Fajar belum lagi terbit, adzan Subuhpun belum lagi
berkumandang. Namun seisi rumahku terbangun dengan kaget oleh suara Ayam jago
entah miliki siapa, yang berkukuruyuk dengan keras sekali. Suara ayam itu
nyaring menembus hawa dingin yang meresap hingga ke dalam kulitku. Aku ucapkan
syukur dengan perasaan riang. Bukankah kukuruyuk Ayam jago itu pertanda hari
ini akan cerah ? benarkah begitu ? hmm … biar kulihat saja nanti.
Di
masa yang lalu, Ayam termasuk salah satu jenis hewan yang secara alamiah
memiliki naluri yang sangat tajam dalam membaca tanda- tanda alam . Jika Ayam
Jago berkokok pada dini hari, tandanya cuaca akan cerah sepanjang hari. Namun
jika si Ayam jantan ini berkokok menjelang siang, sekitar pukul 10.00 - 11.00,
artinya para betina harus waspada. Karena itu adalah isyarat perkawinan dari
sang Jantan. Jadi para betina, bersiap-siaplah bersolek kalau memang
berkenan. Namun jika merasa ogah, persiapkan tenaga untuk berlari
sekencang-kencangnya dari kejaran si Jantan. Karena rupanya tak hanya manusia,
yang namanya cowok , biarpun itu sekedar ayam, asalkan sedang kasmaran, selalu
tak mau tahu. Kejar teruuss ..!
Itu
dulu. Sekarang zaman sudah berubah. Iklim sudah berganti, cuaca sudah semakin
sulit diprediksi. Waktu aku kecil dulu, Ibu pernah mengajariku ciri- ciri
perubahan musim, dari musim hujan ke musim kemarau. ” Pokoknya gini “, kata
Ibuku yang meski hanya berpendidikan ELS (SMP zaman Normaal ), namun wawasannya
lumayan luas untuk ukuran perempuan di zamannya.
” Kalau nama bulannya sudah berbunyi ” Ber “, artinya kita
sudah memasuki musim hujan. Jadi musim hujan itu dimulai dari bulan
September. Dan bulan sebelumnya (Agustus) adalah masa pancaroba. Kenapa
“Ber” ? karena bunyinya sama dengan bunyi air hujan yang turun, Bbeerrr …!! “,
begitu Ibu menjelaskan dengan gaya seperti Bibi Titi Teliti.
” Bulan Maret itu tanda musim kemarau “, lanjut ibuku yakin banget. Kenapa
Maret ? Ya itu tadi, nama bulan disesuaikan dengan bunyi musim. Bunyi “Ret”,
sama dengan suara air hujan yang mendadak berhenti ” mak Rrreettt. …! “, begitu
kata Ibuku, menguraikan teorinya entah dengan referensi primbon mana.
Terserah
apa kata dunia, tapi kata-kata Ibuku dan orang-orang zaman dulu memang terbukti
banyak benarnya. Mereka adalah orang-orang yang waskita dengan alam di
sekitarnya. Mereka adalah orang-orang yang mengadaptasi tanda-tanda alam untuk
aktifitas keseharian dengan bekal local genius yang mereka miliki. Karifan
lokal ini kemudian mewujud berupa pengetahuan yang tak tertulis, yang
diwariskan dari generasi ke generasi secara lisan, menjadi bagian tradisi,
bagian budaya asli yang bernilai tinggi.
Arti
ramalan kokok Ayam Jago, bunyi bulan yang disesuaikan dengan bunyi-bunyian alam
yang mengiringi bulan tersebut, adalah contoh budaya lisan, contoh folklore
asli ciptaan nenek moyang kita. Ini sebagai sebuah bukti nyata, bagaimana nenek
moyang dengan kearifan lokal yang mereka miliki, mengakulturasikan budaya Barat
yang masuk ke tanah air melalui nama-nama bulan yang berbau Latin-Roman, dengan
budaya asli indonesia berupa bunyi-bunyian alam. Sangat lugu namun cerdik dan
mengagumkan.
Kini
kelihatannya kita harus rela bersiap-siap meninggalkan salah satu khasanah
budaya asli Indonesia itu. Folkllore tentang kokok ayam jantan dan hubungan
bunyi nama bulan dengan bunyi-bunyian alam, rupanya harus segera dilupakan. Tak
hanya cuaca, sekarang iklimpun sudah berubah Kita tak tahu dengan pasti apa
penyebabnya. Namun untuk mudahnya, mari kita timpakan semua kekacauan ini pada
pemanasan global yang lajunya sangat sulit dihentikan.
Tadi
pagi dan kemarin-kemarin pagi, Ayam jantan berkokok dengan keras. Lagi pula
bulan Maret sudah akan berakhir. Namun alih-alih cerah, hujan malah turun
dengan deras disertai kilat yang menyambar-nyambar dan petir yang menggelegar.
Banjir masih saja terjadi di mana-mana. Bahkan akibat hujan deras, terjadi
bencana longsor yang memakan korban jiwa di daerah Cililin Jawa Barat.
Sejak
dulu para pakar dari berbagai lintas ilmu berbicara tentang ancaman pemanasan
global, tentang lubang yang semakin menganga di lapisan ozon di atas kepala
kita, tentang bahaya radiasi langsung sinar ultra violet bagi kesehatan
manusia, dsb. Sebagai reaksinya berbagai negara di dunia mengantisipasi dengan
berbagai upaya yang menelan daya milyaran dolar untuk memperbaiki kerusakan
lingkungan.
Saya
percaya pemerintah kita tak tinggal diam dalam merespons para pakar lingkungan
Indonesia yang berteriak hingga serak dan nyaris kehabisan nafas setengah
hopeless untuk segera menyelamatkan lingkungan yang rusak parah di berbagai
pelosok negeri. Hanya saja seperti yang lazim terjadi di tanah air, segala
sesuatunya berjalan dengan super sangat lamban. Demikian juga dengan upaya
penyelamatan lingkungan ini. Sangat lamban, terkesan setengah hati, sampai
geregetan melihatnya.
Tak
usah heran jika pada akhirnya banyak anggota masyarakat baik secara sendiri
ataupun berkelompok, berinisiatif menyelamatkan lingkungan yang rusak. Karena
jika tidak begitu, jika semata mengandalkan kepedulian pemerintah , mungkin
lingkungan akan bertambah rusak parah dan segalanya akan sangat terlambat.
Ah
sudahlah jangan ganggu pemerintah yang sibuk memikirkan dirinya yang
terdzolimi, galau melulu, dan memikirkan cara tebar pesona yang paling canggih.
Mana mereka ada waktu memikirkan penghijauan hutan yang gundul, mana ada waktu
mereka memikirkan antisipasi bencana tanah longsor dan banjir bandang yang
menelan korban jiwa dan harta rakyat kecil. Lagi pula nggak ada dana. Duit
negara sudah berpindah ke kantong pejabat yang beristri banyak.
Jadi
mari kita mulai dari lingkungan kecil kita. Dari rumah kita, dari RT kita, RW,
sekolah kita, dst. Mari kita tanami halaman rumah dan sekolah kita dengan pohon
peneduh. Biasakan mengisi acara selebrasi dan seremoni itu dan ini dengan
menanam pohon. Budayakan memberi hadiah kepada pemenang lomba ini dan itu,
salah satunya dengan memberi bibit pohon untuk ditanam.
Selamatkan
lingkungan kita. Selamatkan lingkungan kecil kita dari kerusakan. Disini
kita hidup, maka disini juga kita harus menghirup udara yang bersih segar dan
mengkonsumsi air yang sehat. Bukan hanya kita yang akan menghuni bumi
ini. Anak cucu kitapun kelak akan menghuni bumi yang sama. Jangan sampai mereka
mewarisi lingkungan yang tak layak ditinggali karena kelalaian kita para orang
tuanya.
***
Kudengar Ayam jantan itu berkokok lagi, padahal cuaca jelas-jelas muram seperti
ini. Mendung menggantung diatas langitku, pertanda hujan akan segera turun.
Bahkan zaman sekarang Ayam jagopun sudah kehilangan kepandaiannya dalam meramal
cuaca rupanya. Ataukah karena dia sedang kasmaran saja makanya dia terus
bernyanyi ? entahlah, hanya dia yang tahu …
Salam sayang,
Anni
No comments:
Post a Comment