Menulis itu media katarsisku ...

Blog Pribadi Puji Nurani :

Sketsa sederhana tentang hidup yang sederhana ...

Menulis itu Media Katarsisku ....

Aku sangat suka .. sangat suka menulis .....
Aku tak memerlukan waktu khusus untuk menulis ..
Tak perlu menyepi untuk mendapatkan ilham ........
Atau menunggu dengan harap cemas pujian dari orang lain
agar tak jera menulis ......

Ketika aku ingin menulis, aku akan menulis tanpa henti...
tanpa merasa lelah ...
tanpa merasa lapar ...
Namun jika aku tidak menulis,
maka itu artinya aku memang sedang tidak mau menulis...

Kala kumenulis,
Aku alirkan pikiranku melalui ketukan keyboard
ke dalam layar dunia virtual aku berkontemplasi ....
Aku tumpahkan perasaanku ke dalamnya ....
yang sebagiannya adalah jiwaku sendiri ....

Lalu ... aku menemukan duniaku yang indah ...
duniaku yang lugu dan apa adanya ......
duniaku yang sederhana .........
yang aku tak perlu malu berada di dalamnya .....
Karena aku adalah kesederhanaan itu sendiri .....

Aku suka dengan cara Allah menciptakanku ...
alhamdulillah .......

Thursday, October 17, 2013

Korupsi Menyapu Bersih Putra Terbaik Bangsa



Kabar menggemparkan beberapa hari lalu perihal penangkapan ketua Mahkamah konstitusi masih bergaung hingga hari ini. Boleh jadi gaung yang menyakitkan hati dan telinga seluruh rakyat Indonesia itu tak akan jua mereda sebelum hakim mengetuk palu menjatuhkan vonis dengan hukuman yang seberat-beratnya.
Meski berita tentang penangkapan koruptor sudah bukan barang baru lagi di negeri ini, namun kabar penangkapan Akil Muhtar sungguh mencengangkan dan mengguncang hati masyarakat. Bagaimana tidak, Akil Muhtar bukan sembarang pejabat. Dia adalah ketua Mahkamah Konstitusi, satu lembaga tinggi  negara yang seharusnya berada di garda terdepan dalam hal penegakkan hukum dan konstitusi di Indonesia.

Korupsi Menyapu Bersih Putra Terbaik Bangsa

Setiap saya mengikuti kelanjutan berita tentang kasus AM ini, ada seperti perasaan sedih, kecewa, kesal, yang menyesaki dada saya. Banyangkan saja, AM ini seorang ahli hukum, yang mengerti betul apa arti pelanggaran hukum, apa arti tindak pidana, dan apa konsekuensi yang harus ditanggung seorang pejabat publik yang menyalahgunakan jabatannya.

Melihat latar belakang pendidikannya serta rekam jejak karirnya di dunia penegakkan hukum, seseorang seperti AM seharusnya menjadi tumpuan harapan segenap bangsa Indonesia untuk membersihkan negeri ini dari segala bentuk kejahatan. Baik kejahatan kerah biru yang dilakukan rakyat kecil, maupun kejahatan kerah putih yang biasa dilakukan rakyat besar.

Tapi siapa nyana, AM bukanlah seseorang seperti yang kita harapkan. Segala kepandaian dan jabatannya malah membuatnya begitu leluasa mengeruk harta rakyat seolah negeri ini adalah gudang harta milik nenek moyangnya yang dapat leluasa dikuras semau-maunya sendiri.

Perasaan sesak yang sama juga saya rasakan sewaktu  mengikuti berita penangkapan Prof Rudi Rubiandini terkait kasus korupsi di lembaga yang dipimpinnya. Sungguh tak terbayangkan, seorang cendekia seperti Prof Rudi akan ditangkap dengan status yang sangat nista seperti itu. Ditangkap sebagai koruptor sang pencuri uang rakyat ! mencuri uang negara dengan jumlah yang membuat perut rakyat Indonesia serasa mual ingin muntah saat mendengar betapa besar jumlah uang yang telah dia tilap ke kantongnya sendiri.

Akil dan Rudi bukan sembarang orang di negeri ini, sebagaimana bukan sembarang orang pula Andi Malarangeng, Anas, Luthfi Hasan, Miranda, dll, yang terkena kasus korupsi. Mereka adalah putra-putra terbaik bangsa ini, yang kemungkinan besar adalah siswa-siswa terbaik di sekolahnya saat bersekolah dulu, mahasiswa paling aktif dan cemerlang di kampusnya, anak kebanggaan keluarga. Boleh jadi dahulu mereka adalah anak muda yang selalu dijadikan teladan di lingkungannya, anak muda yang berjiwa pembaharu yang tak sabar ingin memperbaiki negeri ini, lalu menjelma menjadi pekerja yang ulet, tangguh dan berprestasi, hingga karirnya melesat dengan pesat.

Namun apa mau dikata, gelap sudah mata Akil, Rudi, dkk,  oleh harta dan tahta sehingga  tak lagi mengindahkan etika, moral, sumpah jabatan, dan amanah yang diembankan rakyat Indonesia ke pundak mereka. Rupanya rakyat Indonesia belum dapat mengharap terlalu banyak dan bermimpi terlalu jauh tentang kemajuan negerinya, karena kontribusi apa yang bisa diharapkan dari orang-orang  yang akan mendekam dalam waktu lama - kalau perlu sampai mati - di dalam penjara ? Tidak ada !. Sungguh pantas jika orang - orang yang telah menghianati kepercayaan bangsa Indonesia seperti itu diganjar dengan hukuman yang seberat - beratnya !

Saat perilaku korupsi sudah mengkristal
 
Masih terbayang jelas dalam ingatan kolektif bangsa Indonesia suasana eforia reformasi di tahun 1998 lampau. Ratusan ribu mahasiswa dari seluruh penjuru Indonesia turun ke jalan menuntut Soeharto lengser dari kursi kepresidenannya. Lalu tuntutan mereka berhasil, dan kita memasuki era reformasi. Namun mengapa hingga kini reformasi seperti tak mendapatkan bentuknya  ?
Kemanakah perginya angkatan 98 yang haru biru itu ? kemana gerangan menghilangnya gaung suara mereka yang dulu begitu keras untuk menuntut perbaikan  Indonesia ?  apakah setelah mereka kini  mengisi kursi trias politika di seluruh negeri, segala idealisme perjuangan telah mereka lupakan begitu saja ? Mungkinkah setelah mereka menduduki jabatan penting justru mereka telah menjelma menjadi koruptor generasi baru yang modus operandinya lebih canggih dari koruptor generasi lama ?

Saya sampai berpikir, OK, selesai sudah masa depan Indonesia. Habis sudah anak-anak terbaik bangsa ini terlibas oleh kasus korupsi. Sungguh dahsyat
dua Ta merusak moral bangsa kita : harta dan tahta. Saya tak mau menambahkannya dengan Ta yang ketiga yaitu wanita. Bukan karena saya wanita, namun lebih karena saya ingin masyarakat tahu menghargai kaum wanita sebagai kaum ibu, kaum saudara-saudara, dan anak-anak perempuan kita. Sangat tak pantas jika kita menempatkan kaum orang-orang yang sangat kita hormati dan cintai itu  sebagai racun atau  kuman penyebab sakitnya bangsa ini.
 
Banyak sudah teori yang dikemukakan para sosiolog, para kriminolog, ahli hukum, budayawan, dll, tentang akar masalah mewabahnya perilaku korupsi di negeri kita. Teori dan pendapatnya beragam sesuai dengan bidang kajian mereka. Namun satu hal mengerucut menjadi satu : ada yang salah dengan kultur bangsa ini. Jiwa feodal yang berakar kuat, kemunafikan, senang dipuji, hilangnya rasa malu, ajaran agama yang hanya dipakai di rumah ibadah, hukum yang bisa dibeli, dan menjadikan kekayaan sebagai standar kesuksesan yang membuat manusia menjadi materialistik. Itulah akar dari segala perbuatan korupsi di Indonesia.

Terbayang sudah bagaimana besar dan rumitnya kesulitan yang dihadapi dalam upaya pemberantasan korupsi di Indonesia, sebab yang harus dilawan adalah sebuah “budaya” yang sudah sudah mengkristal di alam bawah sadar sebagian besar masyarakat Indonesia. Entah harus memulai mengurai dari mana.

Meski sedikit, namun masih ada harapan yang tersisa.

Sebagai seorang ibu dari dua gadis remaja yang sangat kritis menilai orang dewasa, dan seorang ibu guru dari anak-anak SMA yang juga sangat kritis dalam menilai segala kejadian yang berlangsung di sekitarnya, sangat, sangat sulit bagi saya untuk menjawab pertanyaan krusial anak-anak muda masa kini yang sangat cerdas dan selalu penuh rasa ingin tahu itu : masih adakah manfaatnya, masih adakah gunanya tinggal di Indonesia, negeri yang sebagian besar pemimpinnya berhati culas ?
Bagaimana saya harus bersilat lidah menjawab pertanyaan semacam itu ? Pertanyaan yang sesungguhnya juga berkecamuk di hati saya dan saya benarkan ?.  Sangat tidak mungkin saya menjawab tak ada gunanya lagi, bukan ? sebab hilang sudah fungsi saya sebagai seorang ibu dan pendidik yang harus menanamkan kecintaan terhadap kampung halaman kepada anak-anaknya, jika saya menjawab seperti itu.

Saya hanya dapat mengatakan kepada anak-anak yang menjadi harapan terakhir kita ini, ” Negeri kita masih dapat diperbaiki, jika kalian nanti yang memimpin negeri ini, dan menjadi warga negara dengan akhlak yang mulia, perilaku yang jujur dan terhormat. Yang berani mengatakan tidak terhadap godaan harta dan tahta. Yang menjadikan Allah sebagai Tuhanmu, alih-alih segala harta yang ada di di seatero langit dan bumi ini . Tuntutlah ilmu setinggi-tingginya, dan kalian akan tahu, mana yang baik dan mana yang buruk. Dan ilmu itu, tak hanya bisa kalian dapatkan di bangku sekolah. Carilah juga di tengah-tengah rakyat miskin ! “

Lalu kulihat mata mereka berpendar, berbinar. Saya masih melihat ada harapan bagi masa depan bangsa kita melalui pijar mata anak-anak muda yang masih bersih ini. Bagaimanapun, bangsa Indonesia harus terus berjalan, dan tak boleh mati hanya karena perilaku buruk sebagian warga negaranya. Masih banyak orang Indonesia yang jujur, baik, dan sanggup bekerja keras untuk memperbaiki bangsa ini dari keterpurukan moral. Sekian catatan saya, semoga bermanfaat. Selamat mendidik anak-anak tercinta teman-teman !


Salam sayang,
Anni

2 comments:

  1. saur sepuh mah "hati2 dg 3 ta" tahta, harta dan wanita. Ketika kita punya tahta (kekuasaan) maka 2 ta yg lain itu godaannya sangat dekat sekali, siapapun akan kalau ga dibarengi dg iman maka akan tergoda, karena orang yg punya harta tapi ga punya tahta, maka dia akan berusaha agar kemauannya bisa tercapai maka hartanya akan dia gunakan untuk menyuap yg bertahta, bila perlu ditambah bonus dg wanita.

    ReplyDelete
    Replies
    1. kang Adang ...
      ditambah tipisnya moral dan keimanan. Klop sudah !

      Delete