tempat yang berjarak
ribuan kilo meter dari kampung halamannya di Sukabumi.
Singkat
cerita, Diki ditempatkan di sebuah Sekolah Dasar di salah satu kecamatan di
Poso. Diki dapat segera beradaptasi dengan daerah dan tempat kerjanya yang baru
itu. Rekan-rekan seprofesi yang telah lebih dahulu bertugas di sekolah itu
menerima sang guru baru dengan tangan terbuka, begitu pula murid-murid disana,
semuanya menyukai Pak Diki yang baik hati dan pandai melucu.
Hingga
tibalah Hari yang kelam itu. Hari yang tak kan pernah terlupakan seumur
hidupnya. Hari yang dalam sekejap mengubah karakter seorang pemuda, dari
periang dan optimistik, menjadi pendiam dan penggugup.
Bermula
dari demam reformasi yang tengah melanda seantero negeri. Seolah wabah yang
menular, dengan cepat demam reformasi ini merasuk ke seluruh pelosok Indonesia,
termasuk ke daerah Poso.
Awalnya
Poso adalah daerah yang aman, tenang dan tenteram. Daerah dengan pemandangan
alam yang indah ini berpenduduk multi etnis dan multi agama. Selama
berabad-abad penduduk Poso hidup berdampingan dengan damai tanpa pernah terusik
oleh banyaknya perbedaan diantara suku dan agama itu. Namun entah dari mana
muasalnya, reformasi yang sejatinya ditujukan untuk memperbaiki keadaan, malah
membuat keadaan Poso semakin memburuk.
Masyarakat
Poso yang tadinya dikenal sebagai masyarakat yang ramah dan toleran, berubah
menjadi masyarakat yang sangat mudah disulut kemarahannya. Masalah kecil yang
pada masa lalu selalu dapat diatasi dengan duduk bersama bermusyawarah secara
damai, kini dalam waktu semalam dapat berubah menjadi perang suku yang
mematikan bahkan perang agama yang mengerikan. Semakin hari sentimen suku dan
agama kian memanas saja. Semua orang yang tak sesuku dan tak seiman dianggap
musuh yang harus diperangi, tak peduli sang musuh bebuyutan adalah tetangga
yang bulan kemarin masih saling berbagi makanan, atau bahkan berstatus mantan
teman satu sekolah yang pada masa lalu sering berangkat ke sekolah, bermain,
dan tumbuh besar bersama-sama di desa yang permai. Tak ada lagi tegur sapa
ramah dan obrolan hangat antar sahabat yang diringi derai tawa ceria. Yang ada
dibenak mereka kini adalah, bagaimana menghabisi nyawa musuh, seraya
mempertahankan diri dari sabetan parang dan golok lawan
Diki
sang Guru muda tanpa daya terjebak di tengah-tengah konflik yang kian
memanas dan bergejolak. Namun demikian, dia masih tetap setia hadir ke kelas
untuk mengajar murid-muridnya yang selalu menunggunya. Pada suatu siang Diki
bertugas mengajar di kelas 4. Di kelas itu Pak Diki yang disayangi
murid-muridnya ini dengan asyiknya menceritakan sebuah kisah lucu, yang membuat
para murid tertawa terpingkal-pingkal. Tiba-tiba … Suara ledakan yang sangat
dahsyat menggetarkan seluruh isi kelas. Suaranya yang keras serasa memecahkan
gendang telinga. Ternyata suara ledakan itu berasal dari sebuah bom
rakitan yang dilemparkan orang yang tidak bertanggung jawab yang jatuh
serta meledak tepat di tengah-tengah kelas tempat Pak Diki sedang mengajar.
Tanpa
dapat dielakkan lagi, langit-langit kelas runtuh seketika, dinding kelaspun
hancur berkeping-keping. Api yang memercik dari ledakan bom dengan cepat
menjalar dan melahap ruangan kelas yang hanya tinggal puing-puing
itu. Diki yang kebetulan berdiri di dekat lemari, kontan tak sadarkan diri
begitu lemari yang terbuat dari jati itu rubuh terkena puing atap
yang ambrol dan menghantam kepala serta menimpa tubuh sang guru.
Nasib mujur rupanya masih berpihak pada Diki. Lemari yang menimpa
tubuhnya itu, rupanya berfungsi melindungi Diki dari ledakan bom. Walhasil Diki
pun dapat keluar dari ruangan kelas yang berantakan, dengan selamat.
Namun
pemandangan di dalam kelas yang hancur berantakan, tak akan pernah terhapuskan
sepanjang hidupnya, menyisakan trauma yang menyesakkan dada dan menyakitkan
hati serta merusak perasaan. Betapa Diki harus menyaksikan murid-murid yang
sangat disayanginya, yang beberapa menit lalu masih tertawa-tawa bersamanya,
dalam sekejap dan bersamaan harus meregang nyawa dengan cara yang sangat mengenaskan,
dan yang lebih menyakitkan lagi, kesemuanya itu berlangsung hanya beberapa
sentimeter di depan matanya !
Dengan
pilu Diki harus mengumpulkan potongan kepala yang menyangkut di teralis
jendela,di kusen pintu, memunguti ceceran kaki dan tangan yang terlepas
entah dari tubuh siapa, memasukkan usus yang terburai ke dalam tubuh yang tak
berkepala lagi, mengangkat jasad anak perempuan cantik dari genangan darah yang
tak henti menyembur dari kepala mungilnya yang terbelah, astaghfirullah …
Bahkan
berkata-katapun Diki sudah tak sanggup lagi. Lidahnya serasa dipaku.
Pikirannyapun serasa beku. Seluruh inderanya terasa kaku dan kelu. Begitu
dahsyat peristiwa dan pemandangan yang harus disaksikannya pada siang hari itu.
Jiwanya terguncang hebat dan tak kan pernah tersembuhkan lagi.
( Dan bagian yang membuat perutku mual adalah, ketika dengan enteng, Diki
bertanya padaku, ” bu anni tau nggak, bagaimana caranya menghilangkan trauma
akibat melihat kepala murid kita terpental dari lehernya, kemudian nyangkut di
tiang papan tulis ?”
Untung saja aku mengetahui jalan ceritanya.Kalau tidak, bisa-bisa aku marah
padanya).
Semenjak
itu, Diki seolah berubah menjadi pemuda yang hilang ingatan. Parang dan golok
telah menjadi benda yang akrab dengan aktifitas sehari-harinya, menggantikan
buku dan spidol yang biasa dia bawa setiap berangkat kerja. Diki masuk dalam
pusaran konflik. Dari seorang pemuda yang berprofesi sebagai pendidik, menjadi
seseorang yang dengan ringan hati membunuh manusia yang dianggap musuh.
Semua itu dia lakukan diluar kesadarannya dan tentu saja diluar akal
sehatnya.
Entah
bagaimana caranya, pada suatu kesempatan Diki berhasil turut dalam rombongan
TNI yang akan kembali ke Jawa Timur. Bersama mereka, Diki bertolak meninggalkan
bumi Poso yang panas dan berdarah. Setelah berhasil melakukan kontak dengan
keluarganya, Diki dijemput dan serangkaian sesi terapi kejiwaanpun telah
menantinya. Alhamdulillah Diki berhasil dinyatakan sembuh, dan dapat menjalani
hidup seperti orang lain, bekerja sebagai guru, bahkan menikah dan memiliki
anak.
Belasan
tahun telah berlalu sejak kejadian yang mengerikan itu. Namun menurut
pengakuannya, kejadian itu seolah melekat kuat dalam memorinya, meninggalkan
luka traumatik yang teramat dalam. Sesekali trauma itu datang mengusik ketenangan
hidupnya. Membuatnya berteriak-teriak histeris di tengah malam yang sunyi
dengan tubuh basah bersimbah keringat. Sekujur tubuhnya akan bergetar hebat,
dan air mata akan mengalir begitu saja tanpa terasa. Penderitaan ini sangat
menyiksa batin Diki dan keluarganya. Untuk mengatasinya, sesekali Diki masih
mendatangi psikiater demi memperoleh kesembuhan total, yang entah kapan akan
dirasakannya.
Ah
malang sekali nasibmu, kawan. Semoga Allah memberimu ketabahan dalam menghadapi
cobaan hidupmu yang berat ini. Dan lebih jauh lagi, semoga Allah
memperkenankan bumi Poso yang dahulu indah, kembali permai dengan pendudukan
yang hidup dengan damai dan tenteram, aamiin …
Aku
selalu berharap, semoga negeri Indonesia tercinta ini, menjadi negeri yang
lebih demokratis, makmur dan aman untuk ditinggali hingga ke anak cucu kita
kelak. Semua pertikaian harus segera dihentikan, dan perdamaian harus
dikembalikan seperti sedia kala. Aku tak tahan lagi mendengar rakyat sipil yang
tak berdosa harus meregang nyawa setiap hari demi menumpahkan darah sesama.
Sungguh tak dapat kubayangkan bagaimana jadinya masa depan kita, jika negeri
ini dipenuhi oleh anak-anak bangsa yang hidup dalam trauma berkepanjangan.
Anak-anak
kita harus dididik tentang pentingnya arti toleransi ,menahan diri, dan
memaafkan.
salam sayang,
anni
Sumber gambar : www.govermed.blogspot.com
www.flickr.com
No comments:
Post a Comment