Lucu deh. Di
desa di Sukabumi tempat saya tinggal, kalau mau ada Pilkada atau Pemilu
apapun, pak RT, pak RW, dan terakhir pak Kades, suka mengumumkan acara Pilkada
ini melalui pengeras suara masjid untuk mengajak masyarakat memberikan hak
suaranya, seperti mengajak masyarakat kampung untuk turut kerja bakti saja .
Seperti pagi tadi sekitar pukul 06.00 wib, terdengar suara pengumuman, ”
Bapak-bapak, ibu-ibu warga Desa Sekarwangi yang kami hormati, pada hari ini
kita sebagai warga Jawa Barat akan melaksanakan pemilihan Gubernur yang disebut
Pilkada. Mangga diantos kasumpinganana (silahkan ditunggu kehadirannya) di TPS
terdekat, jangan lupa membawa kartu pemilih pilkada. Yang tidak punya kartu
pemilih, boleh memakai KaTePe ! Sekian terimakasih. Wassalamualaikum wr wb …”
Wah, Pilgub
Jawa Barat sudah di depan mata nih. Hmmh … coblos siapa yaa ? Tak ada satupun
dari semua pasangan calon Gubernur dan Wakil Gubernur yang wajahnya sudah
berminggu-minggu terpajang di baliho-baliho raksasa di pinggir-pinggir jalan
raya itu , yang sreg di hatiku. Terlalu banyak black campaign beredar di
hari-hari belakangan ini. Ada yang dituding poligamilah, ada yang dituduh
melibatkan paranormal, ada yang dicap tidak berkompeten hanya karena pernah
memerankan tokoh perempuan bloon di sinetron televisi, dll. Jadi bingung. Tapi
semua black campaign itu aku anggap gosip murahan saja, yang ditiupkan oleh
pihak-pihak yang iri pada kedamaian dan keamanan Jawa Barat setiap kali
menyelenggarakan Pilkada. Jadi aku berketetapan hati untuk memberikan hak
suaraku sebagai warga negara yang baik. Siapa pilihanku, kita lihat saja nanti
..
Sejak 10 tahun
yang lalu aku menjadi penduduk Sukabumi. Di perkampungan yang lumayan pelosok,
meski tidak terisolir. Dari Bandung, kota besar, kota yang bikin ketagihan para
wisatawan, kota tempat segala hobiku bisa tersalurkan, aku dan keluargaku
pindah ke Sukabumi karena harus bertugas di sini. Awalnya aku merasa berkecil
hati ketika pertama kali menginjakkan kaki di tanah Sukabumi ini. Yang pertama
terlintas di pikiranku adalah, ” ini kampung ada di Google Earth gak ya ? Ada
sinyal selular gak ya ? …”. Setelah aku cek, ternyata kekhawatiranku itu
sama sekali tak beralasan. Desa Sekarwangi ada kok di Google Earth, dan sinyal
operator apapun ada di sini. Dan belakangan aku malah merasa sangat bersyukur
dapat bermukim di tempat yang seindah ini.
Kehidupan di
desa sungguh sangat berbeda dengan kehidupan di kota. Berbeda dalam segala hal,
termasuk perbedaan penduduk dalam merespon Pilkada. Dulu sewaktu masih tinggal
di Bandung, setiap kali ada Pilkada bahkan Pemilu tingkat pusat, aku lihat
masyarakat Bandung bersikap biasa-biasa saja. Memang mereka memberikan
suaranya, namun tak menunjukkan sikap antusias. Dingin, cenderung skeptis.
Entahlah, mungkin karena mereka sudah lebih melek politik, dan merasa jengah
dengan segala macam pemilihan kepala daerah yang tak banyak membawa perubahan
bagi kehidupan pribadi mereka.
Sikap ini
sangat kontras dengan yang aku saksikan di desa tempat tinggalku kini. Suasananya seperti mau ada pesta. Begitu meriah, hangat, antusias, tak sabar, penuh
keceriaan. Sejak sehari sebelumnya kulihat ibu-ibu tetanggaku yang menghuni
perkampungan di luar kompleks tempat tinggalku, beramai-ramai ke pasar membeli
berbagai bahan-bahan makanan untuk dimasak seusai mencoblos di TPS. Gaya dan
ekspresi mereka begitu sumringah, seolah sedang menanti sebuah moment yang
istimewa.
Pada umumnya
ibu-ibu ini membeli bahan-bahan untuk membuat nasi liwet dan lauk pauknya, atau
membeli aneka buah-buahan untuk membuat rujak. Itulah “tradisi” yang tampaknya
rutin berlaku di desa ini setiap ada pilkada . Lucu dan menarik sekali. Jangan
ditanya soal siapa pasangan kepala daerah yang bakal mereka pilih, karena
rata-rata mereka akan menjawab ” Duka” alias ” Entahlah “.
Tak penting rupanya bagi ibu-ibu ini siapa yang akan memimpin daerahnya.
Concern mereka hanyalah kepada kegembiraan pada hari pemilihan. Ini hari
istimewa, hari berkumpulnya sanak saudara di kampung halaman. Jadi mari kita
sambut mereka dengan hidangan istimewa : Nasi liwet, pepes ikan asin Peda, ayam
goreng bumbu kuning, pepes tahu, aneka lalapan, sambal terasi, dan jangan lupa
kerupuk yang kriuk renyah sudah menanti. Sebagai penyegarnya, sudah tersedia
rujak ulek yang manis-segar-pedasnya menggigit, membuat lupa diri dan ogah
balik lagi ke kota untuk mencari nafkah.
Pilkada di
desaku bagaikan pesta rakyat saja suasananya. Aku bersama suamiku pergi ke TPS
di dekat rumah, dan disambut dengan senyuman ramah para panitia pemungutan
suara yang berseragam batik. Sambil duduk menanti giliran memberikan suara, aku
memperhatikan suasana di TPS di RT 01 /RW 01 ini. Tenda besar berwarna biru
putih berjumbai-jumbai yang biasa dipakai untuk hajatan pernikahan, dipasang
membentang diatas kami. Membuat kami merasa nyaman tidak kepanasan atau
kehujanan. Di bagian tengah tenda tampak berdiri di atas meja kayu, beberapa
kotak suara bercat kuning lusuh. Ke dalam kotak-kotak lusuh itulah nantinya
kami akan memasukkan surat suara yang berisi aspirasi kami. kotak suara
berpenampilan menyedihkan itu, berisi surat suara yang sangat berharga, mungkin
berharga milyaran bagi para calon gubernur yang terhormat itu. Para pemimpin
itu, bahkan rela bertarung hingga ke Mahkamah Konstitusi, demi mempersoalkan
keabsahan jumlah suara yang ada di dalam kotak-kotak suara berpenampilan buruk
rupa itu. Lalu seperti biasa, para elit ini akan melupakan begitu saja rakyat
yang sudah mendukungnya melalui surat suara itu. Selanjutnya dimulailah
permainan politik tingkat tinggi yang serba haus kekuasaan, bergelimang harta
entah halal atau haram, dan tak jarang bergumulan pula dengan perempuan bayaran
nan cantik dan seksi. Jijik aku memikirkannya.
Ah aku tak mau
merusak suasana hatiku dengan memikirkan ulah para politikus busuk itu. Lalu
kulayangkan pandanganku ke bagian depan dekat pintu masuk. Para panitia duduk
berderet dengan senyuman mengembang di wajah. Penampilan mereka gagah dan rapi.
Aku yakin, mereka sudah bekerja berhari-hari demi pesta demokrasi yang hanya
menghasilkan uang sangat sedikit bagi kantong Bapak-bapak dan Ibu-ibu panitia
yang sangat berdedikasi ini.
Lalu para
pemilih. Ya, merekalah sesungguhnya pelaku utama, pemeran protagonis dari semua
kehebohan pesta demokrasi ini. Mereka, bapak-bapak, ibu-ibu, dan para
muda-mudi, semuanya berdandan keren dengan pakaian terbaik mereka. Suasananya
persis seperti sedang hari raya Lebaran saja. Sebagian mengenakan sandal baru,
sebagian bersepatu, bahkan aku lihat ada beberapa gadis yang memakai wedges,
padahal tanah di sekitar situ lumayan becek. Makeup tebal di wajah, lipstik
warna cerah, perhiasan entah apa bergantungan di leher, terpasang di lengan dan
jemari. Ada juga yang berkaca mata cengdem. Tak lupa ponsel di tangan, biar
tambah gaya dong. Senang sekali memperhatikan orang-orang yang lagi
senang. Memperhatikan wajah sumringah dan banyak tersenyum adalah hiburan
tersendiri bagiku.
Sebagian besar
warga kampung kami bermata pencaharian sebagai petani, sebagian kecil sebagai
buruh pabrik, dan sebagian lebih kecil lagi bekerja sebagai PNS atau karyawan
swasta. Tingkat pendidikan mayoritas masih lulusan SD dan SMP. Ini sangat
berkaitan dengan tingkat perekonomian warga yang belum begitu menggembirakan.
Sebagian besar warga kampung ini adalah keluarga tidak mampu.
Berbeda dengan
teori dari Samuel P. Huntington ahli ilmu politik yang mengatakan bahwa tingkat
partisipasi politik berbanding lurus dengan tingkat pendidikan dan ekonomi
masyarakat, warga kampung kami justru menunjukkan kebalikannya. Warga kampung
kami boleh saja miskin, boleh saja berpendidikan rendah, namun itu semua tak
sedikitpun mempengaruhi semangat untuk memberikan suara, untuk berpartisipasi
aktif dalam pesta demokrasi ini. Hanya saja jangan ditanyakan apa motivasi
mereka memberikan suara, atau sejauh mana mereka memahami visi misi para Cagub,
dll, karena tampaknya mereka kurang peduli dengan semua itu. Yang penting,
datang ke TPS, memberikan suara, pakai baju baru, dan selesai. Bukankah
siapapun pemimpinnya mereka tak pernah beranjak menjadi kaya ? bukankah setelah
Gubernur terpilih mereka masih papa sebagai rakyat jelata ? Sudahlah, yang
penting ada rujak segar di rumah, ada nasi liwet menanti, mari senangkan hati,
habis perkara !
Bukan karena
sekarang hari Minggu makanya hari ini kami libur. Hari apapun pelaksanaan
Pilkada atau Pemilu, suasananya di kampung kami tetap seperti hari libur.
Banyak orang memilih tidak bekerja, dan banyak siswa kelas 12 SMA yang memilih
izin tidak masuk sekolah karena ingin merasakan pengalaman memberikan hak suara
untuk pertama kalinya, tanda sudah diakui secara resmi sebagai subjek hukum di
negeri ini. Di kampung kami, Pilkada itu tak sekedar pesta demokrasi, namun
juga pesta rakyat, dimana semua kegembiaraan telah menunggu di rumah bersama
sanak keluarga. Jadi kalau tiba masa Pilkada, ayo siap-siap menabung untuk
membeli keperluan buat memasak nasi liwet dan membuat rujak kegemaran
orang-orang tercinta. Pilkada ? Ngerujak yuk …
Selamat
menjunjung demokrasi ya teman-teman,
Salam sayang,
anni
No comments:
Post a Comment