Kupandangi judul artikel itu sekali lagi. Tulisan yang dibaca lebih
dari lima puluh delapan ribu orang itu sudah lama menjadi referensi akan
tindakan yang akan ku lakukan: “Tak kuhadiri reuni, sebab aku miskin”.
Alinea demi alinea di tulisan itu anehnya semua saya setujui. Makin
bulat saja keputusan yang ingin saya buat: tolak undangan reuni.
“Ah, apalah saya ini. I was nothing. I am nothing”, gumamku.
Badan kurebahkan di kursi kayak Jepara panjang di teras belakang.
Semilir angin malam, setelah siang harinya begitu terang, cukup segar
menerpa pipi. Lambaian dan goyangan pohon kemboja kuning tua seolah
menjadi hiburan tersendiri.
Suasana santai seperti itu tampaknya justru membawa saya berkunjung ke
Sukabumi. Menemui seorang guru yang sedang populer di jagat media sosial
dan lebih senang dipanggil sebagai seorang pendidik. Seorang istri, dan
ibu dari dua gadis cantik, dan mengaku jika orang lain berkata dia
orang baik. Dialah Bu Anni, penulis artikel di atas.
Dan saya sekarang sedang duduk di beranda depan rumahnya, saat seorang
perempuan dengan pipi tembem berjilbab merah muda tua (pink tua)
kesukaannya itu muncul.
“Tidak salah lagi ini yang namanya Bu Anni”.
Tangannya menggenggam pegangan nampan yang berisi dua gelas es jeruk.
“Ah, iya. Sajian khas Bu Anni. Bisa jadi saya tamu pertama di
berandanya”, gumamku. “Wah, untung tujuan datang untuk meminta petuah
saja. Jadi gak butuh waktu lama. Bakalan banyak tamu nih kayaknya”.
Kemudian bu guru itu duduk, persis di depanku. Berhadap-hadapan.
“Ah, dia memang pede banget ya menghadapi apa saja yang ada di
hadapannya”, pikirku lagi. “Termasuk berhadapan dengan cowok keren
sekelas diriku”.
Bu Anni: “Ah, Ripki. Meni geuleuh. Kamu teh sudah tua, tahu. Ngaku-ngaku ganteng kayak Reinhart segala”
Rifki: “Maksud bu Anni?” (guratan-guratan muncul di keningku tanda gagal paham)
Bu Anni: “Sudah, gak usah dipikirin, Ripki yang baik”. (ciri khasnya muncul)
Pembicaraan sejenak terpotong. Beberapa ibu-ibu berjalan beriringan melintas di depan rumahnya.
Ibu-ibu: “Bu Asep….. tidak ke pasar?” (dengan wajah ramah)
Bu Anni: “Enggak bu. Ini ada tamu” (dengan wajah tidak kalah ramahnya, meski tidak bisa menutup sebuah kecewa)
Bu Anni: “Tuh kan Ripki. Sebel.” (pipinya bersemu merah)
Lalu mulailah Bu Anni berpetuah. Saya bersiap menerima petuah panjang, persis seperti panjang artikel yang biasa ditulisnya.
Bu Anni: “Kalau mau reuni, ya reuni saja. Sayah mah tidak mau dan malas
ah. Reuni mah suka jadi ajang ya …seperti yang pernah Bu Anni tulis itu.
Belum lagi kalo iurannya gede. Belum kalau suka banding-bandingin
keberhasilan”.
Rencana petuah panjangnya terpotong, setelah terdengar panggilan dari dalam rumahnya “Beib….beib”.
“Maaf ya Ripki, Bu Anni masuk dulu” – meninggalkanku yang cukup melongo.
“…tapi saya tahu Ripki bijaksana, tahu mana yang terbaik. Khan, Ripki
itu pramuka”
Seiring masuknya Bu Anni ke dalam rumahnya memenuhi suara panggilan pria
yang dipanggilnya “beib” itu, masuk pula sebuah pesan singkat di hape
dalam genggamanku.
“Gak usah minder Ki? Ini reuni perak loh”, demikian bunyinya.
Kepalaku sekarang tegak. Tersadar, di depanku sekarang muncul sebentuk
wajah mungil tembem tersenyum lucu sekali. Tangannya yang tadi
menyerahkan hape bersentuhan dengan kulitku. Ah, alangkah halusnya. Lalu
dia memelukku, dan mulutnya yang mungil mengucapkan mantra yang indah
yang beberapa kali kudengar “Ade, sayang sama Ayah”.
“Hmm….Nak. Ayah gak miskin. Ayah punya Ibu, punya Kakak dan punya kamu.
Ayahmu sekarang juga tidak miskin nyali dan tidak miskin keberanian.
Ayah tahu yang akan Ayah lakukan. Ayah akan buktikan apa yang
dikhawatirkan”, sambil kucium pipi putih halusnya.
Dengan pasti, jariku lalu menekan tuts hape memberi jawaban.
“Saya ikut Bro. Meski perut maju, pantat mundur, insya Allah saya tidak
akan takabur. Saya bijaksana. Saya berani, jujur dan bersahaja. Kan saya
pramuka. Hahahah”.
Kuhadiri reuni, sebab …. aku seorag pramuka :)
No comments:
Post a Comment