Suatu
maghrib di sebuah tempat di kota Bandung yang ketika itu masih adem, sejuk dan
berangin. Sepulang kuliah aku berjalan dengan tergesa ke arah sebuah masjid
kecil yang ada di pinggir jalan. Aku bermaksud menunaikan sholat maghrib karena
kalau menunggu sampai tiba di rumah, waktu maghrib pasti sudah lewat. Suasana
senja itu agak remang dan sepi. Di halaman masjid aku berpapasan dengan
orang-orang yang bubar karena telah selesai melaksanakan sholat maghrib..
Seusai sholat,
aku keluar menuju teras masjid, duduk ditangga dan buru-buru mengenakan
sepatuku. Setelah itu aku bermaksud mencegat bis kota lalu langsung pulang ke
rumah. Belum selesai semua tali sepatu terikat, tiba-tiba kulihat tiga pemuda
semuanya bertubuh tinggi besar memasuki halaman masjid. Pakaian dan
penampilan mereka berantakan sekali. Jaket loreng, sepatu lars, rambut
gondrong, gelang manik-manik etnik dan metal-metal entah apa, terpasang di
pergelangan tangan mereka yang hitam dan berotot kekar.
Tiba-tiba
perasaan cemas merayapi hatiku. Jangan-jangan mereka … ah cepat-cepat kutepis
bayangan buruk yang sedetik melintas dalam pikiranku. Buru-buru aku beranjak
dan berjalan tergesa melintasi halaman menuju jalan keluar. Namun di pintu
pagar, jalanku terhambat karena cowok-cowok itu malah menghampiri aku, seperti
menghadang gitu. Nah lho, jadi takut beneran.
Wah lumayan
deg-degan juga nih. Tapi aku tidak panik. Maklum mantan anggota Pramuka
dan Pustakawan(apa hubungannya ). Aku sudah siap dengan segala kemungkinan,
kugenggam erat tas ranselku, untuk kupakai senjata jika mereka menyerangku,
kusiapkan tenaga untuk menendang selangkangan mereka sekeras-kerasnya, seperti
yang diajarkan kakaku waktu SMP dulu, berteriak sekencang-kencangnya, dan yang
terpenting, bersiap mengambil langkah seribu sebagai jurus andalanku.
Tapi ternyata
aku benar-benar tertipu ! mereka sama sekali tak bermaksud buruk
sedikitpun. Salah seorang dari mereka mendekatiku, sambil berucap sopan,
”
Maaf Mbak, kalau masjid Salman (masjid ITB) masih jauh dari sini ? kalau naik
angkot, jurusannya ke arah mana ya ?
” Ouuwwhh …umhh .. Masjid Salman yaa ..? ummhh ..ituu .. sudah
dekat kok, tinggal pakai angkot yang jurusan Dago, turun di jalan Ganesha, …
dst ” (yess ...serasa seseorang menyiramku dengan air es ).
Hadehh, ternyata cuma mau nanya masjid Salman to. Jadi malu, soalnya aku sudah
menyangka mereka yang bukan-bukan. Mengira preman atau apa gitu.
Setelah mendapat penjelasan dariku, mereka mengangguk sopan dan mengucapkan
terimakasih, lalu memasuki halaman masjid untuk menunaikan sholat maghrib.
Tambah malu hati jadinya. Dari seberang jalan, sambil menunggu Bis kota,
aku perhatikan ketiga cowok berpenampilan sangar itu membuka sepatu, mengambil
air wudhu, lalu memasuki masjid untuk sholat. Benar-benar sebuah pemandangan
yang kontras, yang tak terduga. Bayangkan ! penampilan preman kan pantesnya
malak, ngedar, atau tawuran kek apa gitu. Lha ini kok malah berwudhu lalu
sholat ? benar-benar preman yang soleh, he he …
* * * *
Beberapa waktu
yang lalu publik negeri ini dihebohkan dengan penangkapan tokoh-tokoh nasional
oleh KPK. Tokoh-tokoh ternama yang secara penampilan sama sekali tak pernah
kita duga bakal bernasib seperti itu, menjadi tersangka dan meringkuk sebagai
pesakitan di rutan KPK.
Coba lihat saja penampilan mereka. Begitu santun, lembut, intelek, saleh, rapi
jali, cerdas, cantik, ganteng, berbudaya. Tapi ternyata dibalik semua keindahan
itu, tersimpan aroma busuk pelanggaran hukum yang sangat berat. Aroma korupsi
yang membuat masyarakat tidak saja merasa marah, namun juga merasa geram, dan
merasa dibohongi habis-habisan.
Betapa selama
ini masyarakat menaruh kepercayaan yang begitu besar kepada para tokoh muda
yang pandai dan konon anti korupsi itu. Betapa besar harapan kita, jika pada
suatu saat kelak mereka akan menjadi pemimpin negeri ini. Membawa Indonesia ke
arah kemajuan. Namun rupanya semua mimpi itu harus berakhir sebelum fajar tiba.
Dan yang lebih menyakitkan lagi, mereka adalah representasi dari sosok
perempuan Indonesia yang berkualitas, sosok pemuda yang briliyan, sosok pemuka
agama yang cendekia, sosok penegak hukum yang seharusnya menjadi panutan
masyarakat ! Kalau memang semua yang disangkakan dan didakwakan kepada mereka
terbukti benar, maka menilik fantastisnya jumlah uang rakyat yang mereka tilap,
sungguh mereka tak pantas dicap sebagai koruptor. Mereka hanyalah perampok
biasa.
****
” Don’t judge the book by it’s cover “. Cocok sekali pernyataan tersebut
kalau begitu. Penampilan kadang begitu sangat menipu, kemasan kerap tidak
sesuai dengan isi. Tanpa sadar kita sering terjebak pada perilaku menilai
seseorang dari penampilan luarnya saja. Salahkah itu ? Aku rasa tidak
sepenuhnya salah, karena bagaimana cara kita menilai seseorang yang baru kita
kenal, jika bukan dari penampilan luarnya terlebih dahulu, bukan ?
Masalahnya,
manusia adalah makhluk yang sangat pandai bermain peran. Beruntung jika kita
berjumpa dengan seseorang yang jujur apa adanya dan tak suka berpura-pura.
Menampilkan dirinya apa adanya, dengan segenap potensi kebaikan yang dia
miliki, semisal sopan santun, kebaikan hati, kerapihan dan kebersihan pakaian,
tindak tanduk yang terjaga, dll.
Masalah akan
timbul jika kita berhadapan dengan orang yang memiliki kepribadian berlawanan dengan
penampilannya. Seperti yang saya ilustrasikan tadi. Penampilan preman ternyata
malah sholat berjamaah, atau sebaliknya penampilan alim tapi kelakuan sangat
tidak patut !
Nah disinilah perlunya kita selalu bersikap awas dan bijak dalam menilai dan
memilih orang-orang yang akan kita gauli. Eh, orang-orang yang akan
bergaul dengan kita, maksudnya.
Tapi memangnya
perlu ya repot-repot menilai orang lain ? Oh ya sangat perlu ! Kita ini
memang diharuskan memilih orang-orang yang akan memasuki hidup kita. Memilih
pacar, memilih jodoh, memilih teman, memilih sahabat, memilih partner kerja,
memilih karyawan, memilih asisten rumah tangga, dll. Mau tidak mau kita
harus menilai dan memilih, karena kita harus nyaman dengan kehidupan yang kita
jalani bersama orang-orang di sekitar kita.
Bukan perkara
mudah lho menilai orang lain itu. Tidak bisa hitam putih begitu saja. Si ini
baik, si itu culas. Si anu jutek si dia baik. Nggak bisa sesimple itu. Banyak
aspek yang harus dilibatkan. Dari banyak aspek itu, yang paling mudah adalah
menilai penampilan luar, yakni menilai segala sesuatu yang bisa dilihat dan
didengar.
Penampilan luar
itu bisa cara berpakaian, gestur, cara berbicara, dll. Nah kalau sudah begini
barulah terasa sulitnya menilai orang itu. Karena kadang kita tertipu dengan
penampilan. Disinilah pentingnya kehati-hatian dalam ” do or do not judge the
book by it’s cover ” ,agar tidak salah menilai.
Kadang
memerlukan waktu yang lama untuk benar-benar menilai kepribadian seseorang
dengan pas. Kita perlu bergaul dulu, berbincang-bincang dulu, melihat
kebiasaannya dulu, dll. Namun itulah seni menilai orang, seni bergaul dengan
orang. Semakin banyak kita bertemu dan mengenal orang, maka akan semakin
terbiasa dan mudah pula bagi kita untuk mendapatkan seseorang yang sesuai
dengan kita
.
Disisi lain
jangan lupa kitapun tak akan pernah luput dari penilaian orang lain. Untuk itu,
terapkanlah ilmu “menilai” orang lain bagi diri kita sendiri. Kita ingin
dinilai seperti apa ? Baik ? Cool ? Ramah, Tegas ? Jutek, atau Genit ? Semuanya
terserah kita. Namun akan lebih mudah jika kita menampilkan diri kita
sejujurnya, tanpa topeng kepura-puraan. Kita akan merasa tenteram, dan
tak ada beban. Jangan lupa tambahkan segala potensi kebaikan yang kita miliki,
agar kita dapat dinilai dan dipandang sebagai orang, teman, dan sahabat yang
menyenangkan. Sebab tak ada yang lebih membahagiakan dibanding menjadi orang
yang disayangi keluarga dan teman karena kebaikan hati, keluhuran pekerti, dan
manfaat kita bagi orang-orang di sekitar kita
Salam sayang,
Anni
No comments:
Post a Comment