Perangai
manusia di dunia ini sungguh banyak ragamnya. Ada yang baik, ada yang jahat,
ada yang biasa-biasa saja.. Ada yang lembut ada yang kasar, ada yang
sedang-sedang saja. Perbedaan perangai inilah yang secara esensial membedakan
satu manusia dengan manusia lainnya.
Itu tadi soal
perangai atau watak manusia. Sekarang soal cinta. Cinta adalah suatu perasaan
yang setiap orang merasa layak untuk merasakan dan memilikinya, tak peduli
bagaimana perangainya. Dan sialnya (atau untungnya ?) Cinta memang tak pernah
memandang jenis manusia. Siapa saja bisa dia hinggapi. Tak hanya masalah usia
muda atau tua, namun segala karakter manusiapun, bisa saja dia datangi.
Sekarang
marilah kita padukan kedua variabel tadi. Perangai manusia dan cinta. Saya akan
bercerita kepada teman-teman, sejauh yang saya ketahui, saya amati , dan saya
nasihatkan kepada orang-orang muda yang kadang datang bertanya pada saya soal
cinta yang gampang-gampang susah ini, berkaitan dengan karakter yang dimiliki
para pecinta. Bagaimana, sudah siap ? Yuks maree ..
Cinta itu pada
dasarnya adalah perasaan yang indah. Oleh karena kodrat keindahan yang melekat
pada cinta itulah, maka seharusnya cinta hanya diliputi oleh hal-hal yang indah
saja, semisal menyayangi, menghargai, menjaga, menghargai, melindungi, membela,
bersabar, mendoakan, membahagiakan, dst.
Ibarat tanaman, cinta hanya akan dapat tumbuh subur berkembang dengan baik jika
hidup dan diperlakukan dalam lingkungan yang tepat, yakni lingkungan yang
berisi orang-orang dengan perangai indah.
Ketika cinta
hadir dengan segenap keindahannya, maka keindahan itu akan paripurna dalam
genggaman orang-orang yang berperangai baik. Mereka akan memperlakukan
pasangannya dengan sebaik mungkin dan dengan penghargaan setinggi-tingginya,
atas nama cinta. Namun cinta kadang membawa pula cobaan kepada kita, dengan
tujuan menguji sejauh mana kita dapat mempertahankan cinta itu. Cobaan itu
dapat berbentuk rasa cemburu, perpisahan, kesedihan, dsb. Namun ditangan
orang-orang yang berperangai baik, sesakit apapun cobaan yang dihadirkan oleh
cinta, cinta tetap akan mendatangkan kebaikan. Jika pasangan itu bersabar dan
memilih tetap bersatu maka cinta mereka akan bertambah kuat. Namun jika harus
berakhir pada perpisahan umpamanya, maka silaturahmi diantara dua orang manusia
yang pernah saling mencintai itu tidak lantas terputus begitu saja, karena
mereka saling memaafkan. Dan semua itu adalah sebuah kebaikan.
Lalu bagaimana
halnya jika cinta itu menghinggapi jiwa orang-orang yang berperangai buruk ?
Jawabannya sungguh dapat diduga. Cinta, alih-alih dianggap sebagai anugerah,
hadiah dari Tuhan, malah dijadikan alat untuk memuaskan nafsu keburukan mereka.
Yang paling
mudah ditemui adalah perilaku hubungan intim di luar nikah dengan dalih demi
cinta. Mereka yang berperangan buruk mengatasnamakan cinta untuk perbuatan seks
bebas yang dilarang oleh semua agama. Mereka tahu di dalam hatinya, bahwa
sesungguhnya itu bukan cinta, namun nafsu (syahwat) belaka. Selanjutnya cinta
yang diwarnai dengan hitamnya hati akan muncul dalam bentuk kekerasan. Baik
fisik maupun psikis.
Saya tak dapat
membayangkan, bagaimana mungkin seseorang melukai orang yang dicintainya.
Memukul, menampar, menendang, membenturkan kepala, hingga menyiram wajah dengan
air keras, dan perilaku brutal lainnya. Atau menyakiti secara psikis semisal
menghina, mengejek, memaki, memanggil dengan julukan buruk yang menyakitkan
hati. Semuanya bermotif keinginan untuk memiliki sekaligus menguasai. Sebuah
perilaku posesif yang bertentangan dengan kemanusiaan.
Sungguh tak
pantas memperlakukan orang yang mencintai dan dicintai sampai sedemikian rupa.
Cinta bukan untuk menyakiti. Cinta itu untuk membahagiakan. Jika tidak seperti
itu, maka sebaiknya orang jahat tidak perlu mencintai. Mungkin saja ia
dicintai, artinya dia adalah objek cinta. Namun mengingat akibat buruk yang
mungkin akan terjadi, orang jahat, orang kasar memang sebaiknya tak perlu
memiliki seseorang untuk dicintai, sebelum dia memperbaiki akhlaknya.
Saya menulis
ini karena sudah sangat jengah dengan kisah tentang pertengkaran pasangan baik
pasangan kekasih atau pasangan suami istri, yang berakhir dengan kekerasan. Apa
yang mereka inginkan dengan semua itu ? Apakah mereka Bisa saling mencintai
dengan benar atau tidak ? Bisa bertindak dewasa atau tidak ? Bisa berpikir
jernih atau tidak ? Dan yang terpenting, bisa mendengarkan hati nurani atau
tidak ? Mengapa perilaku buruk seperti itu terus dan terus berulang ?
Jika ada
seseorang datang kepada saya dan bercerita tentang segala kekerasan itu, maka
saya hanya akan menasihatkan begini :
1. Jika dia
adalah korban kekerasan fisik, maka yang pertama kali harus dilakukan adalah
menghindar dan menyelamatkan diri sedapat mungkin jika tidak bisa melawan. Jika
bisa melawan, lawanlah sekuat tenaga dan selamatkan nyawa yang sangat berharga.
Setelah itu laporkan kepada pihak berwajib, dan putuskan, ceraikan, tinggalkan
dia sekarang juga, tak peduli anda sangat mencintai dia. Karena dengan
menyakiti seperti itu, dia nyata-nyata tidak mencintai anda. Selamatkan
kehidupan anda dan anak-anak anda dari orang yang berperangai kasar.
2. Jika dia
dilukai secara psikis dan terus berulang, dan jika si pelaku adalah suami/
istri, maka yang harus dilakukan adalah menunggu hingga dia tenang, mencari
waktu yang tepat, lalu bicarakan baik-baik tentang ketidak setujuan anda
mengenai perilaku buruknya yang suka mengejek dan melecehkan anda itu. Jika dia
menyadari dan bersedia memperbaiki kesalahannya, maka maafkan, beri dia
kesempatan dan lihat perkembangannya. Namun jika dia masih berstatus sebagai
kekasih anda, maka tinggalkan sajalah ! Putuskan sekarang juga, tak perlu
banyak bicara. Percayalah orang yang ringan mulut menghina kekasihnya, sama
sekali tak patut untuk dinikahi. Mau seperti apa suasana keluarga anda nanti.
3. Jika dia
adalah perlaku kekerasan itu, baik kekerasan fisik maupun psikis, maka saya
hanya akan mengatakan ini kepada dia : anda bukan manusia. anda cuma monster
yang terperangkap dalam tubuh manusia !
Jadi camkan
anak muda, orang kasar tidak layak punya pacar. Pacarmu kasar, buang aja ke
Madagaskar.
Salam sayang,
Anni
No comments:
Post a Comment