Di musim haji seperti ini, saya jadi
teringat pengalaman saya saat menunaikan ibadah haji bersama suami dua
tahun lalu. Banyak pengalaman menarik yang kami alami di tanah suci.
Semuanya begitu berkesan dan masih segar dalam ingatan, seolah baru
terjadi kemarin saja.
Salah satu pengalaman yang paling
dahsyat adalah pengalaman saat menjalani ritual Tawaf, yakni ritual
mengelilingi Ka’bah sebanyak 7 kali sebagai salah satu rukun haji dan
umrah. Betul-betul dahsyat pengalaman itu. Sampai sekarang saya masih
terus takjub sendiri, mengingat betapa saya dapat menjalani ritual itu
dengan baik dan lancar, padahal kadang saya berpikir bahwa saya adalah
perempuan yang lemah dan sesekali suka manja.
Dahsyatnya ritual tawaf.
Ritual tawaf itu bukan ibadah yang yang
biasa. Ini adalah ibadah yang melibatkan kekuatan fisik agar seseorang
dapat menyelesaikan 7 putaran dengan sempurna. Halaman dalam Masjidil
Haram saat saya menunaikan ibadah haji belum luas seperti sekarang ini,
juga belum ada lantai atas berbentuk cincin yang melingkari Ka’bah.
Semua jamaah haji yang akan melakukan tawaf harus melakukannya di lantai
yang sama, yakni di halaman dalam Masjidil Haram yang megah dan indah.
Ketika melaksanakan tawaf , baik saat
umrah maupun haji, saya selalu kebetulan harus bertawaf bersama ratusan
ribu jamaah secara bersamaan, padahal saya sudah berusaha bertawaf di
waktu sebelum subuh, di tengah hari saat matahari tepat di atas
ubun-ubun, atau tengah malam, dengan harapan tak akan terlalu banyak
jamaah yang melaksanakan tawaf di waktu-waktu tersebut. Namun ternyata
Ka’bah memang tak pernah sepi dari manusia. Selalu saja berjubel dan
berdesak-desakan.
Saat melaksanakan tawaf, kita harus
berjalan dan kadang berlari kecil mengitari Ka’bah sebanyak 7 kali dalam
putaran berlawanan arah jarum jam, dengan doa-doa tertentu yang sudah
dihafalkan sebelumnya. Bagi jamaah yang masih muda dan sehat, berjalan
dalam rute lingkaran yang dekat dengan Ka’bah tentu sebuah pilihan yang
tepat. Karena jarak tempuh menjadi singkat. Namun sayangnya, rute ini
sangat penuh sesak, berjejalan, berdesakan luar biasa, sampai kadang
kaki kita berpijak di atas kaki jamaah lain alih-alih menapak di
permukaan lantai, saking berjubelnya orang-orang yan seolah mengepung
kita.
Bagi jamaah yang sudah sepuh, rute yang
dekat dengan Ka’bah tentu sangat berbahaya, karena badan yang renta tak
akan mungkin dapat menahan desakan jamaah yang begitu dahsyat. Maka bagi
para jamaah yang sudah tua, tak ada pilihan lain kecuali berjalan
mengitari Ka’bah dari lingkaran yang terjauh , atau bahkan memilih
bertawaf dari lantai dua dan tiga Masjidil Haram. Di rute tersebut,
orang dapat berjalan dengan lebih relax dan tenang, namun jarak dan
waktu tempuhnya menjadi sangat jauh dan lama. Didorong rasa penasaran,
saya pernah mencoba bertawaf di lantai dua, dan ternyata waktu tempuh
untuk satu putaran kurang lebih 30 menit. Itu artinya kita harus
berjalan selama 3,5 jam untuk menyelesaikan ritual tawaf. Saya yang
masih bugar dan sehat saja merasa letih, bagaimana dengan para Oma-Opa
itu. . Kadang kasihan juga melihat bapak-bapak dan ibu-ibu jamaah yang
sudah sepuh terlihat kepayahan saat bertawaf.
Tak semua jamaah dapat bersikap tertib.
Nah, saat bertawaf bersama ratusan ribu
jamaah inilah berbagai perjuangan berat harus kita hadapi. Yang paling
sering adalah didorong dengan keras dari arah belakang dan samping oleh
rombongan jamaah yang tak sabar ingin memotong rute agar dapat mendekati
bangunan Ka’bah. Bukan dorong sembarang dorong lho.
Dorongannya sangat bertenaga dan massif, karena tak semua jamaah mau
begitu saja merelakan rutenya diserobot oleh jamaah yang tak sabaran
ini. Lalu doronganpun dibalas dorongan yang tak kalah kuatnya. Nah kami
yang berjalan dengan tertiblah yang jadi korbannya. Terjepit, tergencet,
terseret, dan terombang-ambing kesana-kemari. Lepas sedikit saja
pegangan tangan kita dari pasangan atau dari teman satu rombongan, besar
kemungkinan kita akan tenggelam dalam arus dan tersesat di Masjidil
Harram yang begitu luas dan kolosal.
Acara dorong-dorongan ini akan terus
berlangsung jika saja para Asykar (petugas keamanan ) Masjidil Haram
tidak bertindak menertibkan jamaah. Kalau sudah begini kami memilih
menghindar saja, daripada harus jatuh pingsan karena sesak napas akibat
terjepit jubelan manusia. Beberapa kali saya melihat ada jamaah haji
sampai jatuh pingsan karena kekurangan oksigen akibat
terjepit. Alhamdulillah Allah memudahkan kami disana. Tak sekalipun saya
pernah terjepit, terinjak, atau apa. Semuanya lancar-lancar saja.
Ajaibnya, tak pernah sedikitpun bagian dada saya pernah tersentuh atau
teraba oleh tangan jamaah lain, padahal dalam suasana seperti itu,
kemungkinan payudara tak sengaja tersenggol bahkan teremas sangat
mungkin terjadi. Syukurlah, saya jadi selamat dari rasa dongkol.
Diuntungkan dengan ukuran tubuh yang besar.
Saya adalah perempuan dengan tubuh big (
and beauty ,hhee..) . Teman-teman suka meledek saya bohay. Suami bilang
saya bahenol. Dan kata ibuku, tubuhku molig. Ah terserahlah orang mau
bilang apa, yang jelas, teman-teman sekarang sudah pada tahu kan, kalau
bu anni itu orangnya semlohay ?. Kalau masih sulit membayangkan sosok
saya, silahkan bayangkan saja sosok Nunung Srimulat, atau Okky Lukman ,
atau Tike Priyatnakusumah juga boleh, atau siapa yaa .. Ah sudahlah
lupakan saja. Lanjut !
Kalau biasanya saya suka merasa minder
dengan potongan tubuh saya, tidak demikian halnya dengan perasaan saya
saat di tanah suci. Saya justru merasa sangat bersyukur. Ukuran tubuh
saya yang besar ini memudahkan saya untuk tetap bertahan berdiri dan
tetap stabil melangkah dalam posisi saya tanpa terseret arus manusia
yang sangat kuat saat tawaf. Saya perhatikan, rombongan jamaah yang
sering sradak-sruduk seperti itu hanyalah jamaah dari negara itu-itu
saja, yakni negara dengan ciri penduduknya berukuran badan tinggi,
besar, dan kuat. Jamaah dari indonesia tak pernah memotong-motong
barisan. Jamaah kita terkenal tertib, berpakaian indah dan rapi, serta
sangat santun. Jamaah dari benua Eropa sangat sabar dan disiplin,
sementara jamaah Cina selalu bergerombol dalam kelompok yang teratur dan
tampak canggung namun ramah.
Mengingat jamah yang tidak tertib dan
suka memotong antrian tersebut kebetulan adalah jamaah dengan postur
tubuh yang super besar, rata-rata bertinggi badan 2 meteran dan berat
badan sekuintalan, baik laki-laki maupun perempua, maka menghadapi satu
orang saja, orang Indonesia yang bertubuh mungil - mungil, jadi sangat
minder, apalagi menghadapi serombongan. Kebayang kan kedernya ! . Untung
badan saya besar. Jadi saya punya tenaga ekstra untuk menahan desakan
mereka. Situ bohay, sini semlohay. Ayok aja adu kuat ! He hee ..
Alhamdulillah tak sekalipun saya pernah jatuh atau terpeleset. Padahal
saya didesak dan didorong sedemikian rupa oleh serombongan jamaah haji
yang tubuhnya menjulang jauh di atas kepala saya.
Melihat daya tahan tubuh saya saat
berdesakan hebat seperti itu, teman-teman jamaah haji serombongan saya,
terutama yang sudah berusia agak lanjut, menjadikan saya “andalan” saat
tawaf. Setiap kali tawaf, selalu ada tiga atau empat ibu-ibu sepuh
yang memegangi tangan kanan dan tangan kiri saya erat-erat. Begitu pula
suamiku. Kiri dan kanan tangannya diganduli oleh paling sedikit 4 orang
jamaah sepuh. Kami merasa bahagia dapat menuntun mereka bertawaf, bahkan
sampai menyentuh maqam Ibrahim, menyentuh Hijr Ismail, dan menyentuh
dinding Ka’bah. Luar biasa beratnya perjuangan kami. Setelah usai tawaf,
kami berpelukan bertangis-tangisan saking bahagia dan terharunya, lalu
melaksanakan shalat sunat dua rakaat. Tak lupa kami meminum air zamzam
yang berasa khas, sejuk dan segar. Sepuasnya, sampai hilang haus dan
letih kami.
Tawaf itu berat dan melelahkan, tapi membuat rindu.
Tak sekalipun saya dan suami merasa jera
karena payah dan kecapaian sebab bertawaf, begitu pula teman-teman satu
rombongan kami. Padahal mereka semua berusia jauh lebih tua dari kami.
Semuanya merasa senang dan selalu ingin mengulangi tawaf, lagi dan lagi.
Sampai hari inipun kami masih merindukan Ka’bah untuk kami tawafi.
Kerinduan yang begitu dalam, yang hanya dapat terobati hanya jika kami
bertemu lagi dengan Ka’bah.
Masih terngiang kata-kata suamiku di
depan Ka’bah saat kami melakukan tawaf wada (tawaf perpisahan), yaitu
tawaf terakhir sebelum kami bertolak pulang ke tanah air. Suamiku
berbisik lirih, ” Wahai Ka’bah, kami bukan akan meninggalkanmu. Kami
hanya akan pulang sebentar saja, untuk menjemput putri-putri kami, dan
sanak keluarga kami. Kami akan mengajak orang-orang yang kami sayangi
untuk mengunjungimu, untuk beribadah, bermunajat kepada Allah Azza Wa
jalla, yang menciptakan kita semua “.
Kulihat air mata menitik dan mengaliri
wajah suami yang sangat aku cintai. Sementara air mataku sudah membanjir
sedari tadi tanpa dapat kutahan lagi. Sedih dan berat hati ini saat
harus meninggalkan Baitullah. Semoga Allah berkenan memberangkatkan kami
lagi dan teman-teman tercinta ke tanah suci, untuk berhaji atau
beribadah umrah. aamiin yra …
Salam sayang,
Anni
No comments:
Post a Comment