Mari
kita amati dengan sepintas lalu (tak perlu terlalu serius mengamati, bisa
puyeng nanti) perkembangan politik di negeri kita akhir-akhir ini, terutama
dalam hal pemilihan para pemimpin di berbagai tingkatan dan institusi.
Baik pemimpin di tingkat pusat maupun di tingkat daerah, di tingkat
lembaga tinggi negara maupun di tingkat organisasi sosial politik.
Melihat betapa
yang terpilih seringkali memiliki hubungan keluarga, kadang terlintas ”
celetukan iseng “ di benak saya, sebetulnya pemerintahan di negara kita ini
Republik atau Monarki sih ? kok anak menggantikan Bapak, istri menggantikan
suami, bapak berdampingan dengan anak ? heran deh …
Meleburnya
berbagai kesultanan/ kerajaan di Nusantara ke dalam hegemoni NKRI
Sebelum
negara Republik Indonesia diproklamasikan dan ditetapkan sebagai negara dengan bentuk
pemerintahan Republik, telah berdiri sejak berabad-abad berbagai kesultanan
/kerajaan besar dan kecil dengan kekuasaannya masing-masing di berbagai daerah di
Indonesia. Sebagai contoh adalah Kesultanan Yogyakarta, Kerajaan Gianyar,
Kesultanan Gowa Tallo, Kesultanan Bone, Kesultanan Banjar, Kesutanan
Pontianak, Kesultanan Deli, Kesultanan Siak inderagiri, dll, dengan para Sultan
dan Raja yang sangat dihormati dan dicintai oleh rakyatnya.Kalau kemudian
para Sultan/ Raja ini secara sukarela memutuskan meleburkan kesultanannya
kedalam wilayah Republik Indonesia, tentu hal tersebut harus diartikan sebagai
sebuah keputusan yang sangat besar, penting,yang dilakukan dengan penuh
pengorbanan dan lapang dada. Meleburkan wilayah kedaulatan ke dalam sebuah
hegemoni yang baru saja terbentuk, bukanlah perkara sederhana. Ini berkaitan
dengan berakhirnya secara formal kekuasaan para Sultan yang telah dipegang
selama berabad-abad dari generasi ke generasi secara turun temurun.
Sejarah juga
mencatat bagaimana berbagai kesultanan/kerajaan tersebut mendukung kemerdekaan
Indonesia dengan berbagai upaya. Dari mulai menyumbang sejumlah besar dana
berupa uang dan emas seperti yang dilakukan kesultanan Siak Inderagiri,
memberikan bantuan politis berupa merelakan daerahnya dijadikan ibu kota negara
seperti yang dilakukan kesultanan Yogyakarta, sampai menciptakan lambang negara
Garuda Pancasila oleh penguasa Kesultanan Pontianak, Sultan Hamid II, turut
merumuskan konstitusi RI UUD 1945 yang dilakukan oleh raja Gianyar Bali Ida
Anak Agung Gde Agung, dll. Betapa besar pengorbanan dan jasa Kesultanan/
Kerajaan itu terhadap berdirinya NKRI.
Negara
Moderen dengan Rakyat Tradisional
inilah keniscayaan
sebuah sejarah. Kekuasaan kesultanan/ kerajaan besar kecil yang tersebar di
seluruh pelosok negeri ini telah berakhir seiring dengan meleburnya kesultanan/
kerajaan tersebut ke dalam wilayah kedaulatan NKRI. Kehidupan monarkis telah
menjadi bagian dari masa lalu. Negara kitapun telah berkembang menjadi negara
maju dan moderen. Itu secara kasat mata. Namun dibalik itu banyak fakta yang
berbicara tentang ” jiwa ” sebagian rakyat yang tetap tinggal di alam
tradisional, yakni sebuah alam yang bersifat genealogis dan religio –
magi. Secara sederhana genealogis dapat diartikan sebagai sebuah pandangan
hidup yang menganggap bahwa setiap manusia yang tinggal dalam suatu wilayah
memiliki pertalian darah yang sama dan mereka dipimpin oleh seorang ketua yang memiliki
kharisma kuat. Sementara religio – magi kurang lebih adalah bahwa pemimpin
adalah utusan Tuhan, yang oleh karenanya untuk mengekalkan kepemimpinannya itu,
Tuhan telah memberinya kharisma yang dapat diturunkan kepada generasi
selanjutnya yang merupakan ahli waris sang Pemimpin tersebut.
Sifat tradisional ini merupakan sifat asli masyarakat Indonesia sejak ribuan
tahun yang dipengaruhi oleh kepercayaan animisme dan dinamisme , serta pengaruh
kebudayaan Hindu-Buddha yang pernah sangat berjaya selama 1000 tahun di bumi
pertiwi ini. Sebagai catatan, Hindu-Buddha disini bukan sebagai agama, namun
lebih sebagai kebudayaan. Masuk akal jika tak mudah bagi masyarakat Indonesia
untuk begitu saja melepaskan diri dari pengaruh yang seolah sudah mengurat akar
di dalam kehidupan kita. Dan cara pandang tradisional yang mengagungkan peran
seorang pemimpin ini kian disuburkan dengan datangnya era feodalisme yang juga
berlangsung selama ratusan tahun di negeri kita.
Politik
Dinasti dalam Pemilihan Ketua Ini dan Itu
Tak
perlu menuding golongan tak terpelajar sebagai orang-orang yang memiliki cara
pandang tradisional. Nyatanya golongan terpelajarpun, yang jelas-jelas memiliki
tingkat pendidikan tinggi, tingkat ekonomi – sosial yang baik, dan memiliki
pemahaman politik yang memadaipun, masih banyak yang terpengaruh oleh cara
pandang tradisional ini.
Cara
pandang ini terlihat dari proses pemilihan ketua ini dan itu yang masih sangat
mementingkan kharisma pemimpin, mendahulukan dinasti, dan percaya bahwa kita
tidak akan maju jika tidak dipimpin oleh pemimpin tertentu dan keturunannya.
Mau
contoh ? boleh. Mari kita lihat siapa saja yang menjadi kepala daerah dan
menjabat ini dan itu di Provinsi banten. Silahkan Googling sendiri, dan anda
akan mendapatkan fakta yang mencengangkan, betapa provinsi tetangga Jawa Barat
dan DKI itu lebih mirip monarki dari pada provinsi yang ada dalam sebuah negara
kesatuan. Masih ada lagi di Kediri Jawa Timur. Suami selesai menjabat, para
istri sibuk mencalonkan diri sebagai kepala daerah. Lalu ada juga di Cimahi
Jawa Barat. Istri mantan walikota menggantikan kedudukan suaminya menjadi
walikota. Mau melangkah lebih tinggi lagi ? ya paling gampang menunjuk dinasti
Soekarno, Presiden pertama RI ini memiliki seorang putri sulung yang kelak
menjadi Presiden RI juga. Itu di tingkat lembaga negara daerah dan pusat. Belum
di institusi lainnya. Untuk mudahnya, dan yang masih segar diingatan tentu
Partai Demokrat yang baru saja menggelar KLB di Bali yang menghasilkan Ketua
Umum dan Sekjen yang merupakan Bapak dan Anak. Ah sudahlah tak perlu dibahas,
bikin cape aja …
Apakah
ini sebuah bentuk Nepotisme ?
Apakah
mereka para pemimpin yang saling memiliki pertalian darah itu telah melakukan
Nepotisme ? Saya rasa tidak sesederhana itu. Jangan dulu gegabah menilai para
pemimpin ini telah melakukan nepotisme hanya karena anak, istri, adik, ipar
atau mertua sang Ketua terpilih menjadi pemimpin menggantikan atau berdampingan
dengan sang Ketua tersebut.
Jika
kita amati proses pemilihannya, kelihatannya semua dilakukan dengan mekanisme
yang wajar, yang memenuhi syarat demokrasi. Mereka jelas-jelas meraih suara
dalam sebuah pemilihan yang demokratis, bebas dan terbuka. Lalu dimana letak
kesalahannya? mengapa setelah mereka terpilih barulah terasa kejanggalan itu ?
Kalau
memang ingin mencari kesalahannya, tentu saja kesalahan terbesar terletak pada
para pemilih yang masih memiliki pola pikir yang sangat jadul, yakni masih
berpikir bahwa jika seorang pemimpin sukses menjalankan tugasnya sebagai kepala
daerah atau organisasi, maka otomatis anak keturunannya dan seluruh keluarga
besarnya akan sukses juga jika mengemban tugas yang sama. Nggak nyambung kan ?
namun itulah faktanya. Banyak yang masih punya pikiran seperti itu.
Sementara
orang-orang yang mencalonkan diri dan kemudian terpilih itu, tentu saja
mempunyai hak politik sebagai warga negara untuk menduduki jabatan publik. Jika
akhirnya mereka terpilih karena faktor keturunan moyangnya, itu namanya hoki
alias beruntung. Jangan heran apalagi iri. Bukan salah bunda mengandung, tapi
salah rakyat nyoblos orang.
Pentingnya
budaya politik partisipan
Zaman
sudah berubah, kehidupan sudah sedemikian melaju dengan pesatnya. Lihatlah
negara – negara maju yang nyata-nyata pemerintahannya berbentuk Monarki.
Sebagai contoh klasik adalah Kerajaan Inggris. Sangat jarang anggota keluarga
kerajaan menduduki jabatan publik. Kalaupun melalui media massa sering kita
lihat sepak terjang para pangeran tampan pewaris tahta kerajaan Inggris,
Pangeran William dan Pangeran Harry melakukan hal-hal yang berkaitan dengan
negaranya, publik mengetahui bahwa mereka adalah anggota angkatan bersenjata
kerajaan Inggris, yang sebagaimana tradisi keprajuritan di setiap negara,
sangat menumpukan segala pangkat dan jabatan pada kemampuan sang prajurit,
bukan pada faktor keturunan apalagi kharisma.
Begitu
juga di negara-negara monarki lainnya, sangat dihindarkan mendudukkan anggota
keluarga kerajaan sebagai pejabat publik. Kalaupun akhirnya jabatan itu jatuh
ke tangan anggota kerajaan, semua dilakukan dengan proses fit and proper test
yang ketat, akuntabel, dan berdasarkan pada kompetensi yang dimiliki seorang
calon pejabat publik.
Sudah
saatnya rakyat di negeri ini belajar banyak dan memahami lebih mendalam segala
fenomena yang terjadi di negeri kita tercinta ini. Segala carut marut di semua
lini kehidupan negeri kita dewasa ini, boleh jadi karena andil kesalahan kita
sebagai rakyatnya juga. Kesalahan yang bermuasal dari kemalasan berfikir,
kejumudan dalam mempersepsi suatu permasalahan yang rumit, ketakutan untuk keluar
dari zona aman, yang semuanya dibalut dengan kepercayaan palsu tentang
kharisma, karomah, loyalitas, dan semacamnya.
Inilah
saat yang tepat bagi kita untuk menggunakan ilmu pengetahuan yang kita dapatkan
dari bangku pendidikan baik formal maupun informal, tidak hanya sebatas sebagai
pengetahuan kognitif saja, atau lebih parah lagi hanya sebatas alat mendapatkan
pekerjaan, namun mengaplikasikan untuk hal-hal yang lebih bermanfaat untuk
kemajuan negeri ini. Sebagai langkah awal, marilah kita buka mata, hati, dan
wawasan kita selebar-lebarnya sebelum memilih pemimpin kita. Belum bisa
dikatakan sebagai insan demokratis jika kita datang ke TPS lalu mencoblos salah
seorang calon tertentu, sementara kita tak memiliki referensi lengkap dan
komprehensif tentang siapa calon yang telah kita pilih tersebut. Apalagi jika
pilihan kita itu semata-mata berdasarkan namanya yang populer, penampilannya
yang saleh, atau karena dia adalah keturunan si Fulan pemimpin yang karismatis
itu. Sungguh sia-sia saja semua suara yang telah kita berikan itu. Tak akan
membawa perubahan apalagi kebaikan sedikitpun.
Mari
mulai benahi negeri kita dari sekarang, dari diri kita, lingkungan yang
terdekat, dan dengan cara yang termudah. Hampir semua orang sudah memegang
ponsel dengan fitur internet browser sekarang. Itu dapat dimanfaatkan untuk
mencari informasi sebanyak-banyaknya tentang figur calon pemimpin bangsa kita
yang amanah dan dapat diandalkan di masa mendatang . Lalu berikan suara kita
berdasarkan pengetahuan dan fakta yang benar demi kemajuan bangsa. Itulah
demokrasi yang sesungguhnya. Sikap yang hanya dimiliki oleh sebuah bangsa yang
berbudaya politik partisipan. Mohon maaf jika ada kata-kata yang kurang
berkenan.
Salam
sayang,
anni
No comments:
Post a Comment