Beberapa
hari lalu saya sempat membaca sebuah artikel yang sempat dijadikan sebagai
salah satu Trending article di Kompasiana. Artikel tersebut memuat sebuah
kisah inspiratif yang diduga hoax alias sekedar kisah rekaan yang bertujuan
mengajuk hati pembacanya agar jatuh haru, berurai air mata, dan selanjutnya
tergugah untuk berbuat baik sesuai dengan moral cerita yang dihadirkan. Saya
tidak akan mempermasalahkan mengapa kisah yang sudah beredar sejak dua tahunan
lalu dan diduga kisah palsu ini dapat terpilih oleh admin untuk dijadikan
sebagai TA. Apakah Admin tidak membacanya terlebih dahulu, ataukah memang admin
belum pernah membaca kisah tersebut ? tentu saja jawabannya sangat klasik :
hanya Admin dan Tuhan saja yang tahu.
Apapun
itu, tulisan yang saya maksud tersebut memuat kisah tentang seorang Nenek yang
mencuri singkong, lalu dijatuhi hukuman satu tahun penjara oleh Hakim, namun
sang Hakim membebaskan sang Nenek karena merasa iba dan malah berbalik mendenda
pengunjung sidang sebesar 50 ribu rupiah perorang, karena Hakim menganggap
mereka telah membiarkan ada seorang Nenek miskin merasa lapar tanpa ada yang
peduli.
Dua
tahun yang lalu, saya sudah membaca kisah ini dari broadcast BBM, melalui
email, melalui mailist, melalui SMS, dsb, dengan versi dan locus delicti yang
berbeda-beda. Ada yang menyebutkan kejadiannya di Alabama -USA, ada yang. di
Cina, lalu di kota Padang, Jawa Timur, di Prabumulih ,dan entah dimana lagi,
namun dengan alur cerita yg sama persis, yakni tentang Hakim yang membebaskan
terdakwa yang miskin karena motif rasa kasihan.
Lucu
juga membaca komentar-komentar dalam tulisan tersebut. Sebagian mengkritisi
kejanggalan yang terjadi dalam ruang sidang, semisal, mana ada Hakim pakai
toga, memangnya mau wisuda ? he he …
Atau, mana ada pasal KUHP yang membenarkan Hakim memungut sejumlah uang sebagai
denda dari pengunjung sidang, mana mungkin mencuri beberapa buah singkong
dihukum satu tahun penjara, dan banyak lagi komentar lain yang mempertanyakan
keabsahan kisahnya.
Harus
diakui ada pesan moral yang positif dalam kisah tersebut, yaitu berbelas
kasihlah pada tetangga yang lemah. Tingkatkanlah rasa saling peduli terhadap
sesama manusia, dsb. Namun demikian, ada satu perilaku yang cukup “berbahaya”
yang dikemukakan dalam kisah tersebut, yakni perilaku memaafkan seseorang yang
melakukan kesalahan, karena didorong rasa kasihan. Dalam hal ini Hakim
membebaskan terdakwa yang mencuri singkong, karena sang hakin merasa iba pada
nenek yang miskin.
Dalam
terminologi Filsafat, perilaku yang demikian disebut ” Argumentum ad
Misericordiam”, yakni kesesatan berfikir sebab merasa kasihan. Sepintas
perilaku memaafkan, dan sifat mudah merasa kasihan, adalah sifat yang benar dan
terpuji. Namun akan fatal akibatnya jika hal ini diterapkan dalam bidang hukum
dan pendidikan. Sampai kapanpun hukum takkan pernah dapat ditegakkan jika
setiap kesalah dapat dengan mudah dimaafkan. Betapa proses hukum akan menjadi
sebuah dagelan yang tidak lucu jika pada akhirnya semua proses di persidangan
akan bermuara pada pemberian maaf sebab para penegak hukum merasa kasihan.
Semua
perbuatan ada konsekuensinya. Demikian pula setiap pelanggaran hukum pasti akan
ada konsekuensi hukumnya. Terlebih jika sudah merambah ke pelanggaran hukum
pidana. Hukum pidana adalah hukum publik. Dimana para pelanggarnya akan
berhadapan dengan negara yang dalam hal ini semua proses hukumnya akan
dilaksanakan oleh para aparat penegak hukum. Dalam bahasa awam, tindak
pidana adalah perbuatan kriminal, perbuatan kejahatan yang membahayakan
keselamatan nyawa dan harta manusia yang dapat dikenai sanksi pidana. Mengingat
betapa seriusnya akibat sebuah kejahatan bagi kemanusiaan, maka wajar jika
hukum pidana adalah hukum yang paling tegas dalam penegakkannya.
Semua
tindak kejahatan ada sanksinya., tak peduli siapa pelakunya. Biarkan proses
hukum berjalan. Karena toh dalam mengambil sebuah keputusan, Hakim akan
menggunakan rasa keadilannya. Inilah koridor yang dapat meringankan terdakwa.
Banyak faktor yang menyebabkan keringanan itu, antara lain faktor sikap
terdakwa yang kooperatif selama proses persidangan, bersikap sopan, menjawab
pertanyaan Hakim denhgan lugas tidak berbelit-belit, faktor masih muda dan
belum pernah melakukan kejahatan, dsb. Rasa keadilan inilah yang merupakan ”
keran ” yang dibenarkan dapat dibuka-tutup oleh Hakim dalam menjatuhkan
vonisnya. Jadi jika Hakim membebaskan begitu saja terdakwa yang jelas-jelas
bersalah, meski si pelaku adalah nenek tua renta, maka justru Hakim yang akan
dikenai sanksi oleh institusi atasannya. Bayangkan pula betapa luas eksesnya.
Tidak mustahil akan hidup sebuah nilai negatif dalam masyarakat yang berbunyi ”
orang miskin boleh mencuri “.
Sebagai
catatan, dalam hukum pidana dikenal pula istilah alasan pemaaf, yaitu
alasan yang dapat menghilangkan suatu kesalahannya. Perbuatannya sendiri tetap
merupakan perbuatan pidana , namun si pelaku dinilai tidakmelakukan kesalahan ,
maka dia tidak dikenai sanksi pidana. Sebagai contoh : seorang perempuan yang
diserang oleh laki-laki yang mencoba memperkosanya. Lalu si perempuan tersebut
melawan hingga menyebabkan kematian si penyerang. Maka untuk kasus seperti ini
perempuan tersebut akan dimaafkan. Perbuatan membunuhnya sendiri adalah sebuah kesalahan,
namun alasan dia melakukan itu dapat memaafkan kesalahannya (cmiiw).
Itu
dalam bidang hukum. Kesesatan dalam berfikir bisa sangat berbahya juga jika
terjadi di lingkungan selebihnya. Umpamanya di lingkungan pendidikan atau dalam
lingkungan keluarga. Seorang siswa yang melakukan bullying, merokok, seks
bebas, mencontek, berkelahi, dll akan dengan mudah mengulangi lagi perbuatannya
jika setiap kali dia melanggar, kepala Sekolah, para guru, dan orang tua
memaafkan begitu saja perbuatannya hanya karena rasa kasihan, sebab dia baru
berumur 14 tahun umpamanya, sebab wajahnya sangat lugu, atau karena dia
memiliki suara yang merdu dan sering menjadi penyanyi dalam acara pensi
sekolah, misalnya. Tak ada sedikitpun manfaat edukatif yang akan didapat dengan
membiarkan anak berbuat salah tanpa mendapatkan sanksi yang sesuai.
Seorang
anak adalah calon manusia dewasa di masa yang akan datang. Dia harus didiik
menjadi manusia yang bertanggung jawab atas segala perbuatan yang telah
dilakukannya. Jangan sampai karena salah penanganan semasa kecil, dia tumbuh
menjadi manusia dengan pemahaman yang keliru tentang arti melakukan sebuah
kesalahan. Jangan sampai dia berpikir bahwa segala potensi yang dia miliki
termasuk kemampuannya bersandiwara di depan orang banyak, dapat dijadikan
senjata agar orang lain dapat dengan mudah memaafkan kesalahannya.
Sesat
berpikir karena rasa kasihan sering kita jumpai akhir-akhir ini bukan ? Melalui
media massa kita melihat serombongan ibu-ibu melakukan unjuk rasa di depan
ruangan tempat artis Rafi Ahmad ditahan. Ibu-ibu yang heboh ini meminta agar
Rafi dibebaskan dengan alasan, ” Kasihan, Rafi kan masih muda, tulang punggung
keluarga, mana ganteng, lagi ! ”. Mana bisa begitu. Muda boleh saja,
ganteng juga sudah pasti. Namun hukum di negeri ini mengatakan terlarang
mengonsumsi drugs. Barang siapa yang melanggar harap bersiap-siap dengan sanksi
hukumnya. Itu baru satu contoh. Contoh lain, sangat berjibun di negeri kita
yang kadang lucu dan ajaib ini.
Satu
hal yang harus dicamkan dalam menerapkan sanksi hukum adalah, sanksi yang
berkaitan dengan pelanggaran pidana, mari kita serahkan saja pada mekanisme dan
proses pengadilan dan kebijaksanaan Hakim. Namun jika kesalahan itu dilakukan
oleh anak kita atau murid kita, bersikaplah tegas. Berilah anak dengan sanksi
yang mendidik dan tidak melukai fisik maupun batinnya. Berpikir dan
bertindaklah kreatif dalam memberikan sanksi. Sanksi harus memiliki efek jera,
meninggalkan kesan mendalam, dan edukatif.
Memang
benar, tak ada sanksi yang enak. Namun kadang anak harus diperkenalkan dengan
kerasnya kehidupan, agar mereka belajar menjadi manusia yang bertanggungjawab
dan tidak cengeng.
Semoga
bermanfaat ya teman-teman :)
Salam
sayang,
Anni
No comments:
Post a Comment