Sendu Bersama Induk Penyu
Pantai
Pangumbahan di Ujung Genteng Kabupaten Sukabumi, terhitung masih perawan karena
letaknya yang sangat terpencil. Infra struktur berupa akses jalan menuju pantai
sangat tidak memadai. Badan jalan hanya selebar satu setengah badan mobil,
itupun berupa tanah becek berlumpur dengan tebaran batu kali di sana-sini,
sementara selebihnya berupa kubangan-kubangan yang dipenuhi air yang meluap
dari rawa-rawa di sepanjang jalan.
Dengan
kondisi jalan yang seperti itu, sangat jarang kendaraan beroda empat dapat
melaluinya, kecuali mobil yang biasa digunakan untuk off road, atau setidaknya
motor trail. Kamipun terpaksa menumpang truk pasir untuk mencapai pantai
Pangumbahan tempat konservasi Penyu Hijau.
Aku sempat berbincang dengan Pak Supir Truk tentang keadaan di daerah ini, dan
Pak Supir menuturkan bahwa penduduk Ujung Genteng memang tidak mengharapkan
Pemda setempat memperbaiki sarana jalan yang dapat mengakses bibir pantai,
karena ketersediaan jalan berarti akan masuknya mobil-mobil pengangkut
wisatawan ke daerah tersebut. Nah deru mobil inilah yang dikhawatirkan
mengganggu populasi Penyu hijau yang berhabitat di pantai Ujung Genteng, karena
para Penyu ini tidak akan mau bertelur jika terusik oleh bunyi sehalus apapun,
apalagi deru kendaraan.” Di malam tahun kemarinpun, banyak Penyu yang akhirnya
urung bertelur lantas mati, karena pengunjung Pantai beramai-ramai menyalakan
api unggun dan petasan di jam-jam ketika Penyu harus bertelur “, Pak Supir
menjelaskan dengan mimik muka terlihat kesal. Ya gitu deh dodolnya wisatawan
yang nggak berwawasan ! Jadi bete dengernya …
Setiba
di penginapan pada sore harinya, kami diinstruksikan untuk tidur dengan
berpakaian lengkap karena sewaktu-waktu kami akan dibangunkan untuk menyaksikan
induk penyu bertelur.
Tanpa dapat memicingkan mata sepejampun, karena banyaknya nyamuk yang terus
berdenging di sekitar telinga, sekitar pukul 23.00 kami dibangunkan untuk
segera menuju pantai. Menurut informasi Pemandu yang juga pegawai konservasi,
malam itu ada seekor induk penyu hijau berukuran raksasa telah mendarat dan
akan bertelur.
Kami
dibariskan per 15 orang. Tak boleh membawa ponsel apalagi senter. Namun ada
diantara kami yang diperkenankan membawa kamera utnuk mengabadikan peristiwa
langka tersebut. Setelah siap, Pemandu membawa kami berjalan sekira 200 meter
menyusuri pantai dalam gelap gulita yang hitam legam. Selayaknya orang buta,
kami berjalan tanpa mengetahui arah yang kami tuju. Kami saling berpegangan
tangan agar tidak terjatuh, karena kami harus berjalan di atas pasir pantai
yang sangat lembut dan labil, sehingga sebentar-sebentar kami harus terperosok,
sampai terseok-seok kami dibuatnya.
Dalam keheningan kami membisu, hanya desau
angin dan deburan ombak di kejauhan yang mengiringi langkah kami. Beberapa
langkah di depan, bayangan sang Pemandu terlihat berjalan cepat dengan sorotan
senter bercahaya infra merah di tangannya. Perjalanan yang sebetulnya sangat
dekat ini bagiku jadi terasa sangat lama, karena aku tak tahu arah yang dituju
dan dalam gelap gulita pula. Aku hanya hanya bisa pasrah berjalan mengikuti
Pemandu, sambil tak henti melafadzkan zikir di dalam hatiku. Suasana di tepi
pantai di tengah malam itu sangat mencekam. Bulan sabit yang menggantung di
langit dengan selimut mega hitam di sana-sini menciptakan suasana malam yang
bernuansa misterius.
Tiba-tiba
Pemandu berhenti, dan meminta kami berdiri dalam formasi setengah lingkaran.
Lalu pemuda Pemandu itu menyorotkan senter infra merahnya ke arah depan kaki
kami. Dan teman-teman, hanya berjarak setengah meter dari ujung sepatu kami,
inilah induk penyu raksasa yang kami tunggu itu. Subhanallah, makhluk ini
benar-benar cantik. Berdiameter sekira 1 meter, dia terus mengaiskan kedua kaki
depannya yang berbentuk dayung ke atas permukaan pasir pantai Ujung Genteng
yang halus lembut dan bersih, seraya kaki belakangnya memadatkan pasir yang
telah digalinya. Setelah itu diapun mulai bertelur dalam waktu yang lumayan
lama. Menurut Pemandu, induk penyu yang sudah berusia kurang lebih 100 tahun
itu sanggup bertelur hingga 200 butir sekali bertelur.
Sungguh
makhluk yang luar biasa induk penyu ini. Dia hanya akan bertelur jika hatinya
senang dan tenang (bayangkan !). Untuk menjaga moodnya ketika bertelur, suasana
harus gelap sempurna, dan benar-benar hening. Cahaya atau suara sekecil apapun
akan membuatnya membatalkan niatnya bertelur, dan kembali ke laut lalu mati
dengan telur-telur di dalam perutnya. Tak hanya itu, keadaan pasir di pantaipun
harus betul-betul lembut, bersih dan bersuhu tepat. Sedikit saja dia menjumpai
sampah ketika menggali, dia akan menghentikan aktifitasnya alias batal
bertelur. Dan begitulah,seolah harus sambil menahan nafas kami menyaksikan
induk raksasa ini mengeluarkan telurnya yang bercangkang lembut satu persatu
dari dalam perutnya.
Beberapa siswa mulai mengeluarkan kameranya dan mengambil angle yang paling pas
untuk mengabadikan peristiwa unik unik dan langka itu. Pemandu mengizinkan,
namun dengan syarat pengambilan gambar harus dilakukan dari bagian belakang
punggung atau ekor penyu agar tak mengejutkan hewan itu.
Beberapa murid termasuk aku tak tahan ingin menyentuh
makhluk langka yang sudah sangat tua ini. Namun Pemandu tak mengizinkan
kami. Akhirnya aku hanya duduk berlutut di atas pasir di sisi sang induk penyu
seraya berbisik sangat lirih dekat sekali dengan lubang telinganya, ” Halo ibu
penyu, akupun seorang ibu. Aku dapat merasakan sakit yang engkau rasakan saat
ini, karena akupun pernah melahirkan anak-anakku. Bertelurlah dengan tenang,
wahai makhluk Allah ”. Suaraku tercekat dikerongkongan. Tiba-tiba perasaan
haru menyelimuti hatiku. Entahlah, suasana saat itu membuatku sulit untuk tidak
merasa sentimental.
Dan demi Allah, sedetik kemudian aku melihat air mata
berlinang, mengalir di wajah induk Penyu itu, seakan dia mengerti apa yang baru
saja aku bisikkan. Induk Penyu itu menangis ! Ya, dia menangis dengan air mata
berlinangan di wajahnya. Tanpa terasa air matakupun menitik menyaksikan
pemandangan itu. Rekan guru yang sedari tadi menggandeng lengankupun berurai
air mata, beberapa siswa terisak, dan beberapa lagi diam terpaku membisu.
Menurut Pemandu, begitulah perilaku induk penyu ketika bertelur : sambil
berurai air mata. Entah merasakan sakit atau berusaha membersihkan
matanya dari pasir, atau entah apa, hanya induk Penyu itu dan Allah saja yang
tahu alasannya.
Hanya
selama 20 menit kami diizinkan menyaksikan ritual yang bernuansa sendu dan
mistis itu, karena jika lebih lama lagi induk Penyu akan merasa stress.
Akhirnya kami kembali digiring pulang ke penginapan, masih berjalan beriringan
dalam gulita menuju penginapan. Benar-benar 20 menit yang berkesan luar biasa.
Penyu-penyu itu, adalah satwa negeri kita yang sudah sangat langka dan terancam
kepunahan. Predator bagi telur dan tukiknya hanyalah Monyet, Ular, burung
Elang, dan Babi hutan. Namun mereka hanya makan sedikit dan seperlunya saja.
Justru manusialah predator yang paling ganas dan berbahaya. Tidak sekedar telur
dan tukiknya saja yang diburu, bahkan induk penyupun ditangkapi, dibantai,
diperjual belikan, dan dimasak menjadi sup yang dihidangkan di restoran
ekslusif di negara-negara jiran, dengan harga jutaan perporsinya. Tahu tidak
demi alasan apa ? demi meningkatkan kejantanan dan gairah seksual ! Benar-
benar jahat dan dungu. Muak aku memikirkannya.
Teman-teman,
kunjungilah surga tersembunyi ini sesekali. Bawalah keluarga dan teman-teman.
Nikmati keindahan alamnya, ajarilah anak-anak kita untuk mencintai lingkungan
dan segala isinya, termasuk Penyu Hijau si satwa cantik ciptaan Tuhan ini.
Sungguh, anda sekeluarga akan jatuh cinta dibuatnya.
Salam sayang ,
Anni
No comments:
Post a Comment