Jagad hiburan Indonesia sekarang sedang dilanda demam Fatin
Shidqia, remaja berumur 16 tahun yang merupakan kandidat kuat pemenang X-
Factor. Ini adalah program music reality show yang memiliki rating tinggi yang
ditayangkan oleh salah satu TV swasta setiap Jumat malam. Saya bukan penggemar
acara ini, karena saya tidak pernah suka dengan acara-acara yang terlampau
dalam melibatkan emosi penonton. Namun saya kagum pada sosok Fatin, remaja yang
sangat berbakat ini. Kehadiran Fatin bagaikan oasis yang mengobati rasa
sesak akibat menyaksikan carut marut negeri ini. Setidaknya masih ada
anak muda yang berbakat, berprestasi, namun tetap tampil sederhana dan santun.
Fatin sebaya dengan anak saya, dan sama- sama duduk di
bangku SMA. Hal inilah yang menyebabkan saya menaruh minat yang lebih pada anak
ini. Jika kebetulan saya melhat aksi Fatin di layar kaca, saya langsung
teringat pada anak-anak saya, dan pada murid- murid di SMA tempat saya
mengajar. Mereka adalah anak-anak remaja Indonesia yang sedang bertumbuh
kembang, sedang menikmati hidup yang penuh keceriaan, sedang senang-senangnya
berteman , dan sedang asyik-asyiknya menuntut ilmu di sekolah. Sebagai seorang
Ibu dan seorang Pendidik, ada kekhawatiran yang terlintas dalam pikiran saya,
bersamaan dengan kekaguman saya terhadap Fatin.
Dunia hiburan
vs dunia pendidikan
Sudah bukan rahasia lagi, dunia hiburan adalah dunia yang yang
sangat keras menuntut para pelakunya untuk bersikap professional dan totalitas
dalam pekerjaannya. Ini berarti dunia hiburan menuntut para pelakunya untuk
hanya fokus pada karirnya dan sedapat mungkin menghalau segala halangan yang
dapat menghambat jalannya karir, termasuk halangan yang bernama pendidikan.Disisi lain, dunia pendidikan adalah dunia yang tak kalah
serius. Ini adalah dunia formal yang tidak boleh dianggap sebelah mata, apalagi
dianggap sebagai sebuah penghalang bagi keberhasilan karir seseorang. Justru
pendidikan adalah syarat utama untuk meniti karir professional, dalam bidang
apapun, termasuk dalam bidang seni. Bagaimana seseorang dapat bersikap
professional dan dapat berkembang dalam dunia kerjanya, jika dia tidak memiliki
ilmu dan wawasan yang memadai yang didapat dari bangku sekolah ?
Bagaimanapun pendidikan sangat penting bagi pekerja seni.
Saya tak mau bersilat lidah lagi, dengan argumentasi yang mengatakan bahwa
keberhasilan seseorang dalam karirnya ( di dunia seni ) tidak ditentukan oleh
setinggi apa ijazah yang dia miliki. Banyak aktris dan aktor yang meraih
kesuksesan tanpa ijazah sekolah didalam genggamannya. Mungkin argumentasi itu
ada benarnya, namun tidak sepenuhnya benar. Fakta lebih banyak menunjukkan
bahwa tingkat pendidikan sangat berpengaruh pada kualitas karir para pekerja
seni. Silahkan googling sendiri, setinggi apa pendidikan para pesohor Hollywood
sekelas Kate Beckinsale, Natalie Portman, Matt Damon, Alicia Keys, Emma Watson,
Tommy Lee Jones, dll. Ini tidak termasuk Jodie Foster, Sharon Stone, dan Brooke
Shields yang memang tergolong memiliki IQ level Jenius, Atau komedian Inggris
Rowan Atkinson si Mr Bean ,yang bergelar Master di bidang Teknik Elektro.
Dunia Seni yang minim toleransi
Dunia seni adalah dunia yang bergerak di bidang jasa. Produk
yang dihasilkan adalah jasa hiburan. Inilah yang membuat dunia seni menjelma
menjadi dunia yang keras seolah tanpa mengenal toleransi pada para pekerjanya.
Para kostumer akan bersikap “ like or dislike “ terhadap suguhan seni. Jika
sebuah program hiburan mampu merebut minat pemirsa, maka program tersebut akan
terus berlangsung. Namun, jika sebaliknya, sebuah program yang dirancang sebaik
apapun, akan langsung dimatikan, tanpa ampun lagi. Inilah yang menyebabkan
dunia hiburan seakan memaksa para pekerjanya untuk terus dan hanya memfokuskan
perhatiannya pada bidang ini. Gangguan sekecil apapun terhadap konsentrasi
kerja, hanya akan berakibat mandeknya kreatifitas.
Jika para pekerja seni itu adalah orang dewasa, tentu
halangan pendidikan tidak akan terjadi. Namun masalah akan timbul manakala
pekerja seni tersebut adalah anak-anak yang masih menjalani pendidikan formal
di bangku sekolah. Seringkali anak-anak harus dihadapkan pada pilihan yang
sulit, apakah akan tetap meniti karir ataukah memilih melanjutkan sekolah
dengan resiko menghentikan karir yang sedang menanjak ?
Anak-anak adalah manusia kecil yang belum memiliki kemampuan
memadai untuk menentukan pilihan hidupnya, Nalar dan kematangan psikologisnya
belum memungkinkan untuk mengambil keputusan sepenting itu. Disinilah
pentingnya peranan Orang Tua dan Guru untuk terus melakukan pendampingan
terhadap anak-anak yang memang memiliki bakat istimewa semisal Fatin. Orang Tua
dan Guru harus secara seksama mengikuti perkembangan pendidikan anak – anaknya,
untuk kemudian mengambil semua langkah yang dirasa perlu ketika pendidikan anak
sudah mulai terganggu.
Jangan sampai pendidikan anak dikorbankan
Sudah banyak korban berjatuhan di kalangan bintang remaja.
Mereka ini, entah karena keinginan pribadi atau ambisi orang tua, harus
merasakan kegagalan pendidikan, semisal tidak naik kelas, atau yang lebih
ekstrem lagi adalah dikeluarkan oleh pihak sekolah akibat aktifitas yang sangat
padat di dunia hiburan. Baiklah saya akan menyebutkan beberapa nama untuk lebih
jelas lagi. Ada Nikita Willy yang terpaksa meninggalkan bangku sekolah semasa
SMA, ada Citra Scholastika yang dikeluarkan dari sekolah dan memilih home
schooling. Lalu beberapa tahun sebelumnya ada Shandy Aulia yang tidak naik
kelas, Marshanda yang dibully ketika bersekolah di SD sampai menderita stress
berat akibat dendam berkepanjangan, dll (untuk semua informasi, cmiiw ).
Akhirnya banyak para artis muda tersebut memilih Home Schooling sebagai jalan
keluarnya. Sebuah langkah yang terdengar instant. Menganggap Home Schooling
adalah institusi pendidikan main-main yang dapat diperlakukan dengan santai,
hanya karena waktu belajar yang dapat dinegosiasikan. Sedih mendengar para
artis muda yang nota bene adalah anak bangsa yang berbakat , harus mengalami
kegagalan pendidikan.
Sebagaimana aktifitas syuting film layar lebar atau
sinetron, latihan- latihan dalam program X- Factor pun berjalan begitu keras
dan menyita waktu serta tenaga. Saya khawatir, setelah menjalani sesi latihan
yang begitu panjang dan melelahkan Fatin tidak memiliki cukup energi lagi untuk
menekuni pendidikannya di bangku SMA. Pelajaran di kelas XI itu sedang banyak-
banyaknya dan sedang sulit-sulitnya. Apakah dengan kesibukannya seperti
sekarang, Fatin masih dapat tetap berkonsentrasi seperti dulu ? ini harus
menjadi perhatian pihak penyelenggara dan para mentor program X- Factor, pihak
orang tua Fatin, serta pihak sekolah. Jangan sampai anak yang memilik bakat
seistimewa Fatin, mengalami kegagalan dalam pendidikannya. Karena Fatin adalah
anak Indonesia yang memiliki peluang besar dalam berprestasi hingga tingkat
dunia, mengharumkan nama bangsa, dan memiliki masa depan yang cemerlang.
Penyelenggara X- Factor dan pihak sekolah harus
membantu
Tak ada jalan lain. Harus ada kesepahaman antara
penyelenggara program X-Factor dengan pihak SMAN 97 Jakarta tempat Fatin
bersekolah. Fatin adalah anak berbakat yang harus dibantu. Dia harus tetap
bersekolah, namun bakatnya di bidang tarik suara juga harus tetap berkembang.
Saya yakin selalu ada jalan bagi setiap permasalahan. Selama masih ada kemauan
dan itikad baik, tidak mungkin konflik pendidikan versus karir tidak dapat
terselesaikan.
Pendidikan harus dinomor satukan, tidak dapat ditawar lagi
karena menyangkut masa depan. Ini penting dicamkan oleh Fatin yang
bercita - cita menjadi penyanyi profesional. Sekali lagi dunia seni
seringkali tak mengenal belas kasihan terhadap para pelakunya, sebesar apapun
bakat yang mereka miliki. Banyak artis berbakat besar didepak begitu saja dari
di dunia hiburan, hanya karena alasan tak masuk akal semisal menikah. Dan jika
itu terjadi, Fatin tak perlu berkecil hati. Karena dengan pendidikan, dia
memiliki bekal hidup yang tak kan lekang oleh waktu, yaitu ILMU yang
diperoleh dari bangku sekolah. Namun begitu, jangan sampai pendidikan
justru mematikan potensi dan kreatifitas Fatin. Kedua bidang itu
harus berjalan dengan selaras. Jika perlu tirulah langkah Gita Gutawa, Cinta
Laura, dan Nicholas Saputra yang rela meninggalkan karirnya yang sedang berada
di puncak, demi mengejar pendidikan setinggi-tingginya. Toh kualitas mereka di
bidang seni sudah teruji, dan publik Indonesia sudah tahu, bagaimana prestasi
mereka.
Salam sayang,
anni