Hmh,
Preman ya. Akhir – akhir ini banyak media massa mengangkat tulisan dan berita
bertema maraknya aksi premanisme di negeri ini.
Kebanyakan tulisan dan berita itu memandang premanisme sebagai
sebuah fenomena penyakit sosial yang sudah sangat laten dan musykil untuk
diberantas. Hal ini terjadi sebab adanya simbiosis mutualisma yang sulit
diakhiri antara preman dengan berbagai profesi dan kepentingan. Ada nada
kebencian dalam tulisan-tulisan itu, ada nada marah, ada juga nada putus asa,
hopeless, dsb. Wajar saja karena para preman dan sepak terjangnya dikenal
sangat dekat dengan dunia hitam, dunia kejahatan. Namun aku ingin memperkenalkan
teman-teman dengan para preman “ teman-temanku “.
Dulu
aku tinggal di Bandung bersama orang tua dan saudara-saudaraku. Di Bandungnya
di jalan Holis by pass, di wilayah Bandung Barat. Setelah Ayah pensiun, kami
pindah dari rumah dinas ke sebuah rumah di pelosok gang yang ada di kawasan
itu. Inilah salah satu kawasan penghasil preman yang terkenal di daerah
Bandung.
Seingatku
ada beberapa preman yang tinggal di kampung ini. Yang pertama namanya Asep
Jangkung. Sesuai dengan namanya, orangnya tinggi banget hampir 2 meter.
Spesialisasinya ngadu ayam dan mabok minuman keras topi miring. Ada lagi Mang
Dayat. Kerjanya sehari-hari sebagai penarik becak. Itu kalau pas dia lagi
sadar. Kalau lagi nggak sadar akibat mabok sama si Asep Jangkung, kerjanya
malak penumpang bis di terminal Abdul Muis. Lalu ada Didin Tato yang badannya
gempal kekar kayak Ade Rai, tapi berwajah Budi Anduk dengan tatto di sekujur
tubuh. Tatto kampung bertulis “doa restu ibu”, yang bercampur dengan tatto alam
berupa panu kurap dan kudis.
Trus ada lagi, ini yang paling top nih. Namanya Ujang Padin. Dia itu badannya
paling kecil, tapi galaknya minta ampun. Spesialisasinya senggol bacok.
Maksudnya, kalau pas lagi ada acara dangdutan, dan dia lagi joget, jangan
coba-coba nyenggol kalau nggak ingin kena bacok, begitu maksudnya. Para pemuda
preman itu, 100 persen berasal dari keluarga miskin, hanya berpendidikan SD,
dan tak punya pekerjaan.
Masih
banyak sebetulnya tetanggaku yang dikenal sebagai preman. Tapi mereka nggak
begitu jagoan seperti para preman yang namanya aku sebutkan tadi. Nah para
preman tetangga kami ini saling kompak satu sama lain, dan seolah sudah
ada kesepakatan diantara mereka, mereka tidak pernah membuat rusuh di
kampung kami. Sebaliknya Kalau misalnya ada preman dari kampung tetangga yang
petantang -petenteng di kampung kami, maka dijamin preman itu akan bonyok habis
dihajar sama preman tetangga kami.
Para
preman tetangga kami itu, tidak bisa juga dibilang pahlawan kampung, karena
meski mereka sering berada di garda terdepan jika terjadi perkelahian antar
pemuda kampung, sering juga kami dibuat kesal oleh kelakuan mereka.
Sebagai
contoh, Pak RT sering terlihat mengacung-acungkan sebilah bambu ke arah mereka,
sambil memaki-maki saking kesalnya mendapati mereka mabok di pos ronda. Kalau
sudah begitu, para preman ini terpaksa bubar sambil sempoyongan, menurut saja
apa kata Pak RT. Habis bagaimana, lha wong beberapa diantara preman ini masih
ponakannya pak RT kok. Mana berani melawan Uwak sendiri.
Kekesalan
kami yang kedua adalah sense of belonging mereka yang sangat tinggi terhadap
para gadis penghuni sepanjang gang Holis itu. Mereka menganggap kami
adalah properti mereka yang tidak boleh diganggu. Sering para pemuda yang
bertandang ke rumah kami, terpaksa pulang ke rumah dengan pipi bengkak atau
tulang kering memar karena dicegat di tengah perjalanan oleh para preman itu,
lantas ditempeleng atau ditendang, sebagai peringatan karena sudah
berani-berani menyambangi properti mereka tanpa izin. Kasihan banget.
Beruntung
teman-teman laki-laki yang berkunjung ke rumahku tidak pernah mengalami nasib
sial seperti itu, karena aku kompak sama preman-preman itu. Kompak ? Iya,
beneran, aku kompak sama preman-preman itu. Kok bisa ? Ya bisa saja. Begini
ceritanya.
Faktanya
aku bertetangga dengan preman, dan aku harus terima itu. Masalahnya, para
preman itu kadang suka godain aku. Aku nggak suka digodain sama preman. Males
banget kan. Untuk itu aku memutar otak mencari akal. Dan kutemukanlah akal itu.
Caranya dengan berdamai. Kalau gadis-gadis yang lain pasang tampang cemberut
jutek saat digodain sama para preman itu, aku bersikap sebaliknya. Aku pikir,
nggak ada gunanya bersikap judes sama preman-preman itu, karena kuperhatikan,
mereka itu makin digalakkin makin napsu.
Jadi
kucari jalan damai. Kalau aku berpapasan dengan mereka yang lagi
nongkrong-nongrong di gardu hansip atau di pangkalan becak, aku akan senyum
duluan, mengangguk dan berkata sopan ” Punten Kang …” .
Awalnya
mereka seperti kesetrum listrik pas aku bilang gitu. Boro-boro menjawab, yang
ada malah bengong, melongo sambil mangap. Mungkin mereka tak mempercayai
pendengarannya, dan berpikir, ” Mustahil gadis secantik teh Anni bilang punten
(permisi) sama orang sehina kami, he he .. Lol ! .
Lama-lama
mereka terbiasa rupanya. Kalau aku lewat di depan mereka, tersenyum dan bilang
punten, pasti mereka akan serentak menjawab ” Mangga Teh anni ..”.
Besoknya
lagi, aku belum bilang punten, mereka sudah mendahului menyapaku dengan sopan,
” Bade angkat kuliah (mau berangkat kuliah), teh Anni ?”, sambil tersenyum lugu
(kebayang nggak sih ada preman tersenyum lugu ?), yang aku jawab juga dengan
tersenyum ” sumuhun (iya) Kang “.
Hari-
hari berikutnya tegur sapanya makin beragam, kadang “Assalamualaikum”,
atau
” Kumaha damang ” (apa kabar, sehat ?) dll, yang membuat mereka selalu terlihat
sumringah ketika menyapa dan menjawab sapaanku. Mungkin mereka merasa
senang sebab seumur-umur belum pernah diajak ngobrol bener sama perempuan
bener, heu heu .. ^_^
Walhasil, aku nggak pernah diganggu sama mereka.
Entahlah,
mungkin karena para pemuda preman tetanggaku ini levelnya cuma preman kampung,
jadi nggak terlalu jahat juga. Lama tak kudengar kabar mereka semenjak aku
menikah, pindah rumah dan pindah kota. Sesekali kalau aku pulang ke Bandung
mengunjungi ibuku, aku masih suka berpapasan jalan dengan mereka. Kami masih
saling mengenal, dan aku tak merasa risih sedikitpun menyapa mereka. Hanya saja
mereka terlihat agak malu jika kusapa. Seperti halnya aku, kulihat mereka sudah
bertambah tua sekarang. Namun ada yang berubah total, mereka tak lagi
berpenampilan preman sekarang.
Kudengar
dari Ibuku, mereka sekarang sudah insyaf dan sudah berkeluarga. Dunia preman
sudah ditinggalkan. Ada yang sekarang berprofesi sebagai pedagang di pasar,
bekerja sebagai satpam, bekerja di pabrik, dll. Aku senang mendengarnya.
Sungguh Allah Maha adil. Kasih sayang dan rahmat Nya menebar tanpa pilih kasih.
Tak peduli seorang manusia yang berstatus preman sekalipun, jika hatinya sudah
tersentuh kasih Allah, maka jalan hidupnya pun akan berubah menuju kebaikan.
Kadang
aku berpikir bahwa seseorang menjadi preman, pasti ada penyebabnya. Tapi apapun
penyebabnya, aku yakin tak ada seorangpun di dunia ini yang menginginkan
kehidupan seperti itu. Boleh jadi kesalahannya ada pada diri kita juga, yang
kerap bersikap merasa benar sendiri, bersih sendiri, merasa beda kelas dengan
mereka. Nggak tahu juga lah. Yang jelas, dari pengalamanku, aku hanya tahu
kalau mereka ini manusia biasa seperti kita yang akan senang jika dimanusiakan.
Salam sayang,
No comments:
Post a Comment