Apakah anda dilahirkan di tengah-tengah keluarga besar ?
Jika ya, seberapa besar ? berapa jumlah anak terbanyak dalam satu keluarga ? 8
orang ? 10 orang ? 12 orang ? Atau lebih ? Mari kita bercerita tentang
fantastisnya jumlah anak yang dilahirkan oleh keluarga-keluarga kita di masa
yang lampau, dan bagaimana hebatnya orang tua kita memanage keluarganya yang
besar itu.
Aku sendiri bersaudara 8 orang dari 14 orang anak yang
dilahirkan ibuku. 6 orang saudaraku yang lain meninggal sejak di dalam
kandungan, keguguran, atau sesaat setelah dilahirkan. Namun angka 8orang
anak itu termasuk sedikit. Karena saudara-saudara dari pihak Ayah dan Ibuku ada
yang sampai memiliki 21 anak yang hidup.
Kalau dipikir-pikir, orang -orang tua zaman dulu itu
benar-benar luar biasa. Menikah di usia yangsangat dini, dan memiliki anak
dengan jumlah yang menyebabkan proses persalinannyapun sangat mengancam
keselamatan nyawa sang Ibu. Ajaibnya semua anak-anak itu tumbuh dengan sehat,
padahal ekonomi keluarga Indonesia pada masa itu rata-rata sangat
memprihatinkan, sementara tingkat pendidikan Ibu pun sangat rendah.
Kedua faktor ini - pendidikan dan ekonomi - sangat berkaitan
erat dengan pola asupan gizi pada anak. Ibu yang kurang berpendidikan dengan
tingkat ekonomi keluarga yang rendah pada umumnya kurang memahami seluk beluk
asupan nutrisi yang tepat untuk anak-anaknya. Itu teorinya. Namun kenyataan
menujukkan hal yang sebaliknya. Para ibu jadul yang hidup serba memprihatinkan
dan mungkin buta huruf itu, sukses membesarkan anak-anaknya menjadi
manusia dewasa yang sehat dan berpendidikan tinggi. Jika Thomas Robelt Malthus
pakar ekonomi dari Inggris itu mengetahui hal tersebut, kelihatannya dia harus
mendefinisi ulang teori tentang pertumbuhan pangan dan pertumbuhan penduduknya
yang tersohor itu.
Dan tentang ibuku, aku betul-betul kagum pada beliau yang
sudah berusia 76 tahun ini. Tubuhnya masih kuat, jalannya masih tegak, gigi
masih utuh, tidak berkacamata, sehat, dan ini yang penting : tidak pikun.
Padahal di masa mudanya Ibu melahirkan sampai 14 kali. Itu saja
seharusnya sudah cukup menggerus kesehatannya. Belum lagi beliau harus
membesarkan segambreng anaknya seorang diri tanpa pembantu rumah tangga apalagi
baby sitter. Penghasilan Ayahku almarhum yang bekerja sebagai pegawai negeri
tidak memungkinkan kami menggaji pembantu atau baby sitter. Namun demikian kami
berdelapan tumbuh dengan sehat dan berpendidikan hingga ke perguruan tinggi.
Kalau menurut perhitunganku sekarang, hal tersebut benar-benar tak masuk di
akal. Bagaimana Ibu yang tidak mengenal ilmu mengatur keuangan keluarga, dapat
mencukupi semua kebutuhan rumah tangga dengan dana yang sangat minim ? padahal
ayah saya hanya pegawai negeri biasa, dan bukan koruptor pula. Namun begitulah
kenyataannya, Ibu dapat mengatasinya dengan baik.
Sekarang ibu tinggal menuai hasil dari kerja keras semasa
mudanya. Kini Ibu hidup santai menikmati hari tuanya, dicukupi materi oleh
anak-anaknya seraya menyaksikan tumbuh kembang cucu-cucu dan buyut-buyutnya.
Ibu benar-benar mengisi hari tuanya dengan hidup yang berkualitas. Mendatangi
berbagai majlis taklim, menjadi anggota organisasi para ibu pensiunan, turut
serta dalam wisata ke berbagai tempat yang indah, dll kehidupan yang
menyenangkan. Sayang Ayah sudah meninggal. Jika saja Ayahku masih ada,
tentu beliau akan sangat bangga dengan istri tercintanya ini.
Jika kebetulan berkunjung ke rumahku di Sukabumi, dan
mendengar keluh kesahku tentang badanku yang pegal-pegal karena bekerja di luar
dan di dalam rumah, juga kerepotanku membesarkan dua gadis remaja, ibuku hanya
berkomentar santai ” Kamu ini punya anak dua saja, repotnya kaya punya anak
selusin “.
Mendengar itu aku hanya bisa diam sambil agak merasa malu. Habis mau bilang apa
lagi, karena memang begitulah kenyataannya. ibuku saja yang anaknya
segudang dan mengurus segalanya seorang diri, sampai sepuh begitu masih sehat
walafiat. Sementara aku, perasaan semenit sekali mengeluh dan kebanyakan
manjanya ( nggak semenit sekali juga sih, lebay ahh ..)
Yang aku herankan, bagaimana cara ibuku menggembalakan kami
anak-anaknya yang dulu tentu bandel-bandel juga. Bagaimana cara beliau membuat
kami begitu patuh, menurut, dan bisa diatur oleh ibu seorang diri. Mungkin
karena berbeda zaman ya. Mungkin karena dulu negara kita lebih tenteram,
sehingga anak-anak mudanyapun tidak tergolong anak muda yang emosional dan
sensi seperti pada umumnya anak muda zaman sekarang. Selain itu, ibu orangnya
tidak terlalu banyak teori, tidak banyak bicara, tetapi banyak bekerja dan
bertindak, jadi hasilnya terlihat nyata. Kalau ibu-ibu zaman sekarang kan
saking pintarnya jadi kebanyakan teori, akibatnya anak-anaknya malah jadi
salah urus. Itu menurut ibuku.
Selain itu, zaman kami dibesarkan dulu di tahun 70 an sampai
90 an, belum banyak beredar sinetron, film, dan lagu-lagu yang sifatnya
provokatif, mencontohkan perilaku tidak baik, semisal mengajarkan cara
membangkang pada guru, melawan orang tua, merebut pacar orang semau-maunya
sendiri, membully teman sekelas sampai sekarat, dll. Semua tayangan televisi
pada masa itu sangat disensor dengan ketat. Akibatnya, kami tumbuh menjadi
generasi yang taat aturan. Ini juga menurut analisaku yang aku buat sambil
leyeh-leyeh di depan TV sepulang kerja. Kemudian penyebab lainnya sehingga
ibuku begitu piawai mengurus anak-anaknya yang segambreng adalah …. Wah banyak
deh, intinya aku menyimpulkan bahwa ibuku adalah perempuan sakti, wonder woman
!
Aku benar-benar bangga pada ibu dan (alm) ayahku. Mereka
orang yang sederhana, namun dalam kesederhanaannya itu mereka berhasil
membesarkan dan mendidik anak-anaknya dengan sukses. Aku tak tahu harus dengan
cara apa aku membalas budi baik mereka. Aku yakin, teman-temanpun punya kesan
yang sama terhadap Ayah-Ibu tercinta. Betul ?
Nah teman-teman, mari menjadi orang tua yang kasih sayang
kita akan dikenang oleh putra-putri kita di sepanjang hayatnya :)
Salam sayang,
anni
No comments:
Post a Comment