Salah satu tradisi menyambut hari raya
Iedul Fitri dan Iedul Adha di Tanah Air adalah dikumandangkannya
takbiran dengan lantunan nada dan irama yang khas.
Bagi saya yang tinggal di desa di kaki
perbukitan, gema takbir ini terdengar begitu indah dan merdu. Suaranya
mengalun menyusuri bukit dan lembah, melintasi gunung dan sungai, lalu
menyelusupi relung-relung hati yang paling dalam, membuat terhanyut
siapa saja yang mendengarnya. Tak jarang ibu-ibu dan para gadis yang
masih sibuk di dapur mempersiapkan hidangan istimewa untuk esok hari,
sampai menitikkan air mata dibuatnya. Bekerja sambil berlinangan air
mata, ah betapa nikmat dan tak tergantikan.
Suasana wukuf yang senyap dan mengharu biru
Gema takbiran selama hari raya dengan
cara dipimpin oleh seseorang yang kemudian diikuti oleh jamaah yang
lain, rupanya bukan tradisi di tanah suci Mekah (cmiiw). Saya lebih
sering melihat orang-orang di sana bertakbir sendiri-sendiri seperti
orang berdzikir, bukan beramai-ramai seperti di Tanah Air.
Suasana menjelang wukuf di padang pasir
Arafah, sangat sunyi sepi. Hanya sesekali terdengar orang mengaji kitab
suci Al Quran, diselingi doa lirih yang seakan tak pernah usai
dipanjatkan. Sudah sejak semalam kami menginap di Padang Arafah yang
luas, panas, gersang, dan tandus ini. Namun beruntung tenda kami berada
tepat di bawah sebatang pohon rindang yang banyak kulihat ditanam
tersebar di sana-sini oleh pemerintah Saudi. Para Jamaah haji dan
penduduk setempat menamai pohon itu pohon “Soeharto”. Entah mengapa
dinamai seperti itu. Mungkin karena pada masa lalu Presiden RI Soeharto
menyumbang bibit pohon itu kepada pemerintah Kerajaan Saudi sebagai
lambang persahabatan, dan untuk mengurangi paparan panas matahari yang
sangat terik.
Ketika matahari tepat berada di puncak
kepala, ritual wukuf pun dimulai. Keadaan tenda kami yang luas semakin
hening. Semua orang diam terpekur, tenggelam dalam munajat dan doa yang
khusyu kepada Allah Sang Maha Pencipta. Bersujud meratakan dahi kami
dengan tanah , merendahkan diri kami serendah-rendahnya di hadapan Nya,
memohon ampunan atas segala dosa yang telah diperbuat. Dengan linangan
air mata yang seolah tak jua berhenti, kami berusaha membasuh hati kami
yang hitam dan legam oleh dosa, berdebu oleh kesombongan dan takabur,
menjelaga oleh kekasaran dan iri dengki. Kami menegasikan keberadaan
diri kami, kami adalah nol. Nol besar di hadapan Allah Semesta Alam.
Tangan kami terangkat, jiwa kami tertunduk, semoga Allah mengampuni
kami, sanak keluarga, sahabat, guru, para pemimpin, dan seluruh
saudara-saudara kami, amin yra.
Tenda kami yang ceria pun menjadi tontonan
Tanpa
terasa, waktu wukuf pun berlalu. Matahari pun terbenam di kaki langit
yang semburat oleh lembayung senja. Ada rasa lega mengaliri hati kami.
Saat wukuf yang berat namun syahdu itu telah kami lewati dengan baik dan
lancar. Tibalah saatnya kami berangkat ke Muzdalifah untuk menginap
semalam sambil mengumpulkan batu-batu kerikil pelempar jamarat di Mina
nanti. Nah, saat menanti bus-bus yang akan mengangkut kami menuju
Muzdalifah inilah, sebuah kejadian seru yang sangat berkesan telah
berlangsung.
Lumayan lama kami mempersiapkan
barang bawaan kami untuk diangkut menuju Muzdalifah. Begitu pula waktu
yang diperlukan untuk menunggu datangnya bus. Rupanya saat itu jalan
raya macet total, sehingga bus-bus penjemput kami terjebak di tengah
kemacetan yang parah.
Menunggu
memang membuat jenuh. Itulah yang juga dirasakan oleh teman-teman kami.
Dan seperti kebiasaan orang Indonesia, kalau sedang iseng, muncullah
kreatifitasnya.
Entah
siapa yang memulai, tiba-tiba dari tenda kami terdengar suara orang
menabuh sesuatu dengan irama beduk yang bertalu-talu. Ternyata
teman-teman kami itu tertarik melihat tumpukan galon air yang kosong dan
dibiarkan bergeletakan begitu saja di luar tenda. Tanpa dikomandoi
lagi, serentak para jamaah laki-laki itu menjadikan galon-galon air itu
alat musik perkusi yang menghasilkan irama mirip suara beduk yang
ditabuh di masjid-masjid pada saat menjelang hari raya. Suaranya
berirama begitu dinamis, seru, dan ramai sekali. Tanpa dikomandoi pula,
jamaah lainnya langsung mengumandangkan takbiran seperti di Tanah Air.
Ya, esok adalah hari raya Iedul Adha. Di kampung halaman nun jauh di
sana, tentu orang sudah ramai mengumandangkan takbiran di masjid dan
menabuh beduk. Sementara para ibu sibuk menyiapkan hidangan yang
enak-enak untuk menyambut hari raya kurban yang jatuh esok hari.
Rupanya kehebohan di tenda kami
terdengar oleh jamaah Makassar dan jamaah Madura yang tendanya
bertetangga dengan kami. Tanpa menunggu lebih lama lagi, dari dalam
tenda-tenda mereka pun terdengarlah suara “beduk” dari galon yang
ditabuh orang, diiringi gema takbir yang merdu dan kompak.
Para jamaah dari negara lain yang
kebetulan melewati tenda kami, sampai berhenti sejenak untuk mengintip
ada keribuatan apa gerangan di tenda-tenda jamaah Indonesia yang seru
ini. Setelah mengetahuinya, mereka tersenyum-senyum, dan berdiri untuk
menonton dengan takjub, seolah kami adalah rombongan sirkus saja, he he …
Namun ada juga yang malah turut bergabung, dan bersama-sama kami
mengumandangkan takbir. Jika sudah begini, tak peduli kami ini berasal
dari bangsa mana dan berbahasa apa, takbiran yang satu bahasa menjadikan
kami bersaudara tanpa sekat-sekat duniawi lagi.
Asyik sekali suasana di tenda di Arafah
yang berangin kencang dan dingin saat itu. Makin lama intensitas suara
tabuhan “beduk” semakin menurun, dan suara takbiran pun semakin mengalun
mendayu. Lagi-lagi sebagian dari kami menangis berurai air mata. Ingat
dosa, ingat anak-anak di rumah, ingat segala-galanya. Semua orang
tenggelam dengan pikirannya masing-masing di maghrib yang semakin
beranjak menuju malam.
Lihatlah itu! Bus -bus pengangkut kami
sudah berdatangan satu per satu. Kegiatan menabuh “beduk” dan takbiran
harus diakhiri. Kami pun segera berkemas dan bergegas meninggalkan tenda
Arafah, menuju Muzdalifah untuk bermalam dan memungut kerikil pelempar
setan pengganggu umat manusia. Selamat tinggal Arafah yang suci dan
damai, semoga kami dapat mengunjungimu lagi di suatu hari nanti, aamiin!
Salam sayang,
Anni
No comments:
Post a Comment