Orang
Ketiga. Belum apa-apa sudah sebal memikirkannya. Kalau tidak PIL ya WIL. Mereka
tak lebih dari para penggoda yang kehadirannya hanya mengusik ketenteraman
hidup orang lain. Mereka adalah para pengacau yang mencoba mencuri cinta dan
perhatian dari pasangan kita.
Mengapa
pasangan kita harus berjumpa dengan seseorang yang hanya akan membuat hidup
kita tidak nyaman ? mengapa pasangan kita begitu mudah beralih perhatian kepada
dia ? Kurang apa kita ini ? apa kurang cantik/ ganteng ? kurang perhatian ?
kurang cinta ?
Banyak
pertanyaan yang dilontarkan seputar mengapa harus ada orang ketiga diantara
sebuah hubungan yang romantis ? Jawabannya banyak. Yang membahas masalah ini
juga banyak. Tapi nyatanya, pasangan yang terlibat dengan orang ketiga pun
malah semakin bertambah banyak. Jadi bingung kan.
Jangan bingung.
Sebab kata sahibul hikayat, bermain hati dengan orang ketiga memang menimbulkan
sensasi hati yang daleeem. Kalau nggak percaya, coba aja sendiri. eh …
Tapi bukan
itu yang saya maksudkan dengan orang ketiga dalam tulisan saya ini. Orang
ketiga yang saya maksud adalah mereka yang menjadi “duri” bagi kenyamanan
sebuah hubungan.
Kehadiran
mereka sangat sulit kita hindarkan, karena dekatnya hubungan kita dengan
mereka. Seringkali posisi mereka begitu penting sampai kita tak sanggup
mengelakkan pengaruhnya. Siapa sajakah orang ketiga ini ?
1.
Orang tua. Bisa keduanya, bisa salah satu : Ibu atau Ayah.
Jaman
sekarang setiap keluarga rata-rata hanya memiliki 2 orang anak. Dengan jumlah
anak yang sangat sedikit itu, dapat dibayangkan bagaimana over proteksinya
orang tua terhadap anak-anaknya. Tak hanya semasa kecil, bahkan setelah
beranjak dewasa bahkan setelah anak-anaknya berumah tanggapun, proteksi orang
tua ini masih terus saja mengikuti.
Seorang
rekan saya (laki-laki) yang merupakan anak bungsu dari dua bersaudara, sampai
salah tingkah didepan istrinya dengan kelakuan sang Mama yang terlalu
“perhatian” pada rumah tangga anak laki-lakinya ini. Hampir setiap hari sang
Mama menelfon dia atau istrinya, hanya untuk menanyakan hal-hal sepele semisal,
” Madu nya nggak lupa diminum, kan ?”, atau ” itu lhoo, jangan ada kembang
Bugenvil di depan jendela ah, nanti anak-anakmu bisa berat jodoh lho ! “, atau
sering juga ikut sibuk mengatur menu masakan yang sudah disiapkan sang Istri, ”
Kalau sayur sop ya ndak cocok dijodohkan sama semur ayam. Mustinya ayamnya
digoreng bumbu kuning “, dll yang nggak penting-penting amat. Tak sebatas itu,
kerap kali sang Mama mengurusi juga hal-hal yang serius sampai terkesan
mengintervensi, seumpama menentukan asuransi yang harus dimasuki, jenis
asuransi, memilih lokasi dan tipe rumah, sampai memilihkan nama cucu dan dimana
mereka harus bersekolah nanti, yang kesemuanya asli seharusnya menjadi hak
prerogatif pasangan suami-istri.
Memang tak
dapat dipungkiri, seringkali pendapat dan komentar orang tua banyak benarnya
dan terbukti banyak juga manfaatnya. Mereka mengatakan itu semua karena
didorong rasa kasih sayang yang begitu besar, rasa peduli, sekaligus rasa
khawatir, takut anaknya (dan rumah tangganya) tidak bahagia. Namun jika
“intervensi” seperti itu terus dan terus dilakukan, bisa-bisa pasangan kita
menjadi tidak nyaman karena merasa tidak dipercaya. Dan sebagai akibatnya, jika
perasaan itu dibiarkan terus berlanjut akan merusak keharmonisan hubungan
suami-istri.
2.
Kakak, adik, paman-tante, kakek-nenek, dan lain-lain anggota keluarga besar.
Kita ini
orang Indonesia yang secara kultural sulit melepaskan diri dari karakter
komunal khas Indonesia. Jangankan yang hidup di kampung. Mereka yang hidup
dikota besar, bahkan di luar negeri sekalipun, selama anda masih orang
Indonesia, rasanya sulit melepaskan diri dari ikatan keluarga besar kita. Tak
peduli anda adalah seorang yang bergaya hidup ultra moderen, cosmo, postmo,
yang sangat individualistik, suatu saat ketika hari libur tiba, hari lebaran
datang, hari Natal menjelang, dan anda harus pulang ke kampung halaman, maka
anda akan kembali melebur kedalam keluarga besar dengan segenap pengaruhnya
disana.
Beruntung
jika keluarga besar kita tidak rese’. Namun tak sedikit anggota keluarga besar
kita menjadi orang ketiga yang kehadirannya dirasakan cukup menganggangu
keharmonisan rumah tangga. Mau mengelak tidak bisa, karena hubungan kekerabatan
kita sangat dekat. Mau dituruti juga tidak mungkin karena urusan kita dengan
rumah tangga kita sendiripun tak kalah banyaknya. Sangat serba sulit
menyikapinya.
Yang
terbanyak saya lihat adalah keluarga muda yang direcoki keluarga besar soal
keuangan. Keluarga muda jaman sekarang banyak yang baru menikah namun sudah
mapan secara ekonomi karena faktor pendidikan dan salary yang tinggi. Namanya
juga keluarga muda, tentu saja mereka memiliki impian dan cita-cita yang tinggi
tentang masa depan mereka. Mumpung anak masih kecil, pasangan muda giat
menabung dan berinvestasi. Ingin merenovasi rumah, mencicil mobil baru, membeli
perabot rumah tangga, melanjutkan study, pergi berlibur,pergi umrah atau haji
bagi keluarga muslim, dll, yang kesemuanya membutuhkan uang dan perencanaan
anggaran yang matang.
Namun apa
daya, kadang rencana itu tersendat bukan karena adanya ketidak sepahaman
diantara suami dan istri. Rintangan justru datang dari keluarga besar.
Tiba-tiba adik menelfon minta bantuan keuangan untuk masuk perguruan tinggi
misalnya, mana masuk ke FK yang biayanya puluhan juta lagi ! atau, Paman menelfon
minta pinjaman uang sekian juta karena istrinya melahirkan dan harus dicesar,
uangnya nggak cukup, katanya. Habis itu Kakak sepupu di kampung mau beli tanah,
masih kurang sekian puluh juta, mbok ya ditalangi dulu ! hadeehh, ampunn ..!
sebanyak-banyaknya uang yang dimiliki pasangan yang sudah mapan, kalau direcoki
terus menerus seperti ini, ya lama-lama bangkrut juga. Bisa cerai lho kalau
begitu terus. Membantu sanak saudara memang bagus, tapi kalau keluarga kita
sampai dijadikan kayak pohon uang begini ya bisa repot.
3.
Sahabat atau teman-teman di lingkungan kerja/ pergaulan
Tak dapat
dipungkiri lagi, banyak orang yang menghabiskan sebagian besar waktunya di
lingkungan kerja atau pergaulan. Dan tak jarang karena eratnya hubungan antara
seseorang dengan sahabat dan teman-temannya itu, pengaruh mereka terbawa sampai
ke rumah. Tanpa sadar ketika dia sedang berbincang atau berdiskusi dengan
pasangan, kata-kata temannya itu dikutip begitu saja, bahkan tak jarang dia
menyebut namanyanya sekaligus menunjukkan persetujuan dan kekagumannya pada
mereka di depan pasangan.
Sekali, dua
kali sih tak masalah, tapi percayalah jika ini terjadi pada anda, lama kelamaan
pasangan anda akan merasa bosan dan kesal, lantas mulai berfikir, kelihatannya
anda disetir habis-habisan atau sudah di brainwashing oleh teman anda, sampai
anda kehilangan daya intelektualitas sama sekali. Berpendapat sendiri saja tak
bisa. Bisanya mengutip omongan orang lain melulu !
Ini hidup
anda, andalah yang seharusnya memegang kendali, bukannya orang lain yang
melakukannya. Sehebat apapun sahabat atau teman anda, sekagum apapun anda pada
mereka, harap diingat, mereka hanyalah orang lain yang tak ada sangkut pautnya
dengan keluarga anda. Anda punya hidup yang berbeda, yang semestinya anda
jalani dengan cara anda sendiri. Mengapa harus terus mengiyakan pendapat orang
lain ? Bila anda terus membawa semua kekaguman anda yang berlebihan kepada
sahabat dan teman anda itu kedalam rumah tangga anda, ada kemungkinan besok
anda hanya akan memiliki sahabat dan teman, tapi kehilangan suami/istri. (note
: dalam hal ini teman di dunia maya pun termasuk lho. Hayoo …)
Lalu yang
keempat siapa ? Ya pokoknya siapa saja, sesuai dengan judul tulisan ini : orang
Ketiga. Siapa saja yang bikin ribet rumah tangga orang lain, itulah yang
disebut orang ketiga. Jadi bukan cuma selingkuhan istri atau suami saja !
Kalau
begitu, bagaimana jalan keluarnya ? itu sih beda lagi bahasannya. Kalau saya
tulis sekarang nanti tulisannya kepanjangan. Bisa pegel nanti bacanya *___*.
Oke
teman-teman, semoga berkenan, dan semoga kita tidak pernah menjadi orang ketiga
bagi siapapun.
Salam
sayang,
Anni
No comments:
Post a Comment