Hari ini terdengar kabar tentang bayi yang tergantung di
kloset toilet sebuah mall. Kemarin tersiar berita tentang penemuan bayi
perempuan yang masih bernafas, terbaring menangis di lantai toilet sebuah
gudang pabrik. Besoknya lagi para calon penumpang di sebuah bandara dihebohkan
dengan penemuan sesosok mayat bayi laki-laki yang tergolek di lantai
toilet bandara. Bayi-bayi malang itu diduga dilahirkan beberapa saat
sebelumnya oleh perempuan yang tidak menghendaki kehadiran bayi tersebut. Itulah
yang terjadi. Begitu jabang bayi hadir ke dunia, sang ibu langsung membuangnya,
seolah membuang sampah saja.
Para ibu yang telah memiliki putra-putri, tentu masih ingat
bagaimana rasanya melahirkan. Saya sendiripun masih ingat, meski saat terakhir
kali melahirkan adalah 15 tahun yang lalu. Rasa sakitnya sungguh tak terperi.
Rasa nyerinya sungguh tiada dua. Beginilah rasanya masuk ke dalam kondisi
ketika batas antara hidup dan mati begitu tipis.
Apa yang teman-teman lakukan pada saat itu ? apakah menangis
? merintih,berteriak ? meremas jari Suami sampai dia meringis kesakitan ?.
Kalau begitu sama dengan yang saya alami. Saya pun seperti itu, tak kuasa
menahan rasa sakit yang sangat dahsyat. Memang begitulah lazimnya
perilaku perempuan pada saat melahirkan. Berubah menjadi seribu kali lebih
manja, karena sebetulnya ada rasa takut teramat sangat yang diam-diam
menyelinap ke dalam hati. Khawatir sehabis ini tak lagi dapat melihat indahnya
dunia dan wajah orang-orang tercinta.
Namun itu tak terjadi pada perempuan-perempuan yang
melahirkan di toilet. Mereka yang melahirkan dengan sembunyi-sembunyi lantaran
melahirkan tanpa ikatan pernikahan. Perempuan-perempuan itu, sebab menghindari
celaan tetangga, memilih melahirkan di tempat- tempat yang tidak lazim, dan
dengan cara yang tidak lazim pula. Alih-alih melahirkan di atas tempat
tidur yang nyaman didampingi dokter ahli atau bidan yang baik hati, lebih
memilih melahirkan di sembarang toilet.
Entah apa yang terjadi dengan perempuan-perempuan itu.
Bagaimana cara mereka melahirkan dan menahan rasa sakit yang sedahsyat itu?
bagaimana mungkin mereka tidak bersuara sedikitpun ? tidak menangis,
tidak merintih, apalagi berteriak ? padahal melahirkan seorang bayi,
tak peduli dalam perkawinan atau diluar perkawinan, saya yakin rasa
sakitnya sama saja.Disatu sisi saya merasa takjub pada perempuan-perempuan ini.
Melahirkan dengan proses yang cepat tanpa bermanja-manja. Tak sampai disitu,
diapun masih harus secepat kilat menyingkir jauh-jauh dari tempat itu, agar
perbuatannya tidak diketahui orang lain. Boleh jadi mereka memilih toilet agar
dapat segera membersihkan tubuhnya dari lumuran kotoran dan darah sehabis
melahirkan. Saya sungguh tak habis pikir, alangkah kuatnya mereka.
Padahal dalam kasus yang normal, seorang perempuan yang baru saja melahirkan,
jangankan langsung membersihkan diri lantas kabur, bahkan sekedar dudukpun tak
sanggup lagi, akibat deraan rasa sakit dan letih yang luar biasa.
Tak terbayangkan pedihnya hati perempuan-perempuan yang
melahirkan di toilet mall, di kebun kosong, di pinggiran sungai, dan di
tempat-tempat tak bermartabat lainnya. Sendirian melawan sakit, tak didampingi
laki-laki yang konon mencintainya, tak ada lantunan doa dari Ayah- Bunda, atau
kakak perempuan yang turut mengusap-usap punggung dan pinggang, tak ada
tetangga dan sahabat yang menjenguk. Juga tak ada sensasi kebahagiaan tak
terlukiskan saat sang bayi pertama kali menyusu di dada kita. Tak ada semuanya.
Dia sendiri, seorang diri. Hanya berteman tangis, malu dan sesal di hatinya. .
Dan sesal serta kesedihannya itu kian bertambah besar saat dia harus
meninggalkan bayinya begitu saja di lantai toilet. Setelah itu hingga hari –
hari selanjutnya gelar perempuan keji pendosa pun melekat erat pada diri dan
hatinya hingga mati. Perempuan- perempuan itu melakukan hal diluar nalar,
terdorong rasa malunya pada tetangga, pada teman-temannya, pada orang- orang
yang mengenalnya, rasa malu yang mengatasi rasa malunya pada Allah yang maha
mengetahui segala perbuatannya.
Perempuan-perempuan yang melahirkan di toilet itu, sebab
merasa aib , terpaksa menyingkirkan jauh-jauh rasa sakit dan nelangsa saat
melahirkan. Menyingkirkan rasa ingin disayang dan ditemani. Sendirian menyabung
nyawa demi menutupi dosa. Dosa yang tak terhapus oleh prosesi melahirkan yang
sejatinya adalah ladang jihad seorang perempuan. Dosa yang kemudian berlipat
seiring dengan membatunya hati sewaktu membuang makhluk lemah tak berdaya yang
dia keluarkan dari rahimnya sendiri. Sementara laki-laki lancung
yang telah membuahinya melenggang entah kemana. Mungkin sedang tertawa-tawa
membuahi perempuan bodoh lainnya.
Kisah perempuan bodoh dan laki-laki lancung serta bayi
malang yang terbuang akan terus berlangsung, jika masyarakat tak segera
mengakhiri lingkaran setan kemerosotan moral ini. Kita harus mengakhiri semua
tragedi kemanusiaan ini, sekarang juga, seorang diri atau bersama- sama. Tak
ada pilihan lain kecuali mendidik anak-anak gadis kita agar pandai menjaga
kehormatan dirinya, dan mendidik anak laki-laki kita agar menjadi manusia yang
tahu etika. Yang tidak hanya pandai menjadi pejantan, namun juga harus tahu
bagaimana seharusnya bersikap sebagai laki-laki sejati ! Selamat mendidik
putra- putri tercinta ya teman – teman …
Salam sayang,
anni
No comments:
Post a Comment