Saya
mengenal banyak orang, baik teman, maupun sanak famili, yang secara usia dan
kondisi sudah sangat siap menikah, namun masih saja belum melangsungkan
pernikahan karena kendala teknis.
Kadang saya
tidak dapat banyak membantu, selain menasihati bila diminta, dan mendoakan
mereka. Paling sebatas itu. Selebihnya saya hanya bisa merasa prihatin.
Jika saya
tanya, mengapa belum juga melangsungkan pernikahan, kebanyakan jawabannya
menjurus pada persoalan teknis semata, bukan pada masalah yang sangat krusial,
yang betul-betul menyangkut masalah pernikahan itu sendiri.
Sebagai
ilustrasi, saya mempunyai seorang teman (perempuan) yang berusia 26, lulusan
S1, sudah bekerja sebagai karyawan swasta dengan gaji yang cukuplah untuk
memenuhi kebutuhannya sendiri dan mentraktir adik-adiknya. Teman saya ini sudah
mempunya calon suami yang juga lulusan S1, sudah memiliki penghasilan dari
bisnis pembuatan t-shirt dan percetakan. Mereka sangat siap menikah. Rasanya
saya sudah mendengar tentang rencana pernikahan itu entah dari tahun kapan deh,
tapi sampai hari ini pasangan itu masih juga belum menikah.
Ketika saya
tanya alasannya, saya dapat menyimpulkan bahwa kendalanya asli kendala teknis.
Begini maksud saya. Calon suami teman saya itu, belum dapat melangsungkan
pernikahan karena merasa belum memiliki tabungan yang cukup untuk
menyelenggarakan resepsi pernikahan, karena pihak keluarga laki-laki
menginginkan pernikahan dengan adat Sunda, lengkap dengan pergelaran wayang
golek semalam suntuk. Selain itu, pihak keluarga laki-laki masih belum merasa
cocok dengan pekerjaan anak laki-lakinya yang “hanya” sebagai pedagang kaos dan
menerima pesanan cetakan. Mereka ingin agar anak laki-lakinya menjadi PNS, yang
menerima gaji secara rutin setiap bulan.
Nah, disini
sudah jelas bahwa kendala pernikahan itu justru terletak pada kendala teknis
yang ditimbulkan bukan oleh pasangan yang akan menikah, namun justru datang
dari pihak keluarga besar. Calon pengantinnya sendiri sama sekali tidak
mempermasalahkan apakah pernikahannya akan diselenggarakan dengan menanggap
wayang, ataukah sederhana saja. Pasangan ini juga tidak mempersoalkan pekerjaan
yang sekarang sedang dijalani. Yang penting cepat menikah titik.
Kadang saya
tak habis mengerti, mengapa orang-orang begitu concern pada hal-hal yang
sifatnya sekunder, sementara masalah yang primer malah dikesampingkan. Bukankah
dalam kasus yang saya gambarkan tadi, hal yang terpenting adalah disegerakannya
pernikahan mengingat pasangan calon pengantin sudah dalam kondisi siap
berumahtangga. .
Soal
menanggap wayang, soal jadi PNS, itu kan masalah teknis, bukan masalah esensi
pernikahan. Nggak nanggap wayang juga nggak apa-apa kan ? bukan PNS juga nggak
masalah kan ? hari gini, nanggap wayang golek itu harus sedia uang minimal 150
juta. Lalu untuk jadi PNS, jika kita melalui prosedur yang resmi, sama sekali
tidak ada jaminan kapan kita akan dapat lulus test CPNS. Sementara jika ingin
cepat lulus dan harus lewat jalur belakang alias harus memberi uang pelicin
kepada oknum pegawai dinas, kita harus mengeluarkan dana minimal 60 juta. Jadi
total jendral, untuk dapat melangsungkan pernikahan anak-anak mereka, keluarga
harus menyediakan uang 210 juta rupiah yang notabene adalah asli diperuntukkan
bagi teknis hajatan pernikahan . Lalu, jika uang sejumlah itu belum tersedia,
apakah anak-anak itu nggak akan dinikahkan, begitu ? apa nggak kasihan ?
Atau mau berhutang, barangkali ? terus siapa yang harus membayar semua hutang
itu setelah pestanya bubar ? pengantin baru ? wah, malam pertamanya bisa nggak
konsentrasi tuh !
Menurut
hemat saya, dimasa sekarang ini, ketika kita harus pandai-pandai memanfaatkan
peluang, ketika segala pengeluaran harus direncanakan dengan efisien, segala
waktu, tenaga, dan pikiran yang dikeluarkan sangat berharga, agak terdengar
janggal jika rencana sebuah pernikahan terhambat oleh persoalan yang kurang
penting alih-alih mendahulukan skala prioritas. Coba, mana yang lebih penting,
mengeluarkan uang 150 juta untuk nanggap wayang golek, atau untuk membeli rumah
sebagai tempat tinggal pengantin baru tsb ? Nanggap wayang memang bagus, tapi
itu tentu saja bagi mereka yang keuangannya memungkinkan. Kemudian mengharap
menjadi seorang PNS juga tidak ada salahnya, tapi apakah ada jaminan kapan
bakal lulus test nya ? kalau tidak jelas kapan, wah keburu disamber orang lain
nanti calon mantu kita. Lagi pula memangnya masalah ya, kalau orang punya
pekerjaan bisnis kaos ? enggak kan ?
Pesta mau semewah semegah apapun ya tentu saja boleh, dengan catatan, kedua
belah pihak memang benar-benar mampu secara finansial, alias tidak memaksakan
diri demi gengsi.
Melangsungkan
pernikahan itu harus dibuat simple, jangan dipersulit. Maksud saya
pelaksanaannya dipermudah, bukan lembaga perkawinannya yang dipandang
sederhana. Sebab lembaga perkawinan adalah sebuah institusi dasar yang paling
penting bagi kemanusiaan dan bagi keberlangsungan sebuah bangsa. Lembaga
perkawinan yang membentuk keluarga, adalah sendi-sendi pokok, pondasi bangunan
sebuah bangsa. Jadi mana bisa kita menganggap lembaga perkawinan sebagai
sesuatu yang sepele. Jika upaya membentuk keluarga dipersulit oleh hal-hal yang
kurang penting, saya khawatir akan banyak pasangan yang melangsungkan
pernikahan secara serampangan, kawin lari, asal sah, dll, yang menimbulkan
dampak kurang baik bagi keluarga yang nantinya akan terbentuk. Jika
keluarga-keluarga muda tidak memiliki pondasi yang kuat, bisa rusak bangsa kita
nanti.
Kebanyakan
masyarakat kita memang suka terbalik-balik logikanya kalau berpikir. Yang
jelas-jelas kemasan dijadikan isi, yang isi malah jadi bungkus, tidak bisa
dengan tegas memilah mana yang penting dan mana yang kurang penting.
Ayolah, mari mendahulukan yang penting. Jangan bebani calon pengantin dengan
masalah teknis yang kadang sangat diluar jangkauan mereka. Ini karena didorong
rasa simpati saja makanya saya bicara seperti ini : pesta pernikahan itu, mau yang
diselenggarakan di hotel berbintang, atau nyempil di pinggiran gang, semuanya
sama saja, nggak ada satupun orang yang akan mengingat-ingat. Jangankan teman,
tetangga, sanak saudara sendiripun kadang lupa. Dan yang namanya malam pertama,
mau di kepulauan Karibia atau di rumah mertua, rasanya sama saja. Bener deh. he
he …
Cobalah
tanyakan kepada para calon pengantin yang sudah siap menikah namun belum juga
melangsungkan perkawinan karena seolah mereka sedang menunggu Godot. Tanyakan,
apakah mereka bersedia menikah dengan cara yang sederhana ? Saya yakin pasti
kebanyakan akan menjawab : mau, bersedia, nggak masalah ! Ya habis gimana,
sudah nggak kuat kann ? eh ..
Agama
manapun (terutama agama Islam yang saya pahami) tidak memerintahkan pernikahan
itu harus dirayakan secara besar-besaran. Jika sepasang anak manusia sudah siap
menikah, maka permudahlah. Yang penting rukun dan syarat syahnya pernikahan
terpenuhi. Kemudian kabarkan kebahagiaan itu kepada tetangga dan sanak saudara,
agar tidak timbul fitnah. Setelah itu, dan ini yang terpenting, jalanilah
bahtera rumah tangga dengan bersungguh-sungguh sebagai ibadah yang sangat
tinggi nilainya, karena segala perbuatan kita selama menjalani pernikahan itu
akan dimintai pertanggungjawabnnya kelak di hadapan Allah.
Jadi,
marilah mempermudah pernikahan sanak saudara kita. Doakan mereka, bantu mereka.
Dan kepada pasangan yang akan segera melangsungkan pernikahan, semoga segala
sesuatunya berjalan dengan lancar sesuai dengan rencana. Pandai-pandialah
mengukur kemampuan diri, agar bahagia kita nanti.
Salam sayang,
Anni
No comments:
Post a Comment