Waktu
masih sekolah di SD, aku punya teman namanya Hidayat. Ini nama asli lho.
Sengaja aku sebutkan namanya, karena sejak lulus SD sampai tua gini aku
kehilangan kontak sama dia. Nah dengan menuliskan nama aslinya dan setting
sekolah serta kisah yang nyata, siapa tahu saja tiba-tiba dia muncul dan mencariku :)
Kami bersekolah
di SD YWKA di kota Bandung, sekolah yang awalnya dikhususkan bagi anak-anak
karyawan PJKA (sekarang PT KAI ). Almarhum Ayahku kan dulu kerja disana. Di
sekolah ini berkumpul semua anak pegawai PJKA, dari mulai anak Dirut sampai
anak masinis. Meskipun para guru tidak pernah membeda-bedakan kami, tak peduli
apa pangkat Ayah kami, namun dalam keseharian terlihat sekali perbedaan
kesejahteraan itu. Anak-anak para pejabat dan petinggi PJKA selalu
berpenampilan rapi, bersih, dan keren. Uang jajannya banyak dan barangnya
bagus-bagus. Sementara anak-anak selebihnya ya berpenampilan
biasa-biasa saja. Aku termasuk golongan yang terakhir ini. Meski Ayahku
memiliki kedudukan lumayan tinggi di PJKA, namun karena anaknya segambreng ya
akhirnya kami harus hidup sederhana juga. Nasiipp ….
Nah si Hidayat
temanku ini, nakalnya luar biasa. Sebel banget aku sama dia. Aku selalu
merengek kepada Ibuku agar beliau menghadap wali kelas dan memohon supaya aku
tidak disatu bangkukan sama Hidayat. Ibuku memang menuruti kemauanku. Menghadap
guru, berbincang lama banget di kantor guru, dan sebagai hasilnya, aku harus
selalu duduk lagi sama anak bengal ini. Kadang aku berpikir, Ibu dan
guruku memang sengaja berkomplot untuk membuatku cepat mati saja.
Namanya juga
sekolah jadul, mana mereka tahu bagaimana si Hidayat itu menggangguku. Dia
mencubit, menarik pita rambut, ngambil bekal makanan, minta minum nggak
bilang-bilang. Masak dia langsung minum dari botol minumku, coba ! jorok banget
kan ?! hueekk ! dan ada satu hal lagi yang membuatku dendam kesumat
setengah mati sama dia. Si Hidayat ini, selalu tahu apa warna celana
dalamku hari itu ! Nggak tahu gimana caranya, pokoknya dia selalu tahu.
Soal
menyingkapkan rok seragamku dia sangat sering. Tapi pas dia nggak jahil menyingkap
rokku, tetap saja dia tahu apa warna dan motif celana dalamku. Sehabis itu dia
akan menuliskan hasil investigasinya di papan tulis, dengan huruf besar yang
mencong-mencong : si ANI CELANANYA WARNA PUTIH GAMBAR DONAL
(maksudnya Donald Duck). Dasar anak sinting, biarpun masih kecil tapi aku kan
maluu .. !
Pada suatu
sore, Ibu Guru Bahasa indonesia meminta kami menulis sebuah karangan bebas,
yang sesudahnya kami akan diminta untuk membacakan karangan itu dengan suara
yang keras di depan kelas. Aku kurang suka dengan pelajaran bahasa Indonesia,
namun kalau disuruh mengarang aku paling senang. Pokoknya hobi deh.
Nilaiku pasti selalu tinggi, dan selalu saja Ibu Guru memanggil namaku
dalam urutan pertama untuk membacakan karanganku. Aku selalu bangga membacakan
karanganku di depan kelas. Membaca dengan penuh gaya dan ekspresi. Namun yang
paling membuatku lebih bangga lagi adalah melihat tatapan kagum teman-temanku.
Bagaimana tidak kagum, kebanyakan teman-temanku ini bisanya cuma menulis
karangan berjudul ” Liburan ke rumah nenek” kalau tidak ” Pesiar ke kebun
binatang “, he he …
Si Hidayat
paling sebal kalau sudah melihat aku maju kedepan, bergaya lebay membaca
karangan. Inilah satu-satunya senjataku melawan dia. Karena di pelajaran lain
si Hidayat susah dilawan, sebab dia pintar. Setelah aku duduk kembali dia pasti
akan pasang muka cemberut bete banget. Masih mending kalau cuma gitu, biasanya
aku suka dapat bonus cubitan di tangan sampai merah-merah tanganku. Dia memang
selalu sirik sama aku.
Rupanya karena
merasa kesal sebab aku selalu mengalahkan dia dalam pelajaran mengarang, pada
suatu hari dia merencanakan pembalasan yang setimpal untukku. Ketika hari yang
ditunggu tiba, seperti biasa Ibu Guru meminta kami menulis dan membacakan
karangan. Si Hidayat menulis dengan serius dan bersemangat. Aku yang merasa
penasaran dan mencoba mengintip karangannya, dipelototin sampai mau nangis.
Akhirnya selesailah karangan kami.
Sebelum Ibu
Guru menyebut namaku untuk maju ke depan kelas, si Hidayat langsung mendahului
dengan mengacungkan tangannya. Tanpa menunggu persetujuan Ibu Guru , dia segera
maju ke depan kelas dan membacakan karangannya dengan gaya yang rupanya sudah
dia latihkan di rumah. Judul karangannya aku masih ingat betul, ” Cita-Citaku
“.
Kelas hening
menyimak si anak badung membacakan karangannya. Tidak ada yang istimewa
sebetulnya dengan karangannya, bisa-biasa saja. Namun ada satu kalimat yang
membuat karangannya itu menjadi sangat stimewa, sangat dikenang, dan sangat
fenomenal, yang kalau dibicarakan kembali di acara-acara reuni, membuat kami
terbahak- bahak sampai sakit perut.
Begini
kira-kira kalimatnya, ” Kalau nanti saya sudah dewasa, saya ingin menjadi
orang yang berguna bagi nusa dan bangsa. Saya bercita-cita menjadi seperti
Bapak saya, yaitu menjadi seorang PENJAGA ALAT VITAL “
- - - mendadak kelas bertambah hening - - - -
Tak lama kemudian, duaarr ..!! kelas seperti pecah oleh tawa kami. Anak
laki-laki tertawa sampai guling-guling, anak perempuan cekikikan geli.
Dan wajah Ibu Guru langsung pucat seperti baru keluar dari kulkas, he he
he …
” Hee… Hidayat
! Apa maksud kamu dengan penjaga alat vital ? “, tanya Ibu Guru dengan mimik
kaget.
” Itu Buu,
orang yang suka jagain alat-alat vital di stasiun kereta api "
” Alat vital apa yang kamu maksud ?! “
” Itu Bu, ada
lokomotif yang mau dibetulin, ada mesin-mesin, ada bantalan rel …”
“Maksud
kamu penjaga gudang ?”
”
Bukan Bu, penjaga gudang beda dengan penjaga alat vital “
”
Haduh, baiklah. Jadi apa nama pekerjaan ayahmu, Hidayat ? “
”
Yaa … Penjaga alat vital Bu ..! “
”
ah sudahlah, kembali ke tempatmu ! “
Kulihat Ibu Guru menggeleng-gelengkan kepalanya seperti ada lalat yang masuk ke
telinganya, sambil mulutnya komat-kamit ” Tidak mungkin, mustahil ..” !
Kelas
masih riuh oleh gelak tawa kami. He he …
Sekembalinya ke
bangku, tak henti-henti aku meledek dia, ” week ..!! penjaga alat vitaaal
…! penjaga alat vitaaall …! “, sambil ngomong gitu kujulurkan lidahku panjang-
panjang biar kapok dia. Tapi alih – alih marah, dia malah girang banget. Cengengesan
tiada henti. Rupanya dia sudah merencanakan semua itu. Membuat karangan yang
sensasional, yang bombastis, yang membuat namanya akan dikenang sepanjang masa.
Dan benar saja, semenjak itu namanya beken diseantero sekolah. Semua guru dan
murid jadi tahu siapa Hidayat, Sang Penjaga Alat Vital !
Begitulah
kisahku bersama Hidayat teman masa kecilku. Semenjak lulus SD sampai sekarang,
tak sekalipun aku pernah kontak dengannya, apalagi berjumpa. Teman-teman yang
aku tanyapun, tak tahu dimana kini Hidayat berada. Meski begitu semua kenangan
bersama Hidayat tak kan terlupakan seumur hidupku. Semoga dia baik-baik saja.
Semoga
terhibur, ya teman-teman …
Salam
sayang,
Anni
No comments:
Post a Comment