Dulu
ketika aku masih sering mengantar dan menjemput anak-anakku bersekolah di Taman
Kanak-kanak, aku sering ngobrol di ruang tunggu sekolah dengan seorang ibu yang
ketika itu sudah berumur sekira 65 tahunan. Namanya bu Aisyah, orangnya baik
dan ramah sekali, terutama kepadaku. Bu Aisyah bersikap begitu mungkin karena
jarang ada ibu-ibu yang masih muda (waktu anakku masih TK otomatis aku juga
masih muda lah .. he he …) bersedia duduk lama berbincang dengan ibu-ibu yang sudah
tua.
Tentu saja
waktu itu aku lebih sering bersosialisasi dengan ibu-ibu yang seumuran
denganku. Namun entah mengapa, keberadaan ibu tua yang seolah terselip di
antara ibu-ibu muda itu, membuat kehadirannya terlihat agak berbeda. Dan
seperti biasa, sementara ibu-ibu yang lain bersikap tak acuh, justru aku
berusaha mencari tahu, maklum namanya juga ibu guru, suka rada punya penyakit
kepo, he he …
Lalu aku
dekatilah ibu Aisyah itu dan aku ajak ngobrol. Dari situlah bermula
persahabatanku dengan bu Aisyah. Sungguh beruntung aku dapat mengenal bu
Aisyah dan bisa dekat secara pribadi dengan beliau. Semakin lama aku bergaul
dengan bu Aisyah semakin aku mendapatkan banyak sekali manfaat dan pengalaman
hidup yang dapat kuambil hikmahnya. Sementara sebaliknya, apakah beliau
mendapatkan manfaat yang besar ketika bergaul denganku ? nggak tau juga ya,
tapi kayaknya sih enggak deh, he he …
Awalnya aku
merasa agak heran, mengapa ibu setua itu bisa punya anak seumuran anak TK yang
bernama Nadia. Memangnya beliau melahirkan di usia berapa tahun ? 60
tahun ? rasanya agak mustahil. Tadinya aku pikir Nadia yang diantarkan bu
Aisyah adalah cucunya, namun ternyata bu Aisyah jelas-jelas mengatakan bahwa
Nadia adalah anaknya.
Hingga pada
suatu siang, sambil santai menunggu waktu bubar sekolah, aku iseng bertanya
pada bu Aisyah.
”
Ibu, maaf Nadia itu beneran anak ibu ? Memangnya ibu waktu melahirkan umur
berapa tahun? kok ibu nggak KB ? kan kalau sudah tua melahirkan itu berbahaya
Bu ! “, tanyaku kepo banget ( kalau ku ingat-ingat kejadian itu, aku suka
berpikir, alangkah dodolnya aku saat itu. Nanya kok seceplosnya aja, nggak
mikirin perasaan orang. ah kacau …)
Lalu bu Aisyah
menjawab dengan suara setengah berbisik dengan tubuh yang agak dirapatkan ke
arahku.
” Neng, Nadia itu memang anak Ibu, tapi anak pungut “
” Oohh ….”
” Bener-bener anak pungut Neng, mungut dari tempat sampah ! “
“Astaghfirullah …! Ibu ..?? “
“Iya Neng, Nadia itu bayi yang dibuang sama ibunya, di tempat sampah di depan
rumah ibu. Untung sama ibu ketahuan dan cepat-cepat diselamatkan, lalu diangkat
anak sama ibu …”
” Oohh Ibu … emmh … maaf .. emmh …”
” Iya Neng, nggak apa-apa, Ibu mengerti kenapa Neng Anni dan ibu-ibu disini
merasa heran, orang setua ibu kok bisa punya anak balita. Jadi begitu
ceritanya, Neng ..! “
” Oohh … Ya Allah …”
********
Waktu
berlalu haripun berganti. Nadia telah tumbuh menjadi gadis remaja sekarang,
seusia dengan gadis sulungku dan sama-sama duduk di bangku SMA kelas 12. Bu
Aisyah yang baik hati itu sudah lama meninggal dunia. Kini Nadia menjadi anak
yatim piatu untuk kedua kalinya. Diasuh di lingkungan keluarga sederhana oleh
salah seorang kakak angkatnya yang merupakan anak kandung bu Aisyah.
Wajah Nadia
tidak terlalu cantik, tapi manis. Hatinya baik, dan anaknya ramah. Meski satu
sekolah dengan anakku, namun mereka tidak pernah sekelas jadi kurang begitu
akrab satu sama lain. Hingga pada suatu kesempatan dalam sebuah acara di
sekolah, mereka berbincang cukup lama, dan pembicaraannya itu rupanya cukup
merisaukan hati anakku.
Kata anakku,
ada seorang laki-laki yang berniat melamar Nadia selulus SMA nanti. Namun,
belum sampai niat itu dilaksanakan, tiba-tiba kekasihnya itu memutuskan
hubungannya dengan Nadia setelah laki-laki itu mengetahui bahwa Nadia ternyata
anak pungut yang tidak diketahui asal-usul keluarganya. Kekasihnya sangat yakin
bahwa keluarganya akan berkeberatan jika memiliki menantu yang tidak jelas
bobot-bibit -bebetnya. Nadia berkata serius pada anakku, ini adalah
kejadian yang kedua kalinya, Nadia ditinggalkan begitu saja oleh kekasihnya
lantaran latar belakang keturunan Nadia yang tidak jelas.
”
Kalau begitu, kelihatannya nggak bakalan ada yang mau sama aku, karena aku kan
cuma anak pungut yang diambil dari bak sampah “, kata Nadia getir.
Anakku tak bisa berkata apa-apa, hanya meminta Nadia bersabar dan berdoa,
karena soal jodoh Allah lah yang menentukan.
Malang sekali nasib Nadia dan ribuan anak lain yang bernasib sama dengan Nadia.
Terlahir sebagai anak yang tak diinginkan, lantas dilemparkan begitu saja di
bak sampah, seolah membuang bangkai tikus atau bangkai ayam saja. Bagi
anak-anak seperti ini, mungkin mati akan jauh lebih baik. Namun jika takdir
menuntunnya untuk tetap hidup, maka kehidupan yang kejam telah siap menantinya.
Jarang sekali kehidupan bersikap ramah pada anak-anak ini.
****
Menurut
pendapatku, pasangan hidup itu memang harus dipilih, tidak boleh asal-asalan
mengambil, karena ini menyangkut kehidupan di masa depan dan anak-anak yang
akan dilahirkan kelak. Itu sebabnya nenek moyang kita menetapkan syarat bobot-bibit-bebet
sebagai rambu memilih jodoh.
Bobot
yang meliputi kepribadian calon pasangan, apakah dia cukup
dewasa, bertanggung jawab dan dapat diandalkan ? memiliki kestabilan emosi,
baik hati, cerdas, taat menjalankan perintah agama ? ganteng atau cantik ? dll
Bibit meliputi asal- usul keturunan calon pasangan. Apakah dari
lingkungan keluarga yang baik-baik ? Apakah keluarganya mendidiknya dengan
budaya yang baik, dsb.
Sementara Bebet bermakna lingkungan. Berasal dari lingkungan apa calon
pasangan berasal ? siapa teman-teman bergaulnya, dll, karena lingkungan sangat
mempengaruhi perangai seseorang.
Menurutku
rambu-rambu yang ditentukan nenek moyang kita itu tidak ada salahnya, sebab
setiap orang tentu menginginkan jodoh yang terbaik baginya. Namun hal ini akan
menimbulkan masalah ketika dihadapkan pada persoalan keturunan. Siapa manusia
di dunia ini yang dapat memesan terlebih dahulu, akan dilahirkan dalam situasi
dan kondisi seperti apa nantinya ia ke dunia ini . Syarat Bibit hanya akan menjadikan seseorang yang memiliki asal-usul keturunan yang jelas sajalah yang layak untuk dipersunting, sebaliknya bagi mereka yang tidak memiliki keturunan yang jelas seperti Nadia bakal tersingkir
dari kriteria terpilih. Padahal akhlak seseorang itu bukan ditentukan oleh asal-usul seseorang. Sangat tidak adil bukan ?
Aku hanya
mengatakan pada anak-anakku, bahwa jodoh adalah misteri kehidupan yang besar
namun memang harus dicari, dipilih, meski pada akhirnya Allah jua lah yang
menentukannya. Kita hanya bisa berusaha dan berdoa. Berusaha dan berdoalah agar
mendapatkan jodoh yang terbaik dengan berbagai kriteria.
Namun, aku
melanjutkan nasihatku pada anak-anakku, kriteria terpenting dalam memilih
pasangan hidup adalah kesalehan, ketaatannya pada Allah. Ini adalah
syarat utama. Seseorang yang saleh, yang memahami dan melaksanakan ajaran
agamanya dengan benar, otomatis akan menjadi pribadi yang dewasa,
bertanggung jawab, penuh kasih sayang, cerdas dalam menjalani kehidupan, dan
kompetensi lain yang dibutuhkan oleh pasangannya kelak, karena semua tuntunan
kehidupannya itu sudah dia pahami melalui ajaran agamanya. Selanjutnya serahkan
saja pada Allah Sang Pemilik Kehidupan ini.
Dan tentang
Nadia, aku berkata kepada anakku, yakinlah bahwa anak sebaik Nadia tentu akan
mendapatkan jodoh yang terbaik. Allah tidak tidur, dan Allah tidak bisa diatur
-atur oleh segala norma yang dibuat oleh manusia. Allah memiliki caraNya
tersendiri dalam menentukan hidup mati hamba Nya.
Kelihatannya anak gadisku mengerti, karena setelah itu dia tersenyum, dan
pudarlah gurat kerisauan dari wajahnya yang cantik. Entah apa yang akan
dikatakannya besok pada Nadia.
Salam sayang,
anni
Ps : bu Aisyah
dan Nadia itu nama samaran. Anni itu nama sungguhan :)
No comments:
Post a Comment